Friday, June 15, 2007

Dana Politik
Dari Ongkos ke Kompensasi

M Zaid wahyudi dan sidik pramono

Uang dan kekuasaan adalah dua sisi yang sulit dipisahkan. Untuk menuju kursi kekuasaan, kekuatan uang sangat menentukan. Juga sebaliknya, ketika kekuasaan sudah dalam genggaman, uanglah yang diburu. Benarkah pemilihan langsung justru semakin mengekalkan praktik pemerintah bayangan (shadow state) dan ekonomi informal (informal economy) itu?

Dalam sebuah diskusi di Jakarta awal Juni lalu, bakal kandidat Gubernur DKI Jakarta, Faisal Basri, mengaku menghabiskan setidaknya Rp 1 miliar untuk persiapan maju dalam pencalonan. Biaya itu dihabiskan sebatas tahap "sosialisasi", termasuk di antaranya untuk bantuan korban banjir di Jakarta.

Menurut Faisal, dana itu sebagian di antaranya dari sumbangan donatur yang bukan "pengusaha hitam". Ia juga menyatakan, dirinya tidak pernah "membayar" partai politik agar lolos sebagai calon.

Bakal kandidat lain, Sarwono Kusumaatmadja, dalam diskusi itu terlihat sungkan mengakui berapa besar dana yang dihabiskan. Bermula dari "ya sekitar-sekitar itulah", akhirnya mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup itu mengaku menghabiskan tidak kurang dari Rp 2 miliar untuk proses pencalonannya.

Ongkos politik?

Faisal dan Sarwono, yang sempat mengikuti proses penjaringan calon di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), berkilah tidak pernah "membayar" parpol agar diajukan sebagai calon. Namun, seperti pemeo "tidak ada makan siang yang gratis" sudah menjadi rahasia umum pula, parpol atau gabungan parpol tidak secara sukarela memberikan "perahu pencalonan" kepada seorang kandidat. Uang itu digunakan sebagai ongkos "sewa" parpol atau gabungan parpol yang dijadikan kendaraan sang calon untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Seorang fungsionaris parpol besar pernah menceritakan bagaimana untuk menjalin koalisi antarpartai saja diperlukan "mahar" miliaran rupiah. Seorang fungsionaris parpol besar lainnya juga pernah diminta melupakan keinginan menjadi gubernur jika "hanya" membawa Rp 3 miliar di pundi-pundinya.

"Politik uang" sejak masa pencalonan seperti itu memang sukar dibuktikan. Namun, praktik seperti itulah yang menjadi dasar argumentasi sekelompok masyarakat sipil untuk mengusung calon perseorangan. Calon perseorangan adalah bentuk "perlawanan" atas hegemoni politik uang elite dan parpol dalam penetapan pasangan calon. Mengambil analogi pada Pemilu 2004, biaya politik kandidat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari kelompok nonparpol dianggap lebih murah ketimbang biaya yang dihabiskan anggota DPR dari jalur parpol.

Di pihak lain, ada kontra-argumentasi yang menyatakan, keberadaan calon independen, calon perseorangan, atau calon nonparpol pun tak menjamin bebas dari praktik politik uang. Calon dari parpol atau calon perseorangan sama-sama harus mengeluarkan biaya politik yang tidak sedikit jumlahnya dalam tahap awal pengajuan calon.

Berdasarkan pengalaman seorang calon perseorangan dalam pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Fahrul Rozi mengatakan, calon mengeluarkan uang untuk meminta dukungan dari warga sebagai salah satu syarat untuk bisa terdaftar sebagai peserta. Dukungan disampaikan dalam bentuk fotokopi kartu tanda penduduk (KTP). Semula warga dengan sukarela menyerahkan KTP-nya untuk difotokopi. Namun, lama-kelamaan warga meminta harga khusus bagi setiap KTP miliknya yang akan difotokopi tim sukses calon independen sebagai bentuk dukungan.

"Praktik politik uang calon independen sama dengan yang terjadi pada calon yang maju melalui parpol," kata Fahrul.

Dalam pilkada di Aceh akhir Desember tahun lalu, calon independen harus mampu mengumpulkan minimal tiga persen dukungan dari total jumlah penduduk atau mencapai 120.904 orang. Seandainya setiap KTP dihargai Rp 10.000, setiap calon harus mengeluarkan dana minimal Rp 1,2 miliar. Dana itu baru biaya meminta dukungan warga sebagai syarat pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja biaya itu sangat sedikit dibandingkan dengan total biaya lain yang harus ditanggung calon dalam proses pilkada secara keseluruhan.

Bagi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, keberadaan calon nonparpol memang tidak murni bebas dari politik uang. Namun, hal itu dianggap lebih baik ketimbang mekanisme biaya politik calon dari parpol. Biaya politik calon dari parpol hanya dinikmati segelintir elite partai, sedangkan biaya politik calon independen langsung mengalir dan dinikmati masyarakat.

Selain itu, besaran biaya politik yang harus dikeluarkan calon independen juga lebih rendah dibandingkan dengan calon parpol. Alat politik dan mekanisme pembayarannya lebih jelas sehingga biaya calon untuk maju dalam pilkada dapat dipangkas. "Keberadaan calon independen membuat penentuan calon pemimpin tak sewenang-wenang ditentukan pengurus parpol," katanya.

Kompensasi?

Terlepas besar-kecil dana politik yang dihabiskan, peneliti LIPI lainnya, Syarif Hidayat, mengingatkan, pelaksanaan pemilihan langsung mungkin saja mengekalkan oligarki kekuasaan dan mendorong merebaknya praktik shadow state dan informal economy dalam penyelenggaraan pemerintahan. Alih-alih untuk mendapatkan pemerintahan yang demokratis dan memenuhi harapan rakyat, rangkaian proses menuju pemilihan berikut "kesepakatan" di bawah meja oleh kandidat dengan "sponsor" menjadikan kian jauhnya upaya menegakkan "kedaulatan rakyat", mewujudkan kebebasan politik rakyat, dan percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Penelitian di Provinsi Jambi, Kalimantan Selatan, dan Bengkulu menunjukkan ada "persekongkolan" politik dengan bisnis. Memang, setiap kandidat menyediakan dana dari kantongnya sendiri untuk membiayai proses politik. Namun, dipastikan dana sendiri itu tidak cukup sehingga diperlukan sponsor untuk menutup kebutuhan. Umumnya, dana itu berasal dari pengusaha, baik lokal maupun nasional. Itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab kemenangan sejumlah calon yang merupakan incumbent atau pengusaha.

Para "sponsor" inilah yang pascapemilihan berupaya memengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai bagian dari in-return cost atas "investasi politik dan ekonomi" yang ditanamkan. Harus ada kompensasi memadai atas biaya yang sudah dikeluarkan. Jika sponsor dari kalangan pengusaha, orientasi keuntungan bisa sangat variatif. Bisa berupa pemberian proyek atau lewat perlindungan dan kemudahan atas kelangsungan unit bisnisnya. Proyek konstruksi bernilai besar diincar, selain usaha di bidang pertambangan dan pariwisata.

Menurut Syarif, sponsor itu biasanya juga sangat cerdik. Pada tahap awal, sokongan dana diberikan kepada semua pasangan calon. Pada tahapan berikutnya, mereka akan berganti strategi dengan menyumbang kepada calon yang punya peluang lebih besar untuk menang. "Kalau dua pilkada dua putaran, biasanya lebih menarik. Putaran pertama hati-hati, putaran kedua baru jor-joran," katanya.

Perbaikan?

Praktik uang sebagai penentu kemenangan dalam pemilihan itu tidak terlepas dari definisi atas "ongkos politik" dan "politik uang". Mengeluarkan sebanyak-banyaknya dana untuk berkampanye dianggap sebagai biaya politik. Definisi politik uang dimanipulasi sehingga siapa pun calon bisa berlindung dengan aman. Kalaupun ada rekening resmi yang mesti diaudit, celah untuk mengakalinya masih sangat terbuka. "Kerap kali tidak cocok antara aktivitas dan biaya yang dilaporkan," kata Syarif.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merinci sejumlah titik lemah pengaturan dana politik. Misalnya, tidak ada aturan khusus mengenai sumbangan dari pribadi pasangan calon atau parpol atau gabungan parpol pendukung. Di luar tim kampanye yang dilaporkan, juga ada "tim sukses" yang bisa meraup dana tanpa akuntabilitas kepada publik. Juga tidak ada pengaturan yang jelas mengenai sumbangan dari induk dan anak perusahaan sehingga mungkin saja sebuah konglomerasi menyumbang berkali-kali. Dengan adanya batas sumbangan maksimal, masih ada kemungkinan mengakalinya dengan memecah-mecah sumbangan dengan nilai di bawah batas minimal pencatatan.

Tanpa perbaikan, diyakini bahwa pejabat publik yang terpilih dalam pemilihan langsung akan terlipat dalam persekongkolan jahat. Jika tidak ada perbaikan aturan, sampai kapan pun uang akan menjadi faktor paling menentukan. Harapan pada demokrasi langsung pun bisa-bisa pupus. "Karena, (tanpa perbaikan aturan) kita tinggal menunggu ke mana (pengusaha) membawa tasnya," kata Syarif.

No comments:

A r s i p