Thursday, June 21, 2007

Bila Partai Tanpa Politisi

M Alfan Alfian

Dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia, sebagaimana dikutip Kompas (13/6/2007), cendekiawan Daniel Dhakidae menyinyalir bahwa intelektual kita dibentuk oleh kondisi masyarakat yang memang menyedihkan. Lingkungan perguruan tinggi yang semakin jauh meninggalkan universitas yang bercita-cita jadi pusat semua keunggulan. Media elektronik hanya melahirkan kaum pendengar dan penonton.

Persepsi tentang partai adalah bisnis politik besar, dan parlemen telah mempraktikkan parlementarisme yang ditandai dengan direndahkannya politik sebagai sekadar alat mengangkat personel pemerintahan, dan kekuatan yang mengaturnya adalah modal. Karenanya, demokrasi menjadi capitalo-parliamentarism.

Konteks pendapat Dhakidae tersebut terkait dengan otokritik terhadap gagalnya intelektual sebagai kelompok pembaru di masa kini, di tengah "kerakusan politik" yang mengemuka sebagai ekses praktik capitalo-parliamentarism. Tentu, pemetaan kondisi tersebut membuat kita segera nelangsa. Bayangkan kalau kebudayaan dan politik kita kehilangan habitatnya, ketika kampus-kampus dibikin megah, tetapi gagal menciptakan akademisi-intelektual. Ketika media meninabobokan kekritisan, tatkala partai politik tanpa politisi, dan ketika parlemen sudah mulai berlogika kapital. Runyam bukan?

Tetapi begitulah, demokrasi politik kita yang "liberal" dewasa ini memang menyediakan ruang untuk itu.

Tempat numpang lewat

Apa alasan kita mencemaskan partai tanpa politisi? Pertama, partai akan kehilangan "aktor yang sesungguhnya" atau politisi- substansial alias pemain intinya. Politisi adalah sebutan bagi orang yang bergerak di bidang politik, khususnya para aktivis partai politik, tetapi ia bukanlah sebuah profesi karena terkait dengan "panggilan untuk mengabdi", bukan panggilan untuk "memperkaya diri".

Politisi boleh berasal dari berbagai latar belakang, apakah mantan aktivis mahasiswa, tokoh informal dalam masyarakat, mantan tentara, dokter, ataukah pengusaha. Hal ini disebabkan karena menjadi politisi adalah menjadi orang yang memiliki keyakinan politik dan berupaya memperjuangkannya. Tujuan mulia para politisi tentu amat terkait dengan bagaimana menyejahterakan rakyat dan memajukan bangsa. Menjadi politisi sejatinya tak kalah mulianya dibandingkan begawan. Karena, memang, sesungguhnya, tidak selamanya "politik itu kejam".

Kedua, dominannya aktor-aktor figuran alias politisi-artifisial yang memandang partai adalah suatu "bisnis politik besar" yang tidak saja bersifat protektif atas aktivitas-aktivitas bisnis para pengurusnya, tetapi juga bak "kapal keruk kapital" yang efektif. Tatkala logika untung-rugi ala bisnis ekonomi telah merambah ke wilayah politik, maka partai menjadi identik dengan perusahaan yang berorientasi profit. Negosiasi politik direduksi secara substansial bahwa yang ada "membeli" atau "dibeli".

Ketiga, partai dimanfaatkan sekadar sebagai tempat numpang lewat dan menjadi sarang kaum oportunis. Ketika magnet politik partai adalah pragmatisme, tidak ada idealisme sama sekali, maka seberapa kuat daya integrasinya? Ketika pembangunan kelembagaan partai ditopang oleh para aktor yang tidak otentik, lalu di mana lagi letak kemenarikannya?

Bercorak transformasional

Partai politik tanpa politisi, bak kolam ikan tanpa ikan, karena ikan telah terdesak oleh kecebong, kodok, belut, dan ular, yang ramai-ramai hendak "bancakan kekuasaan". Ketika politisi terdesak dari habitatnya, maka keseimbangan ekosistem politik secara makro tentu akan "terganggu". Kualitas politik akan minus karena sering dilangkahinya fatsun politik.

Betapa tidak indahnya kalau proses-proses politik kita monoton bercorak transaksional an sich. Para politisi idealnya merupakan elite-elite pemimpin yang bercorak transformasional. Mereka punya visi dan mampu mendedahkannya ke dalam program-program yang nyata, yang sekaligus berimbas pada pencerdasan politik publik.

Alangkah konyolnya para politisi kita, tatkala justru merasa bangga dengan menenggelamkan diri pada praktik-praktik politik transaksional. Lebih jahat lagi, kalau yang maju adalah uang yang telah diposisikan sebagai "alat sogok yang sah" di kalangan mereka.

M ALFAN ALFIAN Analis Politik The Akbar Tandjung Institute dan Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

No comments:

A r s i p