Thursday, June 28, 2007

Golkar dan PDI-P
Memaknai Silaturahmi Dua Partai di Medan

Mohammad Bakir


Dalam politik dikenal adagium, tidak ada musuh permanen, yang ada hanyalah kepentingan permanen. Itulah yang langsung merebak ketika dua partai besar, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P, bertemu di Medan, 20 Juni 2007.

Suasana massa kedua partai yang belum cair, terkotak-kotak, dan masing-masing sibuk sendiri, tidak sekadar menunjukkan bagaimana di tingkat bawah, pendukung kedua partai pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 itu sulit bersatu. Tetapi, di sisi lain, hal itu menguatkan dugaan, kalaupun di puncak mereka bersatu, persatuan itu pun tidak lebih dari kesamaan kepentingan.

Kesamaan kepentingan itu paling tidak terungkap dari pidato Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh dan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufik Kiemas. Surya menyatakan, dalam kehidupan politik Indonesia terjadi pergeseran terhadap komitmen kebangsaan. Hal itu ditandai oleh mengendornya komitmen terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Dengan bahasa berbeda, Taufik Kiemas mengatakan, PDI-P yang selama ini menjunjung tinggi pluralisme sangat berkepentingan bagi tetap tegaknya Pancasila. "Perjuangan menegakkan pluralisme dan Pancasila ini akan lebih ringan jika dijinjing berdua," ujarnya.

Pernyataan yang bernada kebangsaan ini belum mencerminkan seluruh agenda dan keinginan yang bakal diraih dari pertemuan politik di Medan, Sumatera Utara, yang dikemas dalam acara silaturahmi kader itu. Bungkus kebangsaan hanya merupakan salah satu dari banyak faktor yang mempertemukan kembali kedua partai, setelah pernah menyatu beberapa tahun lalu ketika menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid.

Koalisi menentukan

Agenda lain sempat diungkapkan Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung. Dalam kehidupan politik yang multipartai ini, diakui, koalisi kedua partai sangatlah menentukan. Pramono mencontohkan, calon yang diusung koalisi kedua partai itu memenangi sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada) di Tanah Air.

"Kalau tidak salah, sekitar 86 persen, koalisi ini memenangkan pilkada. Kalau kita tidak berkoalisi, partai lain yang memanfaatkan," ujarnya.

Surya pun tidak menutup-nutupi bahwa koalisi keduanya akan sangat menentukan bagi kadernya untuk dapat menduduki posisi strategis di lembaga politik. "Bagi kami, Partai Golkar dan PDI-P telah ada kesepakatan untuk saling asah, asuh, dan asih," katanya lagi.

Persoalannya, seperti diungkapkan kader Golkar, Yuddy Chrisnandi, keberadaan Surya Paloh di Medan itu tidak mewakili kepentingan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Koalisi dan semacamnya bukanlah domain Dewan Pertimbangan Pusat, tetapi DPP Partai Golkar. Artinya, jika koalisi itu benar, Ketua Umum Golkar M Jusuf Kalla-lah yang menghadirinya.

Pertanyaan lanjutan yang muncul melihat pernyataan Yuddy, bagaimana mungkin Golkar yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif akan berkoalisi dengan PDI-P yang memosisikan diri sebagai oposisi utama di parlemen. Apakah pertemuan ini mendapat restu Jusuf Kalla, yang merupakan bagian langsung dari kekuasaan? Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu sebelum melihat kepentingan koalisi lebih jauh.

Masih banyak pertanyaan muncul terkait pertemuan Medan. Di tingkat DPP Partai Golkar, pertemuan Medan bukan saja tidak pernah dibahas, tetapi juga dinilai membingungkan massa di tingkat bawah. Sebaliknya, massa PDI-P juga mempertanyakan rencana koalisi itu karena secara tidak langsung akan menggerogoti simpatisan partai di tingkat pedesaan.

"Saya tidak tahu mengapa harus koalisi dengan Golkar. PDI-P kan katanya oposisi terhadap pemerintah. Saya khawatir sikap seperti ini dapat memengaruhi massa kami di tingkat bawah," ujar Pangaribuan, warga PDI-P asal Toba Samosir, Sumut.

Sederhanakan masalah

Betul, koalisi PDI-P dan Golkar memenangi pilkada di banyak daerah. Tetapi, yang harus diingat, situasi dan kondisi politik di setiap daerah pasti berbeda sehingga penyeragaman dalam upaya memenangi pilkada dapat diartikan sekadar menyederhanakan masalah.

