Wednesday, June 20, 2007

Tiga Era Deparpolisasi

Ikrar Nusa Bhakti

Indonesia pernah mengalami tiga era deparpolisasi atau delegitimasi atas pemerintahan partai politik yang tidak becus, korup, dan tidak efisien. Era pertama terjadi pada Oktober 1956 sampai dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 yang mengakhiri sistem demokrasi Parlementer/Demokrasi Liberal/Demokrasi Konstitusional dan masuk ke era Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Kedua, pada era Orde Baru (1966-1998). Ketiga, pada era 2006-2007 ini.

Pada era pertama dan kedua, aktor utama penggerak deparpolisasi adalah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang didukung oleh ABRI dan segelintir partai politik. Pada era ketiga, gerakan ini justru dimotori oleh kalangan cendekiawan dan masyarakat sipil yang didukung oleh kalangan politisi nonpartai atau politisi yang tidak berumah.

Hal menarik yang terjadi sejak Pemilu 2004, jika di masa lalu kalangan militer memandang demokrasi sebagai sesuatu yang rumit dibandingkan dengan sistem komando, di era reformasi ini kalangan jenderal purnawirawan TNI justru membentuk partai- partai politik sebagai kendaraan untuk meraih kursi kepresidenan. Partai, bagi mantan jenderal, bukan hanya sebagai alat legitimasi politik seperti penciptaan IPKI menjelang Pemilu 1955 atau Golkar pada era Orde Baru.

Sebaliknya, justru kalangan elite politik sipil nonpartai yang menginginkan deinstitusionalisasi politik agar mereka dapat maju sebagai calon independen dalam pilkada atau pilpres, tanpa capek- capek bikin partai. Calon independen dirancukan dengan calon perseorangan dan bukan mengacu pada organisasi partai politik yang independen dari partai-partai dengan beragam ideologi yang sudah lebih dulu ada.

Sejarah menunjukkan, depolitisasi pada dua era sebelumnya telah menjebloskan bangsa Indonesia ke sistem pemerintahan otoriter. Gerakan delegitimasi atas partai-partai politik yang berkembang belakangan ini tampaknya juga akan memundurkan kembali arah demokratisasi yang berkembang sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Apa yang terjadi belakangan ini bukan saja dapat memperpanjang masa transisi dari sistem otoriter ke demokrasi, tetapi justru mempersulit pencapaian konsolidasi demokrasi, apalagi menuju ke demokrasi yang matang.

Konsepsi Soekarno

Para penggagas deligitimasi atas partai-partai politik yang berkembang akhir-akhir ini tampaknya perlu membaca kembali paling sedikit tiga buku penting. Pertama, karya klasik almarhum Prof Dr Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, khususnya konsepsi Bung Karno mengenai Demokrasi Terpimpin (hlm 518-519 dan 538-555). Kedua, buku Soekarno, Indonesia, Pilihlah Demokrasimu yang Sedjati (Djakarta: Kementerian Penerangan, 1956). Ketiga, Daniel Dhakidae, The Long and Winding Road: Constraints to Democracy in Indonesian Politics, dalam R William Liddle, ed, Crafting Indonesian Democracy (Bandung: Mizan bekerja sama dengan PPW-LIPI and The Ford Foundation, 2001, hlm 67-74) yang merupakan hasil konferensi internasional yang diselenggarakan oleh LIPI dan The Ford Foundation pada Agustus 1998 bertema "Toward Structural Reforms for Democratization in Indonesia: Problems and Prospects".

Pemilu demokratis pertama pada 29 September 1955 yang diharapkan membawa Indonesia pada era baru stabilitas politik, ternyata justru menjadi akhir dari perjalanan demokrasi liberal dengan sistem parlementer. Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang dihasilkannya hanya bertahan satu tahun (Maret 1956-Maret 1957). Berbagai problem besar menghadang pemerintahan partai-partai politik pada masa itu, dari soal pembentukan konstitusi baru oleh Konstituante, perjuangan merebut kembali Irian Barat, pemberontakan para panglima perang di berbagai daerah Sumatera dan Sulawesi, persoalan internal di TNI AD, dan tentunya persoalan hubungan sipil-militer. Kabinet Ali II dianggap gagal mengatasi persoalan administrasi pemerintahan dan ekonomi.

