Tuesday, June 19, 2007

ANALISIS POLITIK

Menyerang Tanpa Pasukan

Sukardi Rinakit

Siang itu, 14 Juni 2007. Sambil makan siang berdua, teman saya, yang merasa menjadi bagian dari lingkaran dalam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bertanya, "Mengapa kamu tak pernah memuji hasil kerja Presiden SBY? Di matamu semua yang dilakukan beliau salah!"

Saya menggeleng perlahan. Terlepas dari kontroversi yang ada, stabilitas ekonomi makro yang terjadi selama ini harus diapresiasi. Ekonomi tumbuh, nilai rupiah relatif stabil, dan inflasi turun. Dalam bidang politik, hal yang perlu diapresiasi adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendukung daftar calon terbuka murni untuk pemilu legislatif.

Hal positif lain, Presiden pandai dan tidak korup. Maka, saya tak setuju jika ada gerakan yang ingin mencabut mandat pemerintah. Kita harus ikuti aturan main demokrasi: reguler, damai, dan teratur.

Atas dasar jawaban itu, teman tadi lalu memberondong pertanyaan lagi. "Kalau begitu, kalau misalnya saat ini diadakan pemilu, kamu pilih SBY atau Wiranto?" Saya menyebut nama Wiranto. "Kalau SBY dan Megawati?" Bibir ini menyebut Megawati. "Yudhoyono dan Sultan Hamengku Buwono X?" Jawabnya Sultan. "Kalau SBY dan Jusuf Kalla?" Saya menjawab Jusuf Kalla. Teman itu kecewa.

Semoga selamat

Jawaban seperti itu meluncur begitu saja. Setelah saya renungkan, hal tersebut dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, setiap kali bertanya kepada para pengusaha tentang realitas bisnis saat ini, mereka umumnya menjawab lesu. Tidak ada optimisme.

Kedua, teringat nasihat Pak Sareh, guru budi pekerti ketika saya duduk di sekolah dasar (SD) dulu. Dia selalu mengatakan, negara akan tenteram kalau rakyatnya bekerja dan harga sandang-pangan murah.

Secara obyektif harus diakui saat ini kemiskinan masih melilit sekitar 108 juta jiwa. Mereka ada di sekitar kita dan ikut dalam irama kehidupan sehari-hari. Ketika kita tertawa, mereka ikut tertawa meski perut perih karena lapar. Mereka juga tersenyum meski hatinya bingung karena digerogoti daya beli yang semakin rendah.

Sisi lain, angka pengangguran (termasuk pengangguran terselubung dan setengah pengangguran) masih membelenggu sekitar 49 juta orang. Sektor riil relatif tidak bergerak, harga beras dan minyak goreng mahal, dan perjanjian ekstradisi menyeret beban berat bidang pertahanan. Semua itu menjadi kesatuan energi yang memengaruhi penilaian pada capaian-capaian pemerintah.

Pendeknya, senyum pasrah ibu-ibu tetangga mengalahkan senyum keberhasilan para pejabat. Keluhan mereka yang menganggur mengalahkan keluhan para pejabat yang sudah bekerja keras. Kalau sudah begitu, saya menjadi seperti kakek-kakek yang hanya bisa membatin, "wolo-wolo kuwato, wolo-wolo slameto" (semoga kuat, semoga selamat).

Seperti kata Pak Sareh, negara akan tenteram kalau rakyatnya mempunyai pekerjaan dan harga sandang-pangan murah. Ini hanya akan bisa terwujud jika ada penguasa yang mempunyai sifat adil, tegas, dan berjiwa mulia.

Dalam konteks Republik, jika mau, Presiden SBY masih mempunyai peluang luas untuk menenteramkan perasaan rakyat. Satu syaratnya, taktik komunikasi politiknya harus berubah. Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh—dalam implementasi kebijakan maupun perilaku politik—adalah melalui taktik "nglurug tanpa bala" (menyerang tanpa pasukan). Dengan pendekatan ini, politik tak akan cepat memanas seperti kini.

Mewakilkan kehadirannya pada sejumlah menteri (kasus interpelasi Resolusi PBB Nomor 1747 tentang Iran) adalah seperti mengirim pasukan tempur. Tentu suasana menjadi seperti perang. Padahal, interpelasi ini sebenarnya tak lebih dari substitusi kejengkelan anggota DPR karena kecewa pada reshuffle kabinet lalu. Kalau saja Presiden hadir ketika itu, menyerang tanpa pasukan, maka parlemen akan mendingin (kalah).

Namun, semua telah terjadi. Sinyal bahwa politik lebih cepat memanas dari yang diprediksi sebelumnya, secara cepat ditangkap negatif oleh para investor. Akibatnya, mereka memperpanjang masa tunggu untuk menanamkan modalnya.

Jika dipikir secara bening, tampaknya taktik Presiden selama ini banyak yang tidak seirama dengan emosi politik publik. Dalam kasus kenaikan harga minyak goreng, misalnya, para pengusaha yang berkaitan dengan masalah tersebut dipanggil. Kesan yang tampil di publik, para pengusaha itu dimarahi. Bahkan diancam pajak ekspor.

Akibatnya, pengusaha sektor lain menjadi termangu-mangu. Sedangkan rakyat menjadi kecewa ketika harga minyak goreng tidak kunjung turun. Sekali lagi, Presiden tidak menerapkan taktik menyerang musuh tanpa pasukan. Sebaliknya, pemerintah justru dinilai sebagai penguasa yang cenderung arogan.

Oleh karena itu, jika Presiden tidak segera mengubah pendekatan dalam memerintah, secara prediktif optimisme publik tidak akan pernah bangkit. Artinya, keadaan dua tahun ke depan akan sama dengan keadaan sekarang. Tidak ada perbaikan yang signifikan.

Kepada seluruh rakyat Indonesia saya berharap, "wolo-wolo kuwato" (semoga kuat selalu) dalam menghadapi kesulitan hidup saat ini. Siapa yang sabar akan subur.

No comments:

A r s i p