Thursday, June 28, 2007

Terorisme, Demokrasi, dan Kosmopolitanisme

Eko Wijayanto


Hari-hari ini kita diramaikan berita tertangkapnya teroris Abu Dujana. Yang mengejutkan, Abu Dujana diduga telah melakukan kaderisasi di Banyumas (Kompas, 13/6).

Banyak hal dilakukan untuk menangani terorisme. Untuk jangka pendek, dilakukan penangkapan dan memutus mata rantai kaderisasi. Untuk jangka panjang, menurut filsuf Richard Rorty, memperkuat demokrasi. Menurut Rorty, yang meninggal 8 Juni 2007, macetnya dan lemahnya demokrasi di negara-negara dunia ketiga bisa menjadi lahan subur tumbuhnya terorisme.

Satu abad terakhir ini, sistem politik kosmopolitan mengalami krisis kepercayaan, saat sejarah manusia dipenuhi trauma-trauma terorisme (misalnya, 11 September di WTC dan Bom Bali). Negara-negara yang tidak demokratis justru melindungi teroris dengan dalih memiliki kedaulatan sendiri yang absolut.

Peter Singer dalam buku One World: The Ethics of Globalization (2002) menyatakan, adalah naif jika tindakan seseorang di suatu negara dianggap tak berdampak pada orang lain di negara yang secara teritorial terpisah. Cara pikir seperti ini berakibat fatal, kesadaran manusia akan tanggung jawab global terabaikan.

Karena itu, gagasan politik kosmopolitan pun tak terelakkan. Para filsuf kontemporer—seperti Richard Rorty, Jacques Derrida, dan Jurgen Habermas—berpendapat, sistem politik yang menstrukturasi hukum internasional dan lembaga-lembaga multilateral harus ditinjau ulang agar tiap negara bertanggung jawab untuk menangani masalah terorisme, bukan hanya demi kepentingan negara sendiri, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat dunia.

Status yang sama

Immanuel Kant (abad ke-18) telah menggagas aneka kemungkinan transformasi hukum internasional klasik menjadi tata baru kosmopolitan. Ia menyebutkan, hanya negara-negara konstitusional republikan yang dapat masuk tata baru kosmopolitan. Karena hanya negara seperti itu yang memiliki kekuatan untuk meminta negara lain masuk dalam konstitusi bersama yang di dalamnya menjamin hak-hak individu. Sehingga tiap individu yang hidup di atas bumi memiliki status sama, sebagai "warga dunia" (kosmopolitan). Hingga kini kecenderungan masyarakat dunia mengarah ke kosmopolitan tak dapat dimungkiri, salah satu contohnya adalah adanya peradilan bagi penjahat perang dan penanganan terorisme.

Seiring perjalanan waktu, ancaman terorisme global telah meningkatkan (sekaligus mengingatkan) kebutuhan merevisi konvensi hukum internasional klasik pada tata baru kosmopolitan. Diperlukan konsepsi moral dalam tata baru kosmopolitan. Sebagai warga dunia, kita wajib dan bertanggung jawab, meski di sisi lain kita juga punya loyalitas pada negara.

Meskipun demikian, moralitas tidak berhenti di sini. Kecintaan kita pada keluarga tidak menghalangi tanggung jawab pada apa yang terjadi pada orang lain dalam masyarakat kita, demikian juga patriotisme tidak bisa menyediakan pengecualian untuk mengabaikan dunia. Hak asasi manusia, contohnya adalah sesuatu yang universal.

Hukum eksternal

Menarik menyimak pendapat John Rawls yang meyakini, negara-negara bisa diibaratkan seperti "manusia individual". Dalam bukunya, The Law of Peoples (1999), Rawls menulis, negara-negara bisa saling bertikai saat tak dikendalikan hukum eksternal dan karena itu harus masuk dalam suatu perjanjian umat manusia (covenant of peoples).

Rawls yang mengikuti pendapat Kant menyatakan, pelanggaran hak atas tiap individu di satu tempat di belahan bumi juga dirasakan di semua tempat. Tindakan melakukan terorisme di suatu negara juga merupakan kejahatan terhadap masyarakat dunia. Dalam tulisannya yang sudah menjadi klasik, Toward Eternal Law, Kant menganjurkan suatu "hukum kosmopolitan" (a cosmopolitan law). Dikatakan, hukum kosmopolitan melengkapi hukum negara. Ia mengaitkan gagasan yang mencakup hukum publik dengan harapan "perdamaian abadi" (eternal peace).

Ada pertalian argumen di antara yang memandang moralitas sebagai universal dan yang menganggap moralitas terkait tradisi dan lokalitas. Menurut Kant, hukum kosmopolitan diharapkan mampu melihat arena internasional sehingga ada standar moral yang bisa mengatur perilaku negara-negara.

Siapa pun yang ingin menegakkan kepentingan suatu negara akan melihat—analog dengan individu—adalah tidak elegan mengutamakan "kepentingan diri". Sebuah negara akan menjadi egoistis pada level internasional.

Apakah sebuah pemerintahan tidak perlu mempunyai tanggung jawab kepada orang-orang di luar yuridiksinya? Sejumlah isu besar ini harus ditangani, menurut Rorty, dimulai dengan keberanian individu dan pemerintahan untuk mengambil tanggung jawab kosmopolitan. Mengambil tanggung jawab berarti berani menghadapi kompleksitas yang membentuk masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta menciptakan demokrasi yang lebih baik, bersih dari kepentingan komunal dan sektarian.

EKO WIJAYANTO Dosen Filsafat FIB-UI

No comments:

A r s i p