Sunday, June 24, 2007

HANCUR NYA KEADABAN POLITIK
Harian Surya
Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail

Politik, jika semata-mata menggunakan logika dagang untung rugi, hanya akan menghasilkan politisi yang jiwanya seperti pebisnis. Bukan pertimbangan baik-buruk, salah-benar, jujur-dusta, melainkan suatu tindakan sering dilakukan apakah menguntungkan atau merugikan
Wajah politisi Indonesia saat ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan wajah politisi era 1950-an. Selain banyak yang terungkap melakukan politik uang, juga banyak politisi berperilaku berbeda dengan yang dikatakannya.

Demikian pandangan mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Ma'arif dalam kolokium bertajuk Moral Politik Indonesia: Wajah Politisi Jelang 2009 yang diadakan Keluarga Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di Depok, "Antara laku dan lakak belum bersahabat. Selama ini masih jadi realitas kita, tidak mustahil Indonesia masuk museum sejarah," kata Syafii.

Ada satu harapan penting yang tumbuh dalam masyarakat agar politisi kita tidak seenaknya membohongi masyarakat. Sepandai-pandai bajing meloncat, suatu saat akan jatuh juga. Kebohongan tidak akan bisa digantikan dengan kebenaran, dengan cara apa pun dan bagaimanapun.

Belajar dari perilaku politisi sepanjang reformasi ini, sebenarnya masih tersisa pertanyaan besar: adalah tentang budaya malu dan minta maaf. Kita masih sering melihat politisi malu dan minta maaf bukan karena objek kebohongannya, melainkan karena tekanan publik.

Budaya itu tanpa kita sadari sudah mendarah-daging. Seorang koruptor malu dan menyesali perbuatannya setelah ia didakwa dan dijatuhi hukuman. Seorang koruptor tidak merasa malu dengan korupsinya sendiri yang jelas-jelas melanggar aturan dan moralitas berbangsa. Ia baru merasa harus malu ketika korupsinya terbongkar.Begitu pula beberapa anggota dewan itu.

Mereka malu bukan karena jalan-jalan atas nama studi banding, melainkan karena merasa mendapatkan kritik tajam. Rasa bersalah tumbuh karena "perbuatannya yang bersalah" itu diketahui orang banyak. Rasa bersalah tidak tumbuh saat mereka melakukan "perbuatannya yang jelas-jelas bersalah" itu.

Itulah citra yang oleh banyak kritikus disebut sebagai politisi yang tidak menggunakan hati nurani dalam tindakannya. Hati nurani seharusnya sudah bisa membatasi tindakan mana yang bisa dilakukan tanpa melanggar norma publik, dan mana yang tidak bisa.

Pertimbangan Dagang

Juergen Habermas pernah menyatakan, die Normativitaet des Faktischen. Dalam kehidupan politisi sering melahirkan kecenderungan membolak-balik fakta dan norma. Terdapat kecenderungan agar suatu kenyataan faktual bisa membenarkan dirinya secara normatif, dan bukannya benar dalam pengertian norma-norma yang berlaku.

Di tengah suasana serbamaterialistis, pertimbangan pengambilan keputusan dalam berbagai areal kehidupan hanya diwarnai dengan pertimbangan untung rugi. Bukan pertimbangan benar salah.

Suatu tindakan bisa jadi "menguntungkan" walaupun secara moral "salah", demikian pula sebaliknya. Karena itu sulit bagi kita untuk menemukan mana yang dusta dan mana yang jujur. Kriteria politisi jujur dan politisi penuh dusta sulit diberikan karena pertimbangan yang sering digunakan pertimbangan untung rugi.

Politik, jika semata-mata menggunakan logika dagang untung rugi, hanya akan menghasilkan politisi yang jiwanya seperti pebisnis. Bukan pertimbangan baik-buruk, salah-benar, jujur-dusta, melainkan suatu tindakan sering dilakukan apakah menguntungkan atau merugikan. Ini sudah terjadi dalam keseharian politik kita.

Akibatnya, orang yang sedang berdusta bahkan sering dianggap sebagai orang jujur yang sedang berkhotbah. Batasannya makin kabur dan sumir. Antara dusta dan kejujuran hanya dipisahkan sehelai rasa yang sering kita sebut sebagai hati nurani. Karena itulah banyak politisi berdusta di dalam khotbah-khotbah yang tampak di depan mata sebagai "jujur".

Budaya ini berkembang luas di kalangan politisi dan yakinlah, ini masalah serius yang dihadapi bangsa ini. Sesuatu hal baru dianggap melanggar etika dan hukum, justru bila sudah diketahui dan dikritik oleh publik. Korupsi dianggap sah-sah saja dilakukan jika tidak diketahui publik. Bukan ikhwal "korupsi" sebagai "budaya hidup" yang dikritik, melainkan ketika korupsi itu diketahui orang lain.

