Tuesday, June 19, 2007

Anomali terhadap Terorisme

Tjipta Lesmana

Masyarakat kita tampaknya mempunyai sikap yang beragam terhadap keberhasilan polisi, khususnya Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 dalam menggulung kelompok teroris selama 10 hari terakhir. Sebagian besar menutup mulut. Pers pun menyiarkan apa adanya berdasar sumber resmi dari Polri, no comments at all. Mungkin takut jika memberi komentar yang ternyata keliru.

Hal ini berbeda, misalnya, dengan tanggapan masyarakat, khususnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), terhadap insiden berdarah di Pasuruan yang menewaskan empat penduduk. Dengan "lincah" kelompok tertentu mengembangkan teori dan asumsinya untuk menghantam TNI, terutama Marinir.

Reformasi kebablasan

Hingga hari ini, terorisme masih digolongkan isu sensitif di negeri kita, isu yang kerap dapat membangkitkan amarah kelompok-kelompok tertentu. Meski pemerintah dan aparat keamanan—termasuk intelijen—berulang kali menegaskan, terorisme sama sekali tidak terkait dengan agama atau pemeluk agama tertentu, toh masih ada saja pihak-pihak yang tersinggung karena merasa disudutkan.

Bahkan, beberapa tahun lalu seorang pemimpin negara kita dengan lantang berucap, di Indonesia tidak ada teroris. "Kalau ada teroris, saya orang pertama yang akan menangkapnya!" Pemimpin lainnya mengecam tudingan beberapa negara bahwa Indonesia sarang teroris. Namun, setelah Bali diguncang serangan teroris hingga dua kali dan menewaskan banyak orang tidak berdosa dan menghancurkan perekonomian Bali, semua tercengang. Kedua pemimpin bangsa kita pun bungkam. Fakta telanjang membuktikan, ada teroris di negeri ini bahkan mereka sudah mampu melancarkan serangan mematikan (deadly assault) di mana-mana.

Inilah salah satu dampak negatif reformasi yang kebablasan, yaitu orang seolah boleh berbicara apa saja dengan nada sekeras apa pun, tanpa memikirkan lagi komplikasi dari ucapannya terhadap kehidupan masyarakat.

Reformasi kebablasan juga berakibat orang Indonesia kerap hidup bak katak dalam tempurung. Mereka, umumnya, bersikap No sabe que no sabe que no sabe (Tidak tahu terhadap suatu permasalahan tetapi tidak sadar bahwa dia sebetulnya tidak tahu). Orang-orang seperti ini, menurut si bijak yang menciptakan untaian kata mutiara ini, harus dienyahkan dari masyarakat (huje de el!). Misalnya, ada warga negara Indonesia yang ditangkap di Filipina, lalu dijebloskan ke penjara karena dituduh terlibat aksi-aksi terorisme.

Reaksi miring

Begitu mendengar tuduhan negara jiran, sementara pihak di Indonesia serta-merta marah dan menuding aparat intelijen Filipina memfitnah dan menghina pemeluk agama tertentu di negeri kita. Faktanya, yang ditangkap itu memang teroris dan berkolaborasi dengan teroris-teroris lokal dalam upaya menumbangkan pemerintahan sah di Manila.

Contoh lain, sudah sejak 5-6 tahun lalu pihak luar mengingatkan Indonesia tentang jaringan terorisme yang dilancarkan organisasi Jemaah Islamiyah (JI). Namun, kita marah dan berkilah. Di Indonesia tidak ada JI. Tetapi, setelah satu per satu aktivis terorisme ditangkap dan diperiksa polisi, tirai mengenai kegiatan JI di dalam negeri kian jelas.

Keberhasilan Densus 88 beberapa hari lalu menangkap Abu Dujana dan Zarkasih alias Abu Irsad, dua tokoh penting JI, juga mengundang reaksi miring dari pihak tertentu. Tidak kurang dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengkritik dan mengecam Polri agar jangan menciptakan teror baru. Seolah-olah apa yang dilakukan operasi Densus 88 hanya menciptakan ketakutan dahsyat di masyarakat (teror baru).

Pernyataan Ketua MPR seperti ini benar-benar memprihatinkan; bahkan bisa mengundang kesan dia proteroris. Yang lucu, saat polisi melakukan penangkapan terhadap seorang penduduk yang dicurigai terkait terorisme, muncul aksi demo yang keras. Mereka mengecam polisi yang dituduh bertindak sewenang-wenang. Seorang warga negara asing bertanya setelah menyaksikan tayangan di layar televisi: "What are they shouting for?" Polisi mengejar dan mengobrak-abrik terorisme, mengapa ada sebagian penduduk yang marah dan mencaci-maki polisi?

Anomali

Rupanya, bangsa Indonesia bersikap anomali terhadap terorisme. Sejauh ini tidak ada satu pihak pun—apalagi politisi dan LSM—yang memberi apresiasi kepada Polri atas keberhasilannya menggulung beberapa kelompok teroris. Sebaliknya, polisi malah dicurigai macam-macam, seperti hanya untuk cari muka atau gebrakannya tidak lebih untuk menutupi kelemahan pemerintah di bidang lain.

Masyarakat kita memang sedang sakit. Jika ada bom meledak, menewaskan puluhan manusia tidak berdosa, aparat keamanan—termasuk aparat intelijen—dikecam habis-habisan. Mereka dituduh "tidur", kecolongan, atau tidak profesional. Namun, jika pihak keamanan berhasil menangkap gembong teroris, tidak ada yang memberi komentar, apalagi apresiasi.

Rupanya, sebagian masyarakat masih percaya, terorisme hanya akal-akalan atau rekayasa negara tertentu untuk menekan kita. Padahal, hasil pemeriksaan terhadap sejumlah teroris yang ditangkap menunjukkan, gerakan mereka sama sekali tidak terkait negara tertentu. Mereka murni berjuang karena keyakinan ideologinya.

Dalam alam demokrasi, siapa pun, kelompok mana pun, dibenarkan untuk memperjuangkan aspirasinya. Namun, jika perjuangan itu bertabrakan dengan ketentuan perundang-undangan, apalagi disertai aksi teror dan ancaman serangan bom, negara mana pun tidak bisa memberi toleransi. Sebenarnya, terorisme dapat menenggelamkan kapal raksasa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, harus dilawan habis-habisan oleh seluruh bangsa, khususnya aparat keamanan.

Tjipta Lesmana Widyaiswara Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)

No comments:

A r s i p