Friday, June 22, 2007

Menghentikan Aksi Terorisme

  • Oleh Hadziq Jauhary
  • Suara Merdeka.com

LAGI, tersangka teroris yang berhasil ditangkap polisi semakin bertambah. Setelah 21 Maret lalu Sikas yang merupakan anggota kelompok Abu Dujana ditangkap di Banaran, Sukoharjo, kini (Sabtu, 9/6) giliran "bos"-nya yang ditangkap, yaitu Abu Dujana, di Desa Kebarongan, Kemranjen, Banyumas. Setelah itu, polisi berhasil menangkap tujuh anak buahnya di wilayah Solo, Yogyakarta, dan Surabaya (SM, 14/6).

Yang patut diacungi jempol adalah keberhasilan Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 menangkap Amir (Pemimpin) Jamaah Islamiyah (JI) Indonesia, enam jam setelah diringkusnya Abu Dujana yang berperan sebagai Sekretaris JI Indonesia (SM, 16/6).

Sabtu (16/6) polisi juga berhasil membekuk kurir Noordin M Top di Kendal bernama Wuryanto alias Nurohman. Keberhasilan polisi dalam menangkap para teroris itu patut dipuji sebagai langkah nyata dalam penciptaan lingkungan yang aman dan nyaman di masyarakat.

Sayangnya, pemublikasian keberhasilan penangkapan Abu Dujana justru disampaikan kali pertama oleh Australia. Hal itu menunjukkan buruknya koordinasi antara polisi dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Bagaimana mungkin kedaulatan suatu negara diintervensi oleh negara lain.

Selain itu, polisi selalu dengan mudahnya mengubah status seorang teroris setelah salah satu atau beberapa anggota berhasil ditangkap. Dari awal, masyarakat mengetahui kalau komandan tertinggi aksi terorisme di Indonesia adalah Noordin M Top dan Dr Azahari. Namun, setelah beberapa penangkapan hingga yang terakhir Abu Dujana, status mereka berubah. Contohnya, dulu polisi menyatakan Amir JI Indonesia adalah Hambali, tapi belakangan muncul nama Abu Irsyad sebagai Amir JI Indonesia.

Perubahan status itu menimbulkan kesan didomplengi kepentingan politis. Hendaknya polisi tidak gegabah menetapkan status seorang teroris. Tak heran kalau masyarakat saat ini mencurigai kalau keputusan pihak kepolisian itu ditunggangi negara lain yang berkepentingan menimbulkan perpecahan di Indonesia dan membuat Indonesia terjebak hanya terkonsentrasi pada satu masalah teroris. Pada akhirnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi rakyat menjadi terabaikan.

Masyarakat semakin resah dengan keberadaan para teroris yang (ternyata) sangat dekat dengan mereka. Para teroris juga lebih senang bersembunyi di daerah Jawa Tengah. Terbukti dengan banyaknya jaringan teroris yang diungkap di Jateng. Provinsi itu merupakan tempat yang strategis bagi persembunyian teroris, terutama disebabkan oleh akses kemudahan untuk menuju wilayah lain. Biaya hidup di Jateng juga tergolong lebih murah dibanding daerah lain. Selain itu, kultur masyarakat Jateng yang ramah menjadikan sangat mudah menerima orang lain yang belum dikenal.

Kita harus hati-hati dan waspada, jangan sampai disusupi oleh antek-antek negara adidaya yang justru dimungkinkan merancang munculnya aksi teror di Indonesia yang mengatasnamakan Islam.

Regenerasi Anggota

Banyaknya tersangka teroris yang ditangkap hingga saat ini, membuat masyarakat semakin bertanya-tanya, bisakah aksi teror bom di Indonesia berakhir? Berdasarkan beberapa fakta yang ada, ternyata hal itu tidak mudah. Jaringan teroris di Indonesia sudah menyebar di seluruh penjuru negeri ini dengan anggota yang sangat banyak pula. Bahkan, menurut pengakuan mantan anggotanya, regenerasi anggota teroris selalu berjalan dengan baik. Kalau dianekdotkan, mati satu, tumbuh seribu anggota baru. Karena itu tak heran, kalau mereka tak pernah kehabisan stok, terutama sebagai pelaku bom bunuh diri.

Dalam memberantas aksi terorisme, hendaknya dimulai dari akar persolannya, yaitu mengapa pemahaman tentang terorisme itu muncul. Perlu kita ketahui bersama, terorisme muncul sebagai akibat adanya pemahaman yang ekstrem terhadap konsep jihad.

Menurut pandangan mereka, jihad merupakan perlawanan terhadap berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Dalam arti, jihad tak melulu didentikkan dengan berperang di medan peperangan. Jika dalam kondisi aman, jihad bisa juga dengan menahan hawa nafsu dari segala perbuatan dosa dan yang bersifat mudarat (buruk).

