Thursday, June 28, 2007

Presiden Lemah
karena Kebanyakan Partai Politik

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya, menilai pemerintah yang terbentuk pada era reformasi, dimulai dari Presiden BJ Habibie hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lemah. Lemahnya pemerintah itu disebabkan banyaknya partai politik yang dibentuk tanpa tanggung jawab jelas.

"Situasi seperti ini harus dialami oleh pemerintah yang dipimpin siapa pun, apakah Habibie, Gus Dur, Megawati, atau saat ini (Yudhoyono). Pergantian pemerintahan tidak menghasilkan pemerintah yang kuat," ujar Kalla saat menjamu makan siang 156 peserta Pendidikan Politik Kader Bangsa (P2KB) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (27/6).

Peserta P2KB datang didampingi Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI Syamsul Muarif. SOKSI adalah salah satu dari tiga organisasi yang membidani lahirnya Golongan Karya yang pada saat reformasi berubah menjadi Partai Golkar.

Menurut Kalla, karena lemahnya pemerintah sejak reformasi, Indonesia tidak membuat karya besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Reformasi yang diawali tumbangnya Presiden Soeharto hanya dipenuhi banyaknya orang bicara. "Dalam 10 tahun terakhir, coba lihat, apa yang kita buat? Kita tidak membuat sesuatu yang besar," ujarnya.

Agar dapat membuat karya besar, menurut Kalla, dibutuhkan pemerintah yang kuat, tetapi terawasi. Untuk menghasilkan pemerintah yang kuat sekaligus terawasi atau tidak otoriter, Kalla mengusulkan ide lama yang kerap disampaikannya sejak tahun 2005, yaitu penyederhanaan parpol, tentu saja dengan cara-cara demokratis.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengemukakan, penyederhanaan parpol, seperti dikemukakan Kalla, merupakan variabel menuju stabilitas politik untuk hadirnya pemerintah kuat. "Jadi, penyederhanaan parpol bukan hal fundamental untuk menghadirkan pemerintah yang kuat," ujarnya.

Namun, menurut dia, penyederhanaan parpol menjadi tujuh atau lima tak serta-merta menghasilkan partai dengan dukungan lebih dari 50 persen. Demokrasi di Indonesia justru membuat pilihan politik terfragmentasi.

"Penyederhanaan parpol saja tidak cukup, dibutuhkan koalisi. Untuk koalisi, kita tidak punya tradisi baik. Belum ada koalisi yang dibuat tertulis dan ideologis atau setidaknya programatis. Koalisi dilakukan hanya untuk kepentingan praktis. Ini repotnya," ujarnya. (INU)

No comments:

A r s i p