Tuesday, June 19, 2007

Meredupnya Pamor Sang Pembela HAM

Suwardiman

Terpilihnya Indonesia menjadi anggota Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mei lalu, seolah meniupkan nada satire dalam wacana penegakan hak asasi manusia atau HAM di negeri ini. Pelanggaran HAM masih saja terjadi, dan banyak proses penyelesaian pelanggaran HAM yang menemukan jalan buntu.

Realitas menggambarkan, sejumlah kelompok elite masih bisa menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi regulasi dengan berbagai cara. Ini tergambar dari sulitnya membongkar kasus pelanggaran HAM yang melibatkan mereka yang berada dalam jejaring kekuasaan. Belum lagi, pemenuhan hak dasar rakyat, seperti hak memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas akses kesehatan dan pendidikan yang baik, serta hak mendapat keadilan, masih jauh panggang dari api.

Kenyataan ini boleh jadi menggiring warga kepada apatisme terhadap kinerja penyelenggara negara dalam memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia, khususnya terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Padahal, komisi ini adalah salah satu garda terdepan perjuangan HAM.

Proses seleksi terhadap calon komisioner Komnas HAM menempatkan 43 calon yang masih harus melalui uji kelayakan dan kepatutan. Hasil seleksi yang akan diumumkan beberapa hari ke depan, akan melahirkan anggota yang memikul beban berat di tengah pudarnya citra lembaga pembela HAM itu.

Publik gamang atas seleksi yang dilakukan DPR. Separuh lebih dari responden dalam Jajak Pendapat Kompas kali ini merasa tak yakin seleksi kali ini akan melahirkan anggota yang berkualitas. Sebanyak 50,7 persen responden menyangsikan anggota yang terpilih akan bisa mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi.

Eksistensi Komnas HAM melemah justru saat kewenangannya diperkuat melalui fungsi penyelidikan/penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Situasi sosial politik di Tanah Air yang lebih terbuka dan demokratis selama satu dekade terakhir, tidak berhasil dijadikan tuas yang mendongkrak kinerja Komnas HAM.

Kekecewaan publik terekam jelas dalam jajak pendapat kali ini. Mayoritas responden (75,8 persen) menilai penegakan HAM di negeri ini masih buruk. Sebanyak 73,5 persen responden juga tidak puas dengan kinerja Komnas HAM dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM.

Masa awal

Pada masa awal terbentuknya Komnas HAM, publik banyak yang menyangsikan keberadaannya. Pembentukan Komnas HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 mendapat reaksi sinis. Lembaga ini dinilai hanya jadi "bemper" pemerintah dan alat untuk meredam suara miring tentang penegakan HAM di Indonesia, terutama sorotan internasional yang saat itu mulai mengarah tajam kepada masalah pelanggaran HAM di Timor Timur.

Namun, pandangan miring terhadap Komnas HAM mulai pudar saat dalam perjalanannya, lembaga ini mulai dengan garang mengungkap sejumlah kasus yang melibatkan militer. Kasus pembunuhan Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur, dan kasus Liquisa di Timtim menjadi momentum yang mengangkat citra Komnas HAM dalam waktu singkat. Komnas HAM pada saat itu secara langsung mencari fakta ke lapangan, mengumumkan hasil investigasinya, dan memberikan rekomendasi.

Pamor lembaga itu terangkat saat merekomendasikan pencabutan UU No 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Meski rekomendasi itu ditolak pemerintahan Soeharto, keberanian Komnas HAM menentang kekuasaan militer saat itu dipuji sebagai bukti independensi lembaga itu dalam memperjuangkan HAM.

Komnas HAM memang dibentuk rezim Orde Baru dan dibiayai dari anggaran Sekretariat Negara. Keanggotaannya pun saat itu ditunjuk langsung Soeharto. Meski sebagian anggotanya berasal dari kalangan profesional dan lembaga swadaya masyarakat, tetapi lebih banyak dari kalangan birokrat, mantan pejabat, dan pensiunan jenderal, yang notabene kolega penguasa, termasuk Ketuanya Ali Said.

Maka, saat Komnas HAM mampu tampil dan membuktikan diri sebagai lembaga yang berani menekan pemerintah, masyarakat mulai menaruh harapan tinggi. Komnas HAM diyakini bisa menjadi lembaga alternatif yang menjadi motor perjuangan penegakan HAM.

Pascareformasi

Harapan itu memudar justru setelah runtuhnya rezim penguasa yang sebelumnya sulit ditembus. Kondisi yang dianggap lebih terbuka tak menghasilkan perubahan yang lebih baik. Ketika kekuasaan pemerintah kian dibatasi oleh kontrol yang lebih terbuka, ternyata aksi kekerasan politik yang diduga melibatkan negara kian banyak terjadi.

Setelah tahun 1998, banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi, di antaranya adalah aksi kekerasan pascareferendum Timtim, tragedi Semanggi I dan II, insiden Trisakti, penembakan di Wamena, dan pembunuhan aktivis HAM Munir. Kasus yang paling hangat adalah penembakan sejumlah warga di Alas Tlogo, Kabupaten Pasuruan, Jatim, yang melibatkan anggota Marinir. Juga kerusuhan di Poso, Maluku, dan Kalimantan Barat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 Agustus 2006 mengatakan, situasi HAM pasca-mundurnya Soeharto menuju ke arah besar dengan penciptaan produk hukum yang menghormati HAM yang berkesinambungan. Namun, perubahan di tataran legal formal terbukti tidak cukup. Regulasi yang memberi ruang lebih terbuka pada HAM menjadi tidak bermakna ketika implementasinya di lapangan berbicara lain.

Komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat saat itu juga diucapkan melalui janji meneruskan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Apa daya, janji yang sudah terucap itu harus ditarik seiring dibatalkannya UU No 27/2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi.

Komnas HAM tak mungkin berjuang sendiri. Ia harus didukung kekuatan lain, terutama dari negara. Namun, seperti diungkapkan separuh dari 822 responden, mereka menilai dukungan pemerintah dan sistem hukum terhadap Komnas HAM masih lemah. (Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p