Di tengah kemelut politik besar yang melanda Indonesia saat itu serta adanya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai-partai politik, Bung Karno mencanangkan "mimpi" atau "desakan" politiknya, yakni konsepsi demokrasi terpimpin. Pada tahap awal, Oktober 1956, Bung Karno bermimpi bahwa para pimpinan partai-partai politik berkumpul bersama dan mendesak mereka untuk mengubur partai-partai politik. Dalam pidato politiknya itu ia mengatakan, "Saya tidak ingin menjadi diktator, Saudara-saudara… ini bertentangan dengan semangat saya. Saya seorang demokrat. Saya sungguh seorang demokrat. Tapi, demokrasi saya bukanlah demokrasi liberal…. Apa yang ingin saya lihat di Indonesia kita ini ialah demokrasi terpimpin, demokrasi dengan kepemimpinan, tapi masih demokrasi."

Bagaimana setelah partai-partai politik itu dikubur? Menurut Bung Karno, terserah para pimpinan partai, apakah akan membentuk satu partai tunggal atau tidak memiliki partai melainkan suatu gerakan massa, atau membentuk sedikit partai atas dasar pemikiran rasional. Gagasan Bung Karno itu awalnya hanya didukung dengan gegap gempita oleh satu partai, yaitu Partai Murba yang didasari oleh gerakan massa rakyat proletar. Natsir dari Masyumi menolak tegas dengan menyatakan, "Jika partai-partai dikubur, demokrasi akan terkubur secara otomatis." PNI dan NU agak ragu-ragu, ada yang mendukung, ada yang menentang. PKI mendukung demokrasi terpimpin, tetapi menentang dikuburnya partai.

Berikutnya, Soekarno membentuk Kabinet Ahli di bawah Juanda serta Dewan Nasional pengganti DPR pada Juli 1957. Akhirnya, setelah Dekrit 5 Juli 1959, Konstituante dibubarkan dan diganti MPRS; dibentuk pula Kabinet dan DPR Gotong Royong dan kembali ke UUD 1945. Adalah Soekarno pula yang membentuk Golongan Fungsional yang anggotanya terdiri atas para buruh, petani, wiraswasta, intelektual Muslim, Katolik dan Kristen, perempuan, pemuda, generasi 45, serta utusan-utusan daerah. Inilah cikal bakal Golkar yang kuat pada era Orde Baru dan dicirikan sebagai "bukan partai politik". Depolitisasi massa dan deparpolisasi begitu merebak di era Orde Baru, antara lain melalui proyek penciptaan "massa mengambang".

Pemunduran demokrasi

Kini, di era demokrasi liberal dengan sistem presidensial, muncul kembali gerakan deparpolisasi. Sadarkah kita bahwa gerakan kembali ke UUD 1945 yang asli yang dipimpin oleh seorang mantan KSAD, gerakan memperjuangkan calon independen dan delegitimasi parpol yang digagas sebagian kalangan intelektual, dapat menjurus pada pemunduran demokrasi dan penguburan partai-partai politik seperti pada masa lalu?

Jika partai-partai politik era kini tidak melakukan koreksi diri, seperti kata KIS Mangunsarkoro, atau menonjolkan "Masih ada orang yang jujur dan idealistik di antara pimpinan partai" seperti kata M Natsir, dan tidak berupaya untuk mengelola masyarakat serta menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, depolitisasi yang menjurus pada penguburan partai akan terjadi kembali. Buntutnya, sistem otoriterisme terbentuk kembali./komp0as 20/6/07

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Masalah Internasional dan Domestik pada Pusat Penelitian Politik-LIPI

No comments:

A r s i p