Para elite politisi bangsa selama ini gagal menumbuhkan budaya malu dalam dirinya sendiri, bahwa korupsi diketahui atau tidak adalah tindakan melanggar aturan. Menghabiskan dan memboroskan uang rakyat untuk berfoya-foya adalah pelanggaran etika berbangsa. Ini disebut pelanggaran baru bila publik menolaknya. Budaya malu terhadap diri sendiri tidak tumbuh dalam diri politisi, karena begitu hancurnya etika politik dewasa ini.

Pertanyaan terbesarnya, apakah seseorang harus malu jika korupsinya diketahui orang lain (publik) atau harus malu tentang tindakan korupsi itu sendiri? Hanya hati nurani mereka yang bisa menjawab. Sebagus dan setegas apapun aturan yang dibuat, jika politisi dan pejabat tidak memiliki rasa malu pada diri sendiri atas perbuatan-perbuatan yang melanggar moral, peraturan itu sulit akan bermanfaat bagi banyak hal.

Peraturan yang dinamis dan tegas tentu sangat dibutuhkan, namun akan sangat efektif jika ditunjang budaya malu pada hati nurani masing-masing.
Inilah yang harus ditumbuhkan dalam mengupayakan kemajuan demokrasi di Indonesia. Tanpa adanya tradisi malu pada hati nurani, masih akan banyak kegiatan penyelewengan uang rakyat yang dilakukan dengan dalil-dalil ilmiah cerdas tapi menipu rakyat.

Masyarakat sedikit demi sedikit belajar mengenai politisi dan kebohongannya. Kebohongan politisi akan dicatat dalam alam sejarah pikir masyarakat itu sendiri. Sepintar apa pun seorang politisi mengoceh dengan angka-angka dan tujuan-tujuan baik, tetapi bila sudah terbukti berbohong ia akan sulit memperbaiki karier politisinya.

Sehebat apa pun politisi mengungkapkan dalil-dalil politiknya, jika terbukti berbohong akan dikutuk masyarakat. Tetapi masyarakat negeri ini masih toleran. Di negara kita belum seperti masyarakat Jerman -sebagaimana dinyatakan Kleden (2001)- yang berani berucap, Der ist ein Luegner! atau Die ist eine eine Luegnerin! Orang itu penipu yang penuh dusta.

Perilaku Priyayi


Tak sadar sebagai pembela rakyat, anggota dewan sudah sangat sering memerankan diri sebagai punggawa kerajaan zaman dulu yang enggan dikritik. Mereka ingin disebut priyayi, yang dalam ucapan Geerts dikatakan sebagai kelas masyarakat paling dhuwur, hidup serbaberkecukupan, dan selalu "memajaki" rakyat dengan berbagai cara. Mereka ingin disanjung meski berbuat tidak benar. Mereka ingin dihormati meski perilakunya sering bertentangan dengan moralitas kemanusiaan.

Politik priyayiisme ini hidup menggurita di segenap lini pemerintahan dari daerah hingga pusat. Kita hidup dalam sebuah zaman di mana demokrasi, objektivitas dan rasionalitas disanjung-sanjung, tapi kepatuhan dan keterpaksaan secara tidak masuk akal dipraktikkan. Sebagai elite politik mereka tak sadar kalau tindak-tanduk dan perilakunya selalu menjadi bahan pergunjingan.

Rakyat sendiri sering tertipu memiliki wakil rakyat yang demikian. Tertipu dan berulang kali tertipu memiliki pelayan yang suka mencuri uang juragan, menipunya dengan seperangkat hukum yang direkayasanya.

Itulah lingkaran kegelapan yang mewarnai kehidupan politik yang mencerminkan betapa nurani kita sebagai bangsa telah sirna di muka Bumi Pertiwi ini.

Para elite kita bagai pemain sulap yang lihai memerankan tipu muslihat yang membuai dan menipu penonton. Mereka pandai membuat penonton tertawa sekaligus menangis.
Sila pertama Pancasila sudah bukan lagi Ketuhanan yang Mahaesa, tapi mereka ganti dengan "Keuangan yang Mahaesa". Orientasi mengejar uang itulah yang selama ini bekerja memanipulasi kebenaran. Dengan uang bisa diciptakan pemimpin-pemimpin dan wakil-wakli rakyat palsu yang siap berebut kekuasaan.

Kita sedih melihat ironisme di mana peristiwa sejarah bisa dimainkan, dengan catatan berapa banyak uang yang tersedia. Kekuatan uang yang begitu dahsyat itu membuat politik tidak lagi digunakan membela rakyat kecil dalam bargain-nya dengan negara, melainkan digunakan untuk membela uang itu sendiri. Disadari atau tidak, senang atau tidak, diakui atau tidak, uang menjadi penentu segalanya.

Benny Susetyo Pr
Penulis Buku Hancurnya Etika Politik Kompas tahun 2005



No comments:

A r s i p