Friday, June 22, 2007

Tanah dan Tentara Kita

Suhardi Suryadi

Peristiwa berdarah tanggal 7 Mei di Desa Alas Tlogo, Pasuruan, telah menyita perhatian dan simpati masyarakat sampai saat ini. Aksi simpati dari berbagai kalangan atas tewasnya 4 warga yang tertembak anggota marinir cukup meluas terutama dari aktivis HAM dan mahasiswa di berbagai daerah.

Jika disimak, reaksi dan respons yang muncul atas peristiwa Alas Tlogo lebih banyak terkait dengan penyelesaian tindak kekerasan (penembakan) ketimbang kasusnya sendiri, yaitu konflik status pemilikan lahan antara warga dan TNI AL. Perdebatan atau polemik yang berkembang terkait dengan pilihan lembaga pengadilan mana yang tepat dalam mengadili anggota Marinir yang menembak, peradilan militer atau umum.

Memang, penegakan hukum atas tindak kekerasan/penembakan oleh Marinir ini mutlak untuk dituntaskan. Namun, yang tidak kalah penting adalah penuntasan masalah konflik perebutan atau pemilikan lahan antara masyarakat dan TNI. Terlebih lagi kasus sengketa lahan ini sangat banyak dan ada di mana-mana, seperti kasus Rumpin Bogor dan Desa Sakra di Lombok. Padahal, sengketa antara masyarakat dan TNI bukan saja terkait dengan tanah, melainkan bisa juga menyangkut perebutan sumber daya kehidupan. Tanpa menyelesaikan sengketa ini secara komprehensif (tidak semata— mata pendekatan hukum positif) niscaya peristiwa Alas Tlogo akan muncul kembali di tempat lain dan mungkin dengan jumlah korban yang besar baik dari sisi harta dan nyawa.

Tanggung jawab negara

Penguasaan tanah oleh TNI untuk kepentingan sarana pelatihan tempur dan instalasi militer yang lain tidak bisa lepas dari iklim politik rezim masa lalu. Dalam situasi politik yang bersifat otoritarian, maka banyak kasus penguasaan tanah masyarakat oleh militer bersifat sepihak. Sekalipun tanah tersebut dibeli, namun proses dan penetapan harganya tidak jarang dilakukan melalui tindakan represif dan intimidatif. Di samping itu, lahan yang dikuasai TNI berasal dari bekas pangkalan militer yang ditinggalkan Jepang atau Belanda dan kemudian diperluas ke lahan masyarakat tanpa atau dengan ganti rugi yang murah.

Tatkala sistem politik lebih terbuka dan demokratis yang dicirikan dengan penghargaan terhadap hak-hak sipil politik dan ekonomi, sosial dan budaya maka pola-pola penguasaan tanah secara sepihak oleh TNI mulai dipertanyakan kembali dan digugat masyarakat. Meski disadari bahwa tanah yang dikuasai TNI sangat dibutuhkan guna menunjang kepentingan militer sebagai alat pertahanan negara. Ini berarti, TNI dituntut untuk memikirkan kembali strategi dan rencana pengembangan sarana dan prasarana sebagai instalasi militernya. Seperti dikemukakan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, diperlukan pengkajian yang sangat mendalam untuk penataan fasilitas militer terkait dengan perkembangan kepadatan penduduk (Kompas, 8/6).

Keberadaan instalasi militer termasuk pusat pelatihan tempur memang sangat penting untuk menjaga kedaulatan negara. Negara berkewajiban memberi ganti sesuai dengan nilai ekonomi (harga pasar) atas lahan masyarakat jika instalasi TNI yang dipertahankan karena pertimbangan lokasi yang strategis dari perspektif militer. Namun, sebaliknya, TNI harus rela merelokasi jika dari areal instalasinya tidak lagi cocok dengan kondisi sosial, kepentingan ekosistem lingkungan serta rawan pada sisi keamanan. Dan, negara harus siap menyediakan alokasi anggaran sekalipun besar nilainya.

Yang penting dalam penyediaan instalasi militer ini, TNI tidak lagi melakukan sendiri tetapi perlu koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait dan masyarakat sipil. Di samping itu, TNI perlu juga membangun divisi komplain dan mediasi dalam menangani dampak-dampak negatif yang diterima masyarakat sekitar instalasi akibat aktivitas militer. Sehingga setiap kasus dapat diantisipasi sejak dini dan dihadapi secara persuasi bukan dengan kekerasan. Jika tidak, tanah dan masyarakat akan selalu dianggap sebagai masalah oleh TNI kita.

Suhardi Suryadi Direktur LP3ES

No comments:

A r s i p