Friday, June 29, 2007

Mencari Sang Pendekar Antikorupsi

Vincentia Hanni

Mengisi masa pensiun, begitulah bayangan banyak pelamar yang telah berusia di atas 55 tahun saat ditanya wartawan mengenai motivasinya mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2007-2011.

Sarjono yang sudah tiga tahun menjalani masa pensiun dari Departemen Kehakiman salah satu di antaranya. Jabatan terakhir Sarjono adalah Kepala Seksi Perusahaan Terbuka Tertutup Departemen Kehakiman.

Pascapensiun, Sarjono mengaku punya kesibukan baru, yakni belajar berdakwah dan kursus membaca Al Quran. Soal strategi memberantas korupsi, Sarjono dengan lugas menjawab, "Membersihkan kotoran, yah mulai dari kotoran-kotoran yang besar seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Tetapi, yah semampunyalah."

Sani Alamsyah pun mengungkapkan niat yang sama. Mantan calon bupati Majalengka ini mengatakan, ia ingin di masa tuanya bisa berbakti bagi negara. "Saya suka tantangan. Saya juga pernah melamar sebagai hakim ad hoc perikanan dan Komisi Kepolisian Nasional," ungkap Sani Alamsyah.

Lain lagi dengan Nursal Baharuddin. Kepala Bagian Akuntansi dan Informasi Kekayaan Milik Negara Departemen Perdagangan Nursal Baharuddin begitu antusias ingin mendaftar saat ia mendengar dari sebuah radio swasta.

Namun, sesampainya di ruang pendaftaran di Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg PAN), Nursal terkejut dengan begitu banyak prasyarat yang harus ia lengkapi. Di antaranya adalah prasyarat tes kesehatan jasmani, tes rohani, tes narkoba, dan surat kelakuan baik dari kepolisian. Tes-tes tersebut bukan saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi juga memerlukan waktu untuk mengurusnya.

"Saya tertarik karena KPK itu namanya gede. Saya jadi ingin tahu kenapa orang-orang kok pada takut sama KPK. Saya pengin tahu. Ternyata setelah sampai sini, persyaratannya banyak juga, saya enggak tahu deh apa saya punya waktu atau enggak untuk mengurusnya," ujar Nursal.

Motivasi pelamar memang bervariasi. Namun, dari sejumlah wawancara yang dilakukan Kompas kepada para pelamar, motivasi mengisi masa pensiun merupakan motivasi yang dilontarkan oleh para pelamar yang mayoritas adalah para pensiunan.

Meski berbagai latar belakang yang mereka miliki, para pelamar yang usianya sudah memasuki masa pensiun melontarkan motivasi itu sebagai dasar ketertarikan mereka melamar menjadi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lainnya mengungkapkan, motivasinya berangkat dari rasa geregetan melihat praktik korupsi yang sudah menggurita di setiap lini.

Ketika coba ditanya lebih lanjut bagaimana strategi mereka untuk memberantas korupsi, beberapa di antaranya menyatakan akan mengusut kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus korupsi mantan Presiden RI Soeharto dan kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Jawaban-jawaban para pelamar ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar, benarkah KPK yang dinilai sebagai komisi strategis untuk memberantas korupsi cukup dijabat oleh orang-orang yang hanya ingin mengisi hari-hari tua mereka? Benarkah komisi ini cukup diisi oleh orang-orang yang hanya merasa geregetan melihat praktik-praktik korupsi yang sudah menggurita di semua lini? Cukupkah motivasi hanya sekadar mengisi waktu atau hanya sekadar geregetan itu?

Belajar dari pengalaman pimpinan KPK periode pertama (2004-2007), problem yang dihadapi KPK dalam memberantas korupsi tidaklah semudah membalik telapak tangan. Terlebih ketika KPK dibiarkan berjalan sendiri, tanpa dukungan maksimal dari pemerintah dan DPR.

