Saturday, June 30, 2007

Sosok dan Pemikiran
Kaum Demokrat yang Dinantikan...

Imam Prihadiyoko

Sembilan tahun sudah reformasi bergulir. Sembilan tahun pula negeri ini berjalan tanpa pemerintahan totaliter. Tetapi, reformasi yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat ternyata tidak kunjung hadir.

Bahkan, Ketua Dewan Pimpinan Organisasi Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Siswono Yudo Husodo menilai tata kelola pemerintahan dan bernegara malah semakin tak membaik. Tidak heran jika keadilan sosial yang dicita-citakan itu kian menjauh. Pemerintah semakin tidak peduli pada penderitaan rakyat, atau paling tidak tetap membiarkan rakyat dalam kesengsaraan. Bahkan, hingga kini belum ada langkah konkret yang bisa diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah rakyat salah meletakkan harapannya pada reformasi atau memang pemerintahan yang hadir setelah reformasi tidak punya kemampuan. Salahkah jika masyarakat mengharapkan adanya desain sistem pemerintahan yang bisa menjamin kepentingan rakyat didahulukan secara efektif, sedangkan kepentingan pribadi mereka yang berada dalam pemerintahan bisa dikontrol melalui sistem yang ada.

Dosen filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Jakarta, Donny Gahral Adian, yang ditemui Kamis (28/6) malam, menilai kondisi itu sebagai akibat belum mapannya kaum demokrat. Bahkan, sesungguhnya kaum demokrat itu jumlahnya belum banyak. Berikut percakapan itu:

Reformasi yang digulirkan kok tidak tampak hasilnya....

Untuk mengatakan reformasi berhasil atau tidak, tentu kita harus tahu ukurannya. Namun, bagi saya kegagalan reformasi ini memang sudah bisa dilihat dari tidak adanya proses perbaikan yang sistemik untuk menuju masyarakat yang demokratis. Alih-alih demokrasi berjalan setelah jatuhnya Soeharto, ternyata yang terjadi justru penguatan totalitarianisme. Celakanya lagi, kalau pada masa Soeharto jelas totalitarianisme itu ada penguasaan yang kuat terhadap seluruh organisasi dan mendapat dukungan penuh dari militer maupun partai politik, tetapi sekarang totalitarianisme yang ada itu tersebar.

Yang menguat juga lobi korporasi. Seperti kasus lumpur panas Lapindo, suara rakyat tidak lagi dipedulikan. Tetapi, korporasi dan pimpinan politik bersinergi sedemikian rupa sehingga menjadi kekuatan yang tidak demokratis. Paling tidak, melupakan prinsip demokrasi.

Setelah reformasi, totalitarianisme muncul dalam beragam bentuk, mengapa begitu?

Secara teoretis, bisa saya katakan, transisi politik kita tahun 1966 dan 1998 tidak pernah menghasilkan perubahan fundamental karena tiga arena kekuasaan: masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sipil tidak melakukan otodekonstruksi secara sistemik. Bahkan, mereka saling bahu-membahu mengamankan kursi kekuasaan.

Otodekonstruksi adalah perubahan dari dalam yang membuka jalan pada artikulasi alternatif untuk muncul dan secara fundamental mampu mendorong perubahan ke arah masyarakat demokrasi yang sebenarbenarnya.

Secara teoretis pula, ada yang mengatakan karena tidak adanya keberlanjutan antarrezim. Artinya, rezim yang baru ternyata mindset-nya masih sama saja dengan rezim yang lama. Tidak banyak perubahan yang terjadi dibandingkan rezim terdahulu.

Orde Lama yang menerapkan demokrasi terpimpin, dan Orde Baru yang menerapkan demokrasi Pancasila, sebetulnya sama saja dengan ide demokrasi terpimpin, hanya kemasannya saja yang berbeda. Sekarang ini kita masih bingung bentuk apa yang ingin diambil untuk diterapkan. Kebingungan ini lantas diisi totalitarianisme korporat dan partai politik yang melupakan konstituennya.

Apa yang bisa kita lakukan?

Jalan paling mudah, kita harus mengisi ruang yang ditinggalkan agar tidak diisi totalitarianisme baru. Kita mengisi ruang kosong ini dengan memperbanyak kaum demokrat.

Mengapa kaum demokrat?

Sistem demokrasi membutuhkan kehadiran kaum demokrat. Cirinya, mereka mengusung prinsip demokrasi, seperti kebebasan, kesetaraan, dan toleransi. Sayangnya produksi kaum demokrat di negeri ini kurang.

Artinya, semua lembaga sosial yang ada hampir tidak memproduksi kaum demokrat. Partai politik, organisasi massa, bahkan lembaga pendidikan, termasuk universitas, pun tidak memproduksi kaum demokrat.

Kalau begitu, apa yang mereka hasilkan selama ini?

Partai politik hanya menghasilkan kader yang hanya paham bagaimana mengejar kekuasaan. Cara dan jalur seperti apa yang bisa dipakai untuk sampai pada posisi kekuasaan. Partai politik, misalnya, belum menanamkan secara sungguh-sungguh prinsip citizenship. Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali. Sementara organisasi kemasyarakatan hanya mengikuti jejak parpol yang cuma melahirkan kader yang tidak menjadi seorang demokrat. Begitu juga dengan universitas, hanya melahirkan intelektual atau akademisi yang sering kali juga menghasilkan koruptor.

Dosen filsafat yang beristrikan artis Rieke Dyah Pitaloka ini setiap Sabtu pagi selalu menyempatkan diri bermain tenis di lapangan belakang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Untuk menjaga kebugaran, ia juga berenang seminggu sekali, terkadang ke kampus dengan jalan kaki atau bersepeda. Jarak rumah dan tempatnya mengajar memang tidak terlalu jauh.

Meski kecil, mungkinkah muncul kaum demokrat di negeri ini?

Asal orang bisa mengambil jarak dengan pertaruhan politik dan tidak ikut dalam sistem dominan. Karena, dia tahu betul yang dipertaruhkannya lebih besar daripada yang akan hilang.

No comments:

A r s i p