Thursday, June 28, 2007

Tantangan bagi Proses Reformasi di Indonesia

RI Masih Punya Harapan


Jakarta, Kompas - Setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998, muncul harapan kuat akan munculnya sebuah pemerintahan dengan tata kelola yang baik. Namun, kekecewaan terhadap kenyataan yang terjadi, setelah reformasi berlangsung sembilan tahun, memunculkan pertanyaan apakah ekspektasi rakyat memang terlalu tinggi atau memang terjadi kesalahan mendasar dalam sistem pemerintahan kita.

Masalah tersebut menjadi fokus peluncuran buku Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu (27/6). Editor buku, Ross H McLeod, yang juga associate professor dari Australian National University, menyebutkan ada kebenaran menyakitkan (inconvenient truth) di era pascareformasi, yaitu kenyataan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh secara cepat dan konsisten selama tiga dekade pemerintahan Orde Baru.

Dengan kata lain, kehidupan rakyat secara umum lebih baik pada masa kepemimpinan Soeharto, terlepas dari fakta-fakta bahwa keluarga dan kroni Soeharto memiliki kekayaan yang luar biasa besar, sementara mereka yang beroposisi terhadap rezim Soeharto langsung ditindas.

Apa yang salah dengan proses reformasi di Indonesia?

Dalam bukunya, McLeod mengatakan, tantangan bagi masyarakat adalah bagaimana mendesain sebuah sistem pemerintahan yang bisa menjamin bahwa kepentingan seluruh masyarakat bisa didahulukan secara efektif, sedangkan interes pribadi pihak-pihak yang berada dalam pemerintahan bisa diawasi. Inilah esensi dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yaitu terbangun sebuah mekanisme sampai ke level terbawah, di mana mereka yang diberi otoritas bisa menjalankan mandat dari pihak yang telah memberinya kepercayaan.

Masalahnya, persoalan good governance ini luput dari perhatian di tahun 1998 ketika masyarakat dilanda eforia merayakan kejatuhan Soeharto. Soal "keefektifan pemerintahan" menjadi kalah penting dibandingkan dengan hasrat untuk mencegah agar kekuasaan presiden seperti yang dipertontonkan Soeharto tak terulang lagi dalam sejarah Indonesia.

Reformasi birokrasi

Salah satu unsur penting dalam menciptakan good governance adalah dengan mereformasi birokrasi (civil service). Ini merupakan tantangan yang besar bagi Indonesia yang mewarisi institusi kepegawaian negeri yang masif, serba kekurangan dana, dan kurang profesional.

Menurut Staffan Synnerstrom dari Bank Pembangunan Asia, ada dua faktor kunci untuk memperbaiki kinerja birokrasi, yaitu dengan meningkatkan transparansi dan memperkuat akuntabilitas. Khusus Indonesia yang memiliki sekitar 3,6 juta pegawai negeri—di luar militer dan polisi—proses ini hanya bisa dilakukan secara gradual.

Salah satu hal yang disorot Synnerstrom adalah tradisi di Indonesia yang memisahkan antara penyusunan kebijakan (policy making) dan penyusunan anggaran (budgeting). Juga, pemilahan anggaran menjadi "anggaran pembangunan" dan "anggaran rutin". Tradisi ini membawa sejumlah kelemahan. Pertama, perubahan kebijakan, standar kinerja, pengeluaran, diatur melalui jalur administratif, tanpa terkait dengan anggaran, sehingga implementasi kebijakan sering tak sesuai dengan perencanaan.

Kedua, penyusunan anggaran di departemen umumnya disusun berdasarkan "formula yang kaku". Dengan demikian, untuk sebagian besar institusi, dana yang diterima sangat tidak mencukupi, tetapi ada juga sebagian kecil institusi yang memperoleh anggaran yang sangat besar.

Ketiga, Departemen Keuangan tidak memiliki kontrol terhadap anggaran karena sudah ditetapkan berdasarkan "formula yang kaku".

Selain birokrasi, partai politik juga memegang peranan sangat penting dalam sistem politik yang demokratis. Menurut Ben Reilly, Direktur Centre for Democratic Institutions di Australian National University, apa yang terjadi dalam dunia kepartaian dan sistem pemilu di Indonesia sehaluan dengan tren yang terjadi di kawasan Asia Pasifik.

Legislasi yang menyangkut kepartaian di Indonesia umumnya menggiring partai untuk tampil di tingkat "nasional". Hal ini diyakini untuk mencegah munculnya perpecahan kelompok etnis ataupun regional di masyarakat. Karena itu, sebuah partai diharuskan memiliki perwakilan yang layak di seluruh Indonesia.

Hanya saja di sini perlu kehati-hatian, karena bila kelompok-kelompok etnis atau agama tak mampu bersaing melalui cara-cara demokratis, dikhawatirkan mereka akan mencari jalan lain untuk mencapai tujuannya.

Dari peserta diskusi muncul pertanyaan menyangkut dana kampanye parpol yang sulit dikontrol. Menurut Reilly, problem seperti itu terjadi di negara mana pun sehingga yang dibutuhkan adalah sebuah aturan yang transparan dan secara jelas menetapkan batasan.

Masih ada harapan

Menanggapi kelangsungan reformasi di Indonesia, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng yang menjadi pembicara kunci mengatakan, sejumlah kemajuan positif telah terjadi selama sembilan tahun reformasi. "Tingkat korupsi turun, pelayanan publik membaik, kebebasan berekspresi terjamin. Artinya, sebagian hal yang dijanjikan pada awal reformasi telah terlaksana," katanya.

Menyinggung soal pemberantasan korupsi, Andi juga menyatakan sejumlah kemajuan, dengan mencontohkan banyaknya kasus korupsi yang telah diusut, termasuk yang menimpa sejumlah pejabat pemerintah. Meski masih terlihat kelemahan di sana-sini, Andi menegaskan, demokrasi adalah satu-satunya jalan yang dipilih Indonesia.

Hal senada dilontarkan Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, Indonesia masih dalam proses belajar untuk beradaptasi dengan persoalan akuntabilitas dan transparansi.

Upaya pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen politik dari rakyat dan pemerintah. Korupsi harus dihadapi semua warga negara dan didukung reformasi birokrasi yang terus-menerus. Namun, dalam upaya pemberantasan korupsi itu, ada ekspektasi masyarakat yang kerap berlebihan sehingga menjadi kontraproduktif. Apa yang dilakukan KPK, misalnya, kata Erry, tak pernah dianggap cukup.

Sikap berlebihan yang cenderung menyudutkan langkah-langkah pemberantasan korupsi di sisi lain justru membuka ruang bagi para koruptor untuk menyerang balik.

Alhasil, meskipun ada pandangan bahwa kemajuan berjalan lambat di Indonesia, setidaknya komitmen bangsa ini terhadap demokrasi tetap kuat. Hal itu antara lain bisa dilihat dari banyaknya pemilih yang memberikan suaranya dalam setiap pemilu, bahkan sampai tingkat pemilihan kepala desa.

Selain itu, berbeda dengan Thailand, di Indonesia militer dan polisi yang memiliki ambisi politik tetap mengikuti aturan main. (JOS/MYR)

No comments:

A r s i p