Thursday, June 14, 2007

Parpol Serpihan Vs Kebebasan Berserikat

Satya Arinanto

Sebanyak 14 parpol peserta Pemilu 2004 yang tak mampu mencapai ambang batas minimal perolehan suara atau electoral threshold sepakat untuk mengajukan uji materi terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang lazim disebut sebagai UU Pemilu Legislatif—ke Mahkamah Konstitusi. Menurut pandangan mereka, isi pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 E UUD 1945 (Kompas, 16/5).

Pasal 9 Ayat (1) UU Pemilu Legislatif menetapkan bahwa untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, parpol peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya: (a) 3% jumlah kursi DPR; (b) 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau (c) 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Adapun dalam ayat (2)-nya ditetapkan bahwa parpol yang tidak memenuhi ketentuan itu hanya dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila: (a) bergabung dengan parpol yang memenuhi ketentuan di muka; (b) bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ketentuan di muka dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu parpol yang bergabung sehingga memenuhi persyaratan perolehan minimal kursi; dan (c) bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ketentuan di muka dengan membentuk parpol baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Penetapan electoral threshold inilah yang dipandang oleh ke-14 parpol tersebut bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (3) hasil Perubahan Kedua UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jumlah parpol itu mungkin akan bertambah karena dalam Paket RUU Politik yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR, ambang batas minimal perolehan suara dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 yang 3% persen itu akan diusulkan untuk ditingkatkan menjadi 5%.

Menurut pengamatan berbagai kalangan, pihak parpol-parpol besar cenderung menyetujui usul yang terkandung dalam RUU versi pemerintah tersebut.

Penetapan electoral threshold dalam hukum positif yang mengatur bidang politik di Indonesia baru dikenal pada tahun 1999. Pasal 39 Ayat (3) UU No 3/1999 tentang Pemilihan Umum pada saat itu menegaskan bahwa untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, parpol harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan di setengah jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil pemilu.

Pasca-Pemilu 1999, beberapa parpol yang tidak memenuhi electoral threshold sempat menawar agar ketentuan ini jangan langsung diberlakukan pada mereka karena mereka merasa bahwa sebagai parpol baru, waktu persiapan yang mereka lakukan untuk memenuhi ketentuan tersebut belum lama, seperti parpol-parpol besar yang telah berhasil melampauinya. Meskipun demikian, sebagaimana kita ketahui, dalam UU No 12/2003 ketentuan ini bukannya menurun, melainkan mengalami kenaikan. Dengan demikian rencana pemerintah untuk menaikkannya menjadi 5% tampaknya memang sejalan dengan grand design rencana penataan dan pembatasan parpol secara bertahap.

Pengalaman Jerman

Salah satu negara yang menerapkan ketentuan electoral threshold 5% adalah Jerman. Perdebatan tentang ambang batas parpol vs kebebasan berserikat bahkan telah terjadi dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Jerman (Bundesvarfassungsgerichts) sekitar 50 tahun yang silam. Ketika itu suatu parpol yang bernama Partai Bavaria mengajukan permohonan di MK Jerman. Parpol yang berbasis di Bavaria itu ternyata gagal untuk mencapai electoral threshold 5%, dan oleh karena itu dia tidak bisa mendudukkan wakilnya di Bundestag (lembaga perwakilan rakyat di Jerman).

Ketentuan itu sebenarnya telah muncul di Jerman sejak tahun 1949. Beberapa pembentuk Konstitusi Jerman sebenarnya menghendaki agar ketentuan tersebut diatur dalam konstitusi, namun pandangan yang menang adalah yang menghendaki agar hal itu diatur dalam UU. UU Pemilu Federal (The Federal Electoral Act), yang diberlakukan pada tahun 1956, kemudian mengukuhkan hal ini. UU inilah yang kemudian dimintakan uji materi oleh Partai Bavaria ke MK Jerman. Menurut Partai Bavaria, ketentuan tersebut bertentangan dengan beberapa pasal dari Konstitusi Jerman (Basic Law, atau Verfassung).

Dalam putusannya MK Jerman kemudian menyatakan menolak permohonan dari Partai Bavaria. Menurut pandangan MK Jerman, tujuan dari suatu pemilu tidaklah hanya untuk menyalurkan hak-hak politik dari para pemilih sebagai individu-individu, namun juga untuk membentuk suatu perwakilan rakyat yang mencerminkan opini-opini politik mereka. Di samping itu, tujuan pemilu juga untuk membentuk suatu parlemen yang merupakan suatu institusi politik yang efektif. Dengan demikian, menurut MK Jerman, merupakan suatu hal yang sah untuk tidak mengikutsertakan parpol-parpol yang tidak memenuhi kriteria—yang saat itu mereka sebut sebagai splinter parties (partai yang menyerpih)—ke dalam lembaga perwakilan rakyat.

Fungsi integrasi

Yang menarik ialah adanya argumentasi yang dinyatakan dalam putusan MK Jerman tersebut bahwa di samping sebagai salah satu mekanisme pelaksanaan kebebasan berserikat dan kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin Konstitusi Jerman, pemilu juga memiliki fungsi integrasi. Karena itu MK Jerman: "… decided that a requirement of five percent of the vote is justified … to prevent too many splinter parties in parliament and thus guarantee the integrating function of elections …".

Argumen mengenai "fungsi integrasi" dari pemilu sebagaimana dinyatakan dalam putusan tersebut selama ini tidak pernah mengemuka dalam berbagai perdebatan politik yang terkait dengan electoral threshold di Indonesia. Adapun yang muncul hanyalah pendapat mengenai adanya pertentangan antara electoral threshold di satu sisi, dengan kebebasan berserikat di lain sisi. Padahal, fungsi integrasi juga merupakan hal yang harus dicapai dan dipertahankan dalam segala bentuk kegiatan kenegaraan, termasuk penyelenggaraan pemilu.

Untuk mengakhiri—atau bahkan memperpanjang(?)—perdebatan ini, kita tunggu saja kelanjutan langkah-langkah ke-14 parpol untuk mewujudkan rencana mengajukan uji materi kepada MK. Jika mereka jadi mengajukan permohonan ke MK, marilah kita bersama-sama menunggu lahirnya suatu yurisprudensi baru yang mengatur salah satu hal yang fundamental dalam kehidupan parpol di Indonesia.

SATYA ARINANTO Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI; Mantan Anggota Tim Ahli Pemerintah dalam Penyusunan UU No 24/2003 tentang MK

No comments:

A r s i p