Friday, June 29, 2007

Memimpin dengan Menyelamatkan

Yudi Latif

Namanya Ceriyati. Tetapi, peruntungannya jauh dari ceria. Tersampahkan di negeri sendiri, ia pun mengundi nasib di negeri jiran. Apa daya, yang ia alami penganiayaan.

Luka Ceriyati adalah luka bangsa. Penistaan TKI di luar negeri sebanding dengan derajat bangsa di mata dunia. Para pemimpin harus menghayati derita dan aib ini. Mereka pantas "bunuh diri" karena kepemimpinan disibukkan hasrat mempersolek dan memperkaya diri, mengabaikan nasib rakyat dan harkat bangsa.

Ceriyati yang miskin, tidak datang dari Etiopia yang tandus, tetapi dari Indonesia yang subur. Kemalangan nasibnya bukan karena kegagalan alam, tetapi akibat kegagalan kepemimpinan di segala ranah.

Kepemimpinan negara, yang bersifat patrimonial, gagal melindungi kaum miskin dan telantar. Kepemimpinan pasar, yang bersifat predatory, gagal mengembangkan kesempatan kerja. Kepemimpinan komunitas, yang bersifat komunalistik, gagal merajut solidaritas sosial.

Dua prasyarat mendasar bagi suatu masyarakat guna menjawab aneka masalah sosial, tak memiliki fondasi kuat di negeri ini: kekuatan otonomi individu berdasar jaminan peraturan (rules), hak-hak asasi (rights), kekuatan solidaritas sosial berbasis kemaslahatan, dan tujuan bersama.

Dalam ketiadaan kepastian hukum serta jaminan hak asasi bagi tiap warga, masing-masing individu hanya memedulikan pencapaian kepentingan tanpa mengindahkan peraturan dan hak orang lain. Dalam mengutamakan haknya sendiri, prinsip "siapa yang kuat dapat bertahan" menjadi dasar moralitas. Dalam kondisi seperti itu, otonomi individu untuk bertahan hidup dan menjawab masalah-masalah sosialnya menjadi lumpuh.

Dihadapkan pada penetrasi globalisasi dan kapitalisme, individu- individu ini tidak memiliki kekuatan kepribadian untuk bisa menyeleksi asupan ide-ide dan nilai baru. Kebanyakan tumbuh sebagai obyek perubahan yang reseptif dan konsumtif, bukan sebagai subyek kreatif yang berdaulat dan produktif.

Sosialitas-individualitas

Pelemahan otonomi individu tak membantu penguatan solidaritas sosial. Individu yang lemah mudah menyerah pada kekuatan-kekuatan tribus (premanisme, koncoisme, etnosentrisme, dan fundamentalisme). Dalam pemujaan terhadap kepentingan komunal, bukan komunitarian, masyarakat secara keseluruhan kehilangan kemampuan untuk menegakkan prinsip kemaslahatan bersama.

Tak ada kebajikan bersama di luar kepentingan kelompok tribus-nya. Tiap kelompok berlomba menyalahgunakan kekuasaan dan penjarahan terhadap sumber daya negara. Konflik horizontal dan vertikal sesama warga mudah meledak, menimbulkan perasaan terancam yang mencekam. Kohesivitas bangsa sebagai unit solidaritas lebih luas tak menemukan pijakan. Akibatnya, ketahanan nasional dalam merespons perubahan dan menghadapi tantangan global menjadi rapuh.

Untuk masa yang panjang, ruang otonomi individu dipersempit keharusan keguyuban. Sosialitas dihadapkan individualitas. Ekspresi dan kreativitas individual terbentur hambatan sosial. Hak asasi individu dikorbankan demi pemujaan terhadap kerukunan. Tanpa terjaminnya hak asasi, individu warga tak memiliki kesadaran akan kewajiban asasinya.

Untuk masa yang panjang pula, pluralitas kebangsaan Indonesia didakwa sebagai pangkal masalah. Upaya menyerukan persatuan nasional sering ditempuh dengan mempersempit ekspresi kemajemukan. Tawaran solusi atas bentrokan kewargaan sekadar menyerukan imbauan normatif berupa penggalangan rasa persatuan dan kesatuan nasional.

Pendekatan seperti ini melupakan persoalan hakiki bahwa konflik dan kerapuhan nasional tidak harus bermula dari pluralitas kebangsaan itu sendiri, tetapi lebih sering melupakan limbah kelemahan tata kelola kenegaraan dan kemasyarakatan. Reformasi pranata dan kebijakan publik diperlukan sebagai bantalan vital bagi keberhasilan proyek demokratisasi.

Usaha reformasi ini harus mencari keseimbangan antara penguatan otonomi individu dan solidaritas sosial. Untuk itu, institusi dan kebijakan publik, seperti dianjurkan Anthony Giddens (1998), harus mendorong perwujudan negara dan pasar kesejahteraan yang menjamin kesetaraan, perlindungan yang lemah, kebebasan individual, keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban, pemerintahan demokratis yang responsif, pluralisme kosmopolitan, serta pemenuhan kesejahteraan jasmani dan rohani.

Persyaratan

Solidaritas sosial diperkuat melalui perbaikan arena belajar-sosial kolektif. Afinitas sosial warga perlahan-lahan ditransformasi dari ikatan-ikatan komunal yang tertutup menuju asosiasi-asosiasi yang terbuka. Perubahan pada proses belajar sosial ini akan menciptakan universum simbolik baru yang dilahirkan oleh proses komunikasi diskursif dengan derajat rasionalitas yang tinggi. Dengan itu, fanatisme komunal akan bergeser menjadi solidaritas komunitarian, yang memiliki daya-daya kreatif, selektif, responsif, dan produktif.

Semua itu ada prasyaratnya. Prasyarat terpenting adalah kepemimpinan yang mampu menisbikan kepentingan pribadi demi memberi jalan perubahan dalam tata kelola negara. Alhasil, perlu pemimpin dengan komitmen penyelamatan.

Untuk itu, Imam Ali menasihatkan, "Jadikan kesukaanmu yang amat dekat pada segala sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling meliputi kepuasan rakyat banyak. Sebab, kemarahan rakyat banyak mampu mengalahkan kepuasan kaum elite. Kemarahan kaum elite dapat diabaikan dengan adanya kepuasan rakyat banyak."

Saatnya membangun politik pencitraan lewat kesungguhan berbakti kepada rakyat.

YUDI LATIF Direktur Eksekutif Reform Institute; Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

No comments:

A r s i p