Selama ini, teroris diidentikkan dengan agama Islam. Kadangkala muncul stigma bahwa Islam merupakan ajaran yang keras. Padahal, pada hakikatnya Islam bersifat pluralis yang menghormati pemeluk agama lain.

Selain itu, dalam sudut pandang Islam sendiri, Islam tidak mengajarkan kekerasan. Di dalam mendakwahkan ajaran agamanya, Islam menganut tiga prinsip, yaitu bijaksana, tutur kata (nasihat) yang baik, dan adanya dialog dengan cara yang baik pula. Hal itu dibuktikan dengan adanya firman Allah di dalam Alquran surat Annahl:125: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan batil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan dialog yang baikÖ.

Nabi juga beberapa kali mencontohkan bahwa Islam tidak menganut prinsip kekerasan, terutama dalam berdakwah. Sebagai ilustrasi, ketika berlangsungnya Perang Salib, seorang tokoh muslim bernama Salahuddin Alayyubi yang bertindak sebagai panglima perang malah berbaik hati kepada musuhnya. Ketika perang berlangsung, panglima perang musuhnya jatuh sakit. Bukannya cepat-cepat membunuhnya, Salahuddin malah mengobati musuhnya hingga sembuh. Setelah itu perang dilanjutkan.

Melihat hal itu, sudah jelas bahwa gerakan terorisme merupakan pemahaman yang melenceng. Dalam konteks itulah, peran dari tiap-tiap tokoh agama dibutuhkan. Hendaknya tiap tokoh agama memberikan pemahaman yang benar terhadap umatnya bahwa semua ajaran agama tidak ada yang menganjurkan kekerasan.

Stigma Islam

Kesalahpahaman para teroris dalam memahami ajaran agama yang kemudian memunculkan sikap anarkis itu tidak dapat dibenarkan. Hal itu bisa menimbulkan perpecahan antara umat Islam itu sendiri. Pada akhirnya, stigma yang muncul di masyarakat adalah Islam itu ajaran yang penuh kekerasan, ajaran yang menghalalkan segala cara untuk melawan semua orang di luar keyakinannya, termasuk dengan membunuh sekalipun.

Kita juga harus hati-hati dan waspada, jangan sampai disusupi oleh antek-antek negara adidaya yang justru dimungkinkan merekalah perancang munculnya aksi teror di Indonesia yang mengatasnamakan Islam. Setelah terjadi aksi teror, mereka mengintervensi hingga memengaruhi pemerintah agar menangkapi para teroris versi negeri adidaya itu, sehingga keinginan mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan pertempuran teroris terwujud.

Jika sudah terwujud, muncullah persepsi Indonesia adalah negeri yang tidak aman. Apalagi empat kali teror besar, dua kali di Bali dan dua kali pula di Jakarta, akan makin mencitrakan Nusantara sebagai negeri yang penuh ancaman.

Sikap Amerika dan Australia yang sangat cepat bereaksi dengan mengucapkan terima kasih kepada Indonesia yang berhasil menangkap para tersangka teroris beberapa waktu lalu, justru bisa dibaca sebagai upaya negeri adidaya tersebut mempromosikan Indonesia di mata dunia sebagai sarang teroris.

Pemerintah harus berhati-hati dengan hal itu. Jangan sampai menggadaikan kedaulatan Indonesia dengan adanya intervensi asing. Kita juga patut prihatin, karena begitu mudahnya masyarakat terpengaruh dengan ajaran terorisme. Kemudahan para teroris mendapatkan anggota baru di Indonesia patut menjadi perhatian bersama. Pemerintah dalam hal itu aparat keamanan, perlu bekerja keras lagi dalam menghentikannya. Adanya ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran, dan rasa frustrasi, akan membuat seseorang mudah terjebak dalam cara berpikir yang ekstrem.

Hingga saat ini kita lihat pengangguran dan kemiskinan belum bisa diselesaikan. Karena itulah, pemerintah juga perlu mengambil langkah cepat dalam pemulihan ekonomi. Salah satunya adalah dengan terjaminnya keamanan itu sendiri.

Menumpas terorisme, harus dijadikan gerakan kemasyarakatan, bukan semata-mata tugas kepolisian. Negara hendaknya juga ikut memfasililitasi dengan menyadarkan segenap potensi untuk bangkit melawan terorisme. Yang patut dicatat adalah, selama akar persoalan terorisme tidak diatasi secara tuntas, selama itu pula terorisme tumbuh subur di tengah masyarakat.

Keberhasilan polisi menangkapi para tersangka teroris merupakan langkah yang baik, tetapi alangkah baiknya jika yang diciduk itu adalah aktor intelektualnya, karena di tangan merekalah muncul ide-ide dan rencana aksi teror bom yang meresahkan masyarakat.(68)

--- Hadziq Jauhary, aktivis IPNU Kota Semarang.

No comments:

A r s i p