Sunday, June 24, 2007

Mematahkan Teror

Gubernur Irwandi Yusuf menegaskan dirinya akan mematahkan teror yang dilakukan oleh kelompok kontra perdamaian di Aceh. Gubernur juga sudah mengantongi identitas, mekanisme, pimpinan dan target dari pelaku teror tersebut (Serambi, 8/5).

Tekad Irwandi tersebut bisa memunculkan dua reaksi dari kelompok teroris di Aceh. Pertama, mereka akan semakin menantang gubernur dengan meningkatkan eskalasi teror dengan korban yang acak, bukan hanya ditujukan kepada petinggi KPA atau kepolisian, tetapi juga kepada masyarakat sipil dan kantor-kantor pemerintahan. Apalagi kalau teror tersebut dilakukan oleh kelompok yang terorganisir dan memang beroperasi secara khusus di Aceh. Kedua, mereka akan merubah pola operasi dengan melakukan kekacauan untuk menimbulkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, dengan menyebarkan isu-isu kekerasan yang membuat masyarakat, pemerintah dan polisi harus bekerja ekstra keras menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan masing-masing.

Ketidakstabilan keamanan dan politik akan menjadi pekerjaan rumah yang menguras perhatian pemerintahan Irwandi juga dapat menggagalkan program mendatangkan investasi ke Aceh. Buntutnya, pemerintahan Irwandi dianggap tidak memiliki kompetensi untuk merawat perdamaian.

Langkah Irwandi untuk tidak mau berkompromi dengan kelompok teroris ini merupakan tindakan yang tepat. Begitu pun bukan tidak beresiko politik dan keamanan, kalau kelompok teroris ini adalah ’pemain‘ lama yang hadir untuk kontra perdamaian, sehingga kemungkinan sudah memiliki infrastruktur untuk memperluas aksi mereka. Namun jika kelompok ini hanya bersifat kambuhan karena sikap ketidakpuasan pada situasi politik dan ekonomi di Aceh, maka mereka mungkin akan dengan mudah bisa dipatahkan.

Mengurai konflik kepentingan

Siapakah pelaku teror yang marak dalam pekan-pekan terakhir? Wallahu ’alