Saturday, June 23, 2007

POLITIKA

Suka Enggak "Ngeh"

BUDIARTO SHAMBAZY
e-mail: bas2806@kompas.com

Koalisi Kebangsaan atau KK hidup lagi meski tinggal menyisakan dua parpol terbesar, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pertemuan di Medan, 20 Juni, dilanjutkan Juli di Palembang dan Oktober di Jakarta.

KK tak berfungsi setelah Jusuf Kalla terpilih sebagai Ketua Umum Golkar tahun 2004. Sekitar satu tahun lalu dimulai lagi lobi-lobi antarkedua partai politik yang akhirnya terwujud jadi pertemuan Medan.

Golkar pemenang Pemilu 2004, PDI-P empat tahun sebelumnya. Pembentukan "front nasional" dengan ideologi kebangsaan merupakan manuver politik yang lumrah dalam demokrasi.

Pernah terjadi peleburan ideologi/parpol terbatas ala Front Nasional, Persatuan Perjuangan, Sekretariat Bersama Golkar, fusi PPP dan PDI, atau Poros Tengah. Peleburan semu itu bisa saja menuju penyederhanaan parpol yang lebih manageable.

Barack Obama tak berhenti resah ingin "mempersatukan" Partai Demokrat dan Republik yang secara ideologis tak jauh berbeda, dengan menempatkan ke-Amerika-an di atas segalanya. Barisan Nasional di Malaysia mendominasi rezim prodemokrasi dan ekonomi pasar.

Kampanye kebangsaan KK layak diangkat ke tingkat nasional. Ia bisa diperluas sampai ke berbagai wilayah untuk "meledakkan" secara serentak kesadaran terhadap bahaya sektarian atau radikalisme.

Pasti ada pihak-pihak yang ngedumel di dalam Golkar, PDI-P, bahkan di parpol-parpol lainnya. Dalam politik berlaku prinsip "who gets what, when, and how."

Politik, ya politik. Jika ada parpol yang ingin unjuk gigi sebelum tahun 2009 atau ada tokoh yang mengintai jabatan calon presiden, ya monggo.

Namun, semua pihak perlu menjaga prakarsa ini agar jangan cuma menjadi persoalan politics as usual yang urusannya sepele. Masih banyak masalah pelik yang membutuhkan solusi yang berbasis kebangsaan.

Ternyata terorisme masih jadi bahaya laten setelah tertangkapnya Abu Dujana dan Zarkasih. Salut untuk Kepolisian Negara RI yang tentu tetap memerlukan bantuan masyarakat membasmi musuh bersama itu.

Banyak yang bertanya, kapan lumpur panas Lapindo akan berakhir?

Birokrasi masih dijangkiti penyakit sistemik, seperti korupsi dan ketidakpastian hukum. Kenaikan harga terjadi susul-menyusul setelah beras, minyak tanah, dan kini minyak goreng.

Uang yang tersedia amat banyak, tetapi nyaris tak terserap. Anggota DPR yang mengurusi anggaran, Emir Moeis, mengatakan, yang terjadi sekarang ini adalah "anomali ekonomi."

Alhasil, prakarsa KK yang berbasis kebangsaan perlu dan tepat waktu. Tak banyak manfaatnya hanya mencibir atau mengkritik tanpa menawarkan solusi.

Apalagi siapa pun berhak memprakarsai inisiatif berbasis kebangsaan karena demokrasi representatif butuh debat atau kompromi. Ada ruang publik bagi debat dan kompromi itu yang berlangsung harmonis, stabil, dan jinak.

Indonesia pasar besar, potensial, dan menggiurkan sekalipun masih banyak penyakit sistemik yang mewabah. Ada modal "terbang" ke Singapura atau pabrik pindah ke Vietnam, tapi banyak yang nafsu bertandang ke sini.

Politik, tak bisa lain, jadi kata kunci untuk peningkatan level of playing field bagi ekonomi. Prakarsa berbasis kebangsaan menjadi penyulut yang meledakkan kesadaran terhadap bahaya radikalisme, seperti terorisme.

Bung Karno mengenalkan slogan "politik adalah panglima", Pak Harto "persatuan dan kesatuan". Mungkin kini saatnya berslogan "dengan berbasis kebangsaan kita menyulut kesadaran terhadap bahaya radikalisme".

KK wajib "membagi-bagikan" prakarsa berbasis kebangsaan ini kepada konstituen masing-masing di berbagai daerah. Sudah terdengar kabar ada pula sejumlah parpol yang tertarik bergabung ke aliansi nasionalistis ini.

Jika dilakukan road show dampak positif KK lainnya mencambuk pemerintahan lokal lebih responsif menghadapi tuntutan masyarakat yang ingin hidup sejahtera. Sikap apatis rakyat akan sedikit terobati.

KK juga menjadi peringatan dini bagi kekuasaan pusat agar bekerja lebih serius dan jangan lagi membuang-buang waktu. Banyak persoalan yang membutuhkan penyelesaian cepat, get things done!

KK berbasis kebangsaan ini membuka peluang bagi berbagai skenario dalam Pemilu/Pilpres 2009. Pekerjaan terberat membantu Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyiapkan proses demokrasi berjalan lancar.

KK memperbaiki citra Golkar dan PDI-P tetap bertahan jadi "dua besar" tahun 2009. Kalau KK dulu bertahan jadi oposisi setelah Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, situasi saat ini akan berbeda.

KK tak mustahil jadi dorongan eksternal bagi parpol-parpol lain segera berbenah daripada meributkan soal-soal sepele. Kata orang Inggris, "Talk is cheap."

Semakin banyak capres akan semakin baik bagi rakyat. Tak ada yang salah jika nama-nama lama ikut pilpres lagi, apalagi jika daftar itu bertambah dengan debutan, seperti Sultan Hamengku Buwono X, Jusuf Kalla, atau Surya Paloh.

Semoga banyak calon wakil presiden yang ekonom karena masalah rawan 2009 masih ekonomi. Beberapa eksekutif asing bertanya, bagaimana masa depan pasca-2009?

Saya sergah, "The future looks bright". Elitenya pro demokrasi dan ekonomi pasar meski gemar korupsi, rakyatnya "tengahan" walau menyebalkan.

Masalah? "Saya bisa buat daftar 1.001 masalah di negeri ini. Daya saingnya rendah, belum aman, hukumnya amburadul, macam-macamlah."

Masalah utama? "Suka enggak ngeh karena kebanyakan masalah, termasuk enggak ngeh Indonesia adalah bangsa yang bernegara."

No comments:

A r s i p