Banyak fakta telah ditunjukkan dalam perjalanan waktu empat tahun ini. Pemberantasan korupsi memang mudah untuk diucapkan, tetapi ternyata sulit dilakukan, terlebih jika kawan satu partai, atau kawan satu departemen, atau diri mereka sendiri tersangkut kasus korupsi. Teriakan dan hujatan, bahkan aksi mengerahkan massa untuk demonstrasi, pun dilakukan.

Tak heran jika empat pemimpin KPK enggan menjabat lagi. Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki dalam jumpa pers dengan wartawan dengan nada diplomatis menjawab, "Saya harap ada yang lebih muda, lebih cerdas, lebih pandai, lebih berani, dan lebih bernyali." Jawaban serupa juga diungkapkan oleh Erry Rijana Hardjapamekas, Sjahruddin Rasul, dan Tumpak Hatorangan Panggabean. "Saya rasa yang muda-muda saja yang tampil menggantikan kami yang sudah ompreng ini. Saya kan sudah opung-opung," ujar Panggabean.

Publik tak pernah tahu apa alasan di balik keengganan empat pemimpin KPK ini untuk menjabat lagi. Hanya Taufik, Erry, Sjahruddin, dan Tumpak Hatorangan yang punya jawaban mengapa mereka kelelahan dan enggan menjabat lagi.

Tiga problem

Menginjak hari ke-11 ini, jumlah pelamar yang sudah mendaftarkan diri mencapai 142 orang. Dari 142 orang ini, bisa dikelompokkan dalam beberapa kelompok profesi, yakni kelompok pensiunan (pensiunan tentara, pensiunan penegak hukum, pensiunan PNS, dan pensiunan bank), kelompok perbankan, kelompok yang mengaku aktif di LSM, kelompok profesi hukum yang masih aktif, dan kelompok akademisi.

Jumlah yang masih jauh di bawah target panitia seleksi, 1.000 orang, atau jauh lebih sedikit dari jumlah pelamar pada pendaftaran untuk calon pimpinan KPK periode pertama (2004-2007) yang saat itu ditutup dengan jumlah pelamar 500 orang. Diharapkan jumlah pelamar ini di hari ke-12, 13, dan 14 akan melonjak signifikan. Semoga!

Mengapa jumlah pelamar calon pimpinan KPK pada periode ini boleh dibilang minim? Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen menilai ada tiga problem yang membuat jumlah pelamar calon pimpinan KPK sangat sedikit.

"Problem pertama adalah pembatasan usia 40 tahun yang mengakibatkan generasi reformasi 1998 yang umurnya di bawah 40 tahun, tetapi kualitasnya bagus, tidak bisa ikut mendaftar. Coba lihat Komnas HAM, karena tidak ada batasan umur, maka orang-orang muda bisa masuk jadi komisioner Komnas HAM," jelas Patra.

Problem kedua yang signifikan, kata Patra, adalah metode dan strategi Panitia Seleksi sejak awal sudah keliru. Panitia Seleksi di awal dinilai terlalu pasif dan baru menggeliat ketika digugat beberapa kalangan.

Problem ketiga, khususnya orang-orang yang dinilai berkualitas enggan mendaftar karena ada kekhawatiran dengan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

"Beberapa yang kami temui untuk didorong khawatir dengan proses di DPR. Sebab, banyak desas-desus kalau anggota-anggota DPR sebenarnya sudah mengantongi nama-nama yang akan diloloskan sebelum proses fit and proper test. Saya dengar DPR sudah kantongi nama yang lolos Komnas HAM sebelum fit and proper. Dan kami dengar juga, calon yang akan lolos seleksi hakim agung juga sudah dikantongi DPR," ujar Patra.

Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia Agung Hendarto menjelaskan, panitia seleksi seharusnya didampingi oleh tim teknis yang kuat. Tim teknis inilah yang bekerja keras membuat sistem dan standar-standar penilaian serta publikasi.

Kini, tinggal Panitia Seleksi yang membuktikan, benarkah mereka mampu mendapat sang pendekar antikorupsi dengan nyali baja dan berkualitas? Ataukah hanya mampu mendapat para pencari kerja atau ingin mengisi hari tua? Yah, mari kita tunggu hasilnya!

No comments:

A r s i p