Ketika koalisi Partai Golkar dan PDI-P di Provinsi Banten, melalui pemunculan Atut Chosyiah, memenangi pilkada, bukan berarti koalisi kedua partai itu di DKI Jakarta yang mengusung Fauzi Bowo akan mudah meraih suara mayoritas warga. Konstelasi politik DKI Jakarta yang didominasi kaum berpendidikan seharusnya menjadi pertimbangan tersendiri. Jadi, upaya mendekati pemilih tidak boleh hanya mengandalkan mesin politik partai.

Sampai hari ini, baik Golkar maupun PDI-P belum melakukan sesuatu yang dapat menyentuh kaum berpendidikan di DKI Jakarta, yang sebagian menjadi pemilih fanatik Partai Keadilan Sejahtera. Terlepas dari figur yang dicalonkan, Golkar dan PDI-P dapat dikatakan agak terlambat mengantisipasi keengganan kaum terpelajar DKI untuk memilih calon dari partai politik, seperti ditunjukkan dalam beberapa hasil jajak pendapat selama ini.

Di Sumut, yang keragaman warganya mirip DKI Jakarta, rasanya agak sulit bagi Partai Golkar dan PDI-P untuk dapat berkoalisi dalam pemilihan gubernur tahun 2008. Jauh-jauh hari sebelum pencanangan koalisi, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumut Ali Umri sudah mencanangkan pencalonan dirinya. Ini berbeda dengan PDI-P yang sampai sekarang masih belum menyebut bakal calonnya, meski pelaksanaan pilkada akan digelar April 2008.

Apalagi, Ketua DPD PDI-P Sumut, yang juga Gubernur Sumut, Rudolf Pardede selama ini dihadapkan pada persoalan keabsahan ijazahnya. Sejumlah kalangan masih mempersoalkan "tanda tamat belajar" mantan Wakil Gubernur Sumut itu.

Kalau kedua partai ini harus berkoalisi dalam pilkada nanti, inisiatif itu harus datang dari atas. Pertanyaannya, siapa yang akan diajukan dan apakah figur itu dapat diterima di tingkat bawah? Konstelasi politik lokal inilah yang, meminjam istilah Surya Paloh, koalisi ingin mengisi jabatan politik strategis menjadi tujuan utama, harus diperhitungkan. Jika bukan itu, lalu siapa yang disasar lewat pertemuan Medan tersebut?

Jawabannya, tidak lain tidak bukan, adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan pertemuan Medan, paling tidak sebagian fungsionaris Partai Golkar berusaha menaikkan posisi tawar mereka di mata Presiden. Jika pada pertemuan Medan banyak fungsionaris Partai Golkar hadir, bisa jadi mereka belum punya akses yang cukup pada kekuasaan eksekutif. Sebut saja Sekjen Partai Golkar Sumarsono, Ketua DPP Bidang Organisasi Karya Kekaryaan Syamsul Muarif, Ketua Koordinator Wilayah Sumatera Utara Burhanudin Napitupulu, dan Ketua DPP Golkar Priyo Budi Santoso.

Buat PDI-P, koalisi ini penting untuk menunjukkan, tidak ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya, dan kedua partai setiap saat dapat berkolaborasi untuk suatu tujuan seperti ditunjukkan ketika melengserkan Abdurrahman Wahid. Sinyal ini penting bagi PDI-P, yang selama ini sering kali berjalan sendirian di parlemen, tanpa dukungan dari partai lain.

Dengan perkataan lain, PDI-P ingin menunjukkan, jika selama ini kekuatan oposisi yang dibangun dianggap belum memadai, terutama dengan bantuan dari sebagian pengurus Partai Golkar yang belum punya akses pada eksekutif, oposisi itu paling tidak akan sedikit menguat. Tambahan kekuatan baru itu paling tidak akan membuat partai lain yang selama ini ragu dengan sikap oposisi PDI-P akan meliriknya. Apalagi, setelah perombakan kabinet pada awal Juni lalu, menyisakan perasaan kurang nyaman pada banyak partai, tidak terkecuali partai yang selama ini mendukung kepemimpinan Presiden Yudhoyono.

Apa pun, koalisi ini sudah dicanangkan dan akan segera diikuti dengan pencanangan berikutnya di daerah lain, meskipun beragam pertanyaan tetap harus dijawab oleh pimpinan kedua partai. Langkah strategis seperti ini tidak harus diterjemahkan atau disederhanakan untuk mencalonkan kader PDI-P dan Golkar pada pemilihan presiden 2009. Untuk menuju ke sana, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan kedua partai. Apalagi secara gradual, massa keduanya masih sering terlibat konflik.

Kalaupun ada harapan dari pertemuan Medan, itu tidak lebih dari tekanan kepada Presiden Yudhoyono untuk lebih berhati-hati melangkah dan membuat kebijakan, atau bisa lebih jauh memperbaiki kinerjanya. Tetapi, apakah ini efektif? Ya, masih harus kita lihat lagi....

No comments:

A r s i p