Friday, June 15, 2007

Menyoal Fenomena Golput

Bawono Kumoro

Fenomena golongan putih atau golput menguat seiring kian dekatnya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta bulan Agustus nanti.

Banyaknya golput tercermin dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini. Menurut hasil survei, delapan dari sepuluh warga Jakarta setuju calon independen. Dari sekitar 1.000 responden, 59 persen memiliki kecenderungan untuk memilih calon dari luar jalur partai. Hingga pendaftaran ditutup 7 Juni lalu, tak satu pun calon gubernur dari jalur independen. Karena itu, wajar jika muncul asumsi, jumlah golput dalam Pilkada DKI Jakarta akan meningkat, mendekati 60 persen.

Bentuk perlawanan

Secara sederhana, golput dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan kandidat yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka. Tetapi, bagi mereka yang ingin memenangi Pilkada DKI, golput ibarat petaka. Golput pun dipandang sebagai bentuk rekayasa politik.

Pada masa Orde Baru (Orba), golput dipandang sebagai virus politik yang harus dicegah perkembangannya. Bahkan, golput dikategorikan sebagai makar politik. Banyak aktivis politik harus dibui karena berkampanye untuk golput. Pemilu 1971 menjadi momentum awal bagi lahirnya fenomena golput dalam pentas politik Indonesia, dengan Arief Budiman sebagai tokoh utamanya.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang, golput dapat merepresentasikan tiga hal.

Pertama, penolakan atas produk apa pun yang dihasilkan sistem ketatanegaraan kontemporer. Negara dianggap tidak lebih dari bagian korporatis sejumlah elite terbatas yang membajak kedaulatan rakyat. Seluruh produk undang-undang (UU) dipersepsikan sebagai bagian rekayasa politik dari segolongan orang yang selama ini mendapat berbagai privilese politik. Kampanye golput yang dipelopori Arief Budiman tahun 1970-an merupakan contoh terbaik untuk menggambarkan hal itu.

Kedua, kalkulasi rasional tertentu. Bahwa ada atau tidak ada pemilihan, ikut atau tidak ikut mencoblos dalam pemilihan, tidak akan berdampak atas perbaikan nasib atas diri pemilih bersangkutan.

Ketiga, golput juga merepresentasikan pilihan politik tertentu. Golput yang dilakukan para pendukung loyalis kandidat presiden dan wakil presiden yang tidak lolos dalam putaran pertama Pemilu Presiden 2004 merupakan contoh terbaik untuk menggambarkan hal itu. Mereka percaya pada negara dan berbagai aspeknya, termasuk pemilu. Namun, memilih golput karena preferensi politiknya berbeda dengan yang lain.

Bukan kewajiban

Selain ketiga hal itu, fenomena golput di masyarakat Indonesia yang sedang berkembang harus dilihat sebagai ciri masyarakat baru yang sedang terbentuk, yaitu masyarakat yang mulai melepaskan diri dari politik atau dengan kata lain tidak menempatkan politik sebagai segala-galanya.

Melalui golput, lapisan masyarakat yang selama ini terkungkung dalam hegemoni proses politik yang kapitalistik seolah sedang menegaskan kembali eksistensinya. Terlebih realitas politik Indonesia kontemporer menunjukkan, hampir tidak ada sumbangan berarti yang diberikan dunia politik bagi kemaslahatan rakyat Indonesia, selain konflik dan kekerasan.

Berpijak dari elaborasi itu, golput bukan rekayasa politik karena digerakkan oleh luapan energi dengan kesadaran, begitu banyak hal yang terlupakan dan terabaikan oleh sistem dan proses politik saat ini, termasuk perihal ketiadaan calon independen. Golput juga merupakan bentuk aktualisasi diri di tengah perubahan yang sedang berlangsung.

Karena itu, sudah semestinya golput tidak dijadikan cibiran politik. Demokrasi mengharamkan kita untuk menghujat mereka yang secara sadar memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya. Harus diingat, memilih bukan kewajiban, tetapi hak.

Pada masa datang, ada baiknya jika golput dilembagakan menjadi gerakan politik. Dengan begitu, pihak-pihak yang memilih untuk golput akan terdorong untuk secara sistematis mengajukan ide-ide alternatif yang selama ini cenderung diabaikan partai politik dan elite pemerintahan. Karena tidak bijak pula jika ada kalangan yang mengklaim diri sebagai bagian dari golput, tetapi tidak mengajukan agenda-agenda alternatif atau kritik membangun atas sistem dan proses politik yang sedang berjalan.

BAWONO KUMORO Peneliti pada Laboratorium Politik; Editor Tetap Jurnal Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

No comments:

A r s i p