Saturday, June 23, 2007

Sosok dan Pemikiran
Kita Butuh Pemimpin yang Progresif...

Sidik Pramono

Hari-hari buruk buat rakyat terjadi karena siklus buruk kebijakan publik yang tidak pernah diputus. Ketika ada arogansi dan egoisme sekelompok lebih kuat dan rakyat hanya diatasnamakan, pada saat itulah rakyat akan terus dihadapkan dalam persoalan. Institusi yang tidak kunjung mapan juga adalah sinyal buruk yang berkepanjangan.

Itulah pendapat dosen Universitas Indonesia (UI), Andrinof A Chaniago, yang ditemui Kompas pekan ini. Berikut perbincangan panjang di sebuah kafe di lingkungan kampus UI di Depok yang asri.

Banyak kebijakan diambil, tetapi mengapa rakyat kerap merasa tidak puas?

Semestinya pemerintah dapat membedakan kebijakan publik, makro-ekonomi, dan politik. Keliru menempatkan status keputusan, rakyat yang dirugikan. Kelemahan kita adalah sering memaksakan penggunaan metode untuk analisis mikro dalam memandang masalah makro. Misalnya kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak, pemerintah gagal membaca ketidaksiapan rakyat menghadapi kenaikan harga dan ketidaksiapan institusi pemerintah mentransfer beban melalui dana kompensasi. Ramalan dan analisa ekonomi pemerintah tidak terbukti. Dari sisi metodologi, ini akibat pemaksaan metode mikro untuk masalah makro yang kompleks. Dilihat dari segi karakter agen, ini akibat egoisme dan arogansi kelompok.

Selama ini politisi dan kalangan pemikir tak serius memikirkan apa yang kita inginkan dan apa yang akan dituju untuk masyarakat lebih luas. Ditambah lagi kepentingan kelompok bisnis yang dominan. Saat argumentasi dari kelompok pemikir tak ada, masuklah berbagai kepentingan yang tak jelas (dalam penentuan kebijakan publik).

Apa dampaknya bagi rakyat?

Cara pembuatan kebijakan yang buruk membuat rakyat hidup dalam "siklus buruk kebijakan", yakni kebijakan yang tak pernah menyelesaikan masalah. Setiap penyelesaian masalah justru menciptakan satu atau dua masalah baru. Kebijakan lebih banyak menggulung daripada menolong rakyat. Siklus buruk kebijakan ini mudah ditemukan di tingkat nasional dan lokal. Transmigrasi adalah kebijakan mubazir, tiada manfaat agregatnya. Di tingkat lokal, kebijakan three in one dan busway di Jakarta adalah contoh buruk itu. Banyak kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang memboroskan uang publik, tetapi hasil agregatnya kesia-siaan.

Publik dilupakan...?

Perencana yang menentukan, tetapi ada bias kepentingan pelaku bisnis. Dalam setiap pengambilan kebijakan, publik tidak pernah mendapatkan peningkatan pelayanan. Pembangunan terputus antara satu sektor dengan sektor lainnya. Secara agregat, energi sumber daya yang terbuang besar sekali. Rakyat hanya diklaim, diatasnamakan.

Kalau begitu, haruskah ada perlawanan rakyat?

Yang bisa memengaruhi kebijakan publik sebenarnya kelas menengah. Kelompok ini bisa memengaruhi pelaku politik. Kelas bawah tahu masalahnya, tetapi tidak bisa memformulasikannya. Dengan kelas menengah semestinya terjadi pertarungan argumentasi. Namun, di sini kemampuan profesional rendah, mudah terseret dalam kepentingan politik. Masyarakat sipil pun terjebak kepentingan melindungi program, agendanya berhenti hanya dengan menolak, sementara tawaran ke depan tak ada. Saya melihat aktivis masyarakat sipil kota hanya berhenti dengan menjadi pelindung masyarakat miskin kota. Jadi, malah menjerumuskan masyarakat miskin kota tetap miskin. Ini tidak konstruktif.

Bagaimanakah institusi yang mapan itu?

Ada konsistensi nilai filosofis, dari yang paling tinggi hingga yang terbawah. Paling awal adalah nilai tujuan, lantas nilai tentang cara. Berikutnya, pembangunan fungsi organisasi yang jelas, soal membagi dan menata letak organisasi. Jadi, tidak ada perebutan saat operasionalisasi, seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Kita di tingkat atas saja tidak beres, ke level menengah dan bawah pasti makin tak keruan. Secara legal-formal, kita punya institusi, tetapi fungsinya tidak jalan. Kalangan masyarakat sipil pun tidak mau berpikir lebih konstruktif, produktif, dan institusionalis.

Bagus hanya dalam hal bongkar-membongkar, dalam mengkritisi, tetapi kontribusi dalam konstruksi masih kecil. Seperti soal calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah, tidak ada yang memberikan solusi apa-apa meski sebenarnya banyak peluang membuat solusi yang realistis. Masyarakat jadi korban manipulasi politik atau mobilisasi. Kalau sistem ini kita biarkan, rakyat yang akan rugi.

Artinya, pendidikan politik kita pun kacau....

Setiap pertarungan akan menghasilkan pendidikan politik. Tetapi, pendidikan tak berlangsung dengan cara yang baik. Akhirnya, yang muncul adalah sikap sinis dan pesimistis terhadap apa pun yang dikeluarkan elite. Parpol dan elite tidak menjalankan fungsi pendidikan yang membuat masyarakat belajar. Kalau diteruskan, masyarakat bisa makin benci. Elite merumuskan kebijakan publik sesuai mimpi mereka sendiri, tidak membuat apa yang diinginkan masyarakat. Ini yang rawan benturan, sistem menimbulkan jarak masyarakat dengan elitenya. Lama-lama, masyarakat akan sadar. Itu akan menimbulkan perlawanan. Mereka sadar memberi kepada negara, tetapi dimanipulasi. Negara lain nyata membangun institusi, kita membangunnya karena dipaksa krisis.

Bagi pengajar ekonomi-politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI ini, data adalah penguat setiap argumentasi. Karena itu, dengan ditemani secangkir kopi, Andrinof mencoba berdisiplin untuk memperbarui data dan informasi setiap pagi. Dia pun sangat sedih saat laptopnya digondol maling, beberapa waktu lalu. "Laptopnya biasa, data itu yang penting," katanya.

Sebagai pengajar, Andrinof berprinsip kewajiban pengajar adalah belajar. Setelah belajar, wajib mengajar. Hanya dengan cara itu, ilmu diyakini akan terus berkembang. Atas prinsip itu pula ia mengaku siap "tak populer", termasuk saat ia sepakat dengan ide pembentukan badan usaha milik partai sebagai salah satu alternatif pembiayaan parpol. Padahal, sejumlah akademisi dan aktivis menentangnya.

Hari-hari Andrinof lebih banyak dihabiskan di kampus UI Depok. Di akhir pekan, barulah ia rutin bermain bulu tangkis.

Di Indonesia, institusi tak terbangun mungkin karena kultur paguyuban?

Semua negara pasti memiliki kultur yang membebani. Tetapi, banyak negara bisa berubah karena punya pemimpin yang bervisi dan tegas. Kita justru kering.

Kebudayaan dapat disalahkan, tetapi negara perlu merekayasa kebudayaan jika mau maju. Lihat mana yang bisa dibawa, mana yang harus diubah dengan nilai baru. Negara tidak bisa berlaku seperti pasar, hanya menunggu permintaan baru dilayani. Negara tak bisa statis atau pasif, mesti melihat dengan visi, melakukan intervensi kebudayaan, kalau jelas tujuannya untuk memajukan peradaban dan menyejahterakan rakyat.

Bagaimana dengan beragamnya kelompok dan gagasan?

Pertarungan gagasan adalah awal pembangunan institusi. Semua pancaindera digunakan untuk dapat menemukan pilihan besar. Semua benturan selesai dalam satu piring untuk kemudian siap disuguhkan. Selama ini, semuanya belum tuntas, tetapi sudah telanjur ditutup.

Dari mana kita bisa meluruskan semua itu?

Harus ada pemimpin yang memelopori pembangunan institusi, bukan pemimpin yang kritikus, statis, atau kompromistis. Kita butuh pemimpin yang progresif dan juga institusionalis. Harapan kita itu pada Susilo Bambang Yudhoyono karena ia dari institusi yang relatif paling baik dibanding institusi lain. Tetapi, itu ternyata tidak terjadi.

Kita perlu membangun institusi untuk perubahan besar, namun bukan perubahan berisiko yang tidak pasti. Jangan hanya menunggangi pasar, kelihatan maju, tetapi tidak bisa mengendalikan ketika terjadi guncangan. Jangan main klaim, padahal apa yang dicapai bukanlah hasil kerja yang direncanakan. Pemimpin harus siap tidak populis, tetapi 20-30 tahun lagi akan dikenang. Banyak pemimpin yang mempolitisasi isu populis, seolah berpihak kepada masyarakat, padahal itu menjebak. Kita banyak tokoh vokal, kritis, tetapi bukan tokoh yang konstruktif. Kita memiliki banyak tokoh, namun mereka lebih cocok untuk sistem yang mapan. Yang kita butuhkan sekarang adalah orang yang mau membangun institusi dulu.

No comments:

A r s i p