Tuesday, June 26, 2007

Tragedi Politik Jangan Dilupakan


Jakarta, Kompas - Peristiwa tragis atau tragedi politik perlu untuk terus-menerus diingat dan jangan sampai dilupakan. Ini penting agar peristiwa hitam tersebut tidak terulang kembali pada masa mendatang.

"Menuliskannya dalam sebuah buku adalah usaha untuk melawan lupa. Ini pelajaran penting buat Indonesia agar kita tidak melupakan masa lalu," kata Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia Mugiyanto saat diskusi dan peluncuran buku berjudul Pertahankan Hidupmu Anakku karya Pin Yathay di Bentara Budaya Jakarta, Senin (25/6). Pembicara lainnya adalah sejarawan sekaligus aktivis Jaringan Kerja Budaya, Hilmar Farid.

Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama saat memberi sambutan mengemukakan, dari buku ini banyak pelajaran yang bisa diambil, misalnya perasaan kemanusiaan yang digugah. "Masih banyak persoalan. Demokrasi, hak asasi, kebebasan dan pengangguran belum teratasi," kata Jakob Oetama pada acara yang dihadiri pula oleh Pin Yathay ini.

Kekerasan dan penindasan

Di dalam buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini, Pin Yathay memaparkan kekerasan dan penindasan Khmer Merah Angkar Padewat, yang berlangsung selama tiga tahun, delapan bulan, 20 hari di Kamboja.

Kamboja menjadi penjara raksasa dan ajang percobaan ideologi totaliter tingkat negara. Kebencian, ketakutan, dan penghancuran meraja. Jutaan orang menderita akibat pengusiran, kerja paksa, kelaparan, dan kematian.

"Di antara mereka, turut hilang orang-orang yang saya cintai. Tujuh belas anggota keluarga (besar) saya dan entah berapa banyak keluarga saya. Sebagai seorang insinyur, saya sebenarnya merupakan sasaran utama untuk dilenyapkan. Untunglah 26 bulan kemudian saya berhasil kabur, seorang diri, pada bulan Juni 1977, jauh sebelum intervensi Vietnam," kata Pin Yathay.

Tujuan utama Khmer Merah adalah membangun masyarakat komunis dalam semalam. Dalam waktu singkat, kata Yathay, Kamboja demokratik hendak dijadikan negara komunis seutuhnya, yang belum pernah dapat diwujudkan di mana pun di dunia.

Pengalaman tragis masa lalu yang dialami Yathay dan dibukukan serta terbit dalam berbagai bahasa ini, menurut Hilmar Farid, sangat efektif membantu kita untuk memahami peristiwa tersebut.

"Bagi kita, pengalaman traumatik 1965 sangat relevan. Banyak dimensi akan tersisa, kenangan itu akan menetap. Di tanggul-tanggul, di sawah-sawah, di rumah-rumah di kampung, di mana kekerasan tersebut terjadi," kata Hilmar Farid.

Masa lalu memang sulit untuk ditembus, tetapi buku ini adalah jembatan yang baik bagi kita untuk mengenali masa lalu yang suram dan traumatik. "Saya harap akan ada banyak orang Indonesia yang mau menuliskan pengalaman traumatik," kata Hilmar Farid. (LOK)

No comments:

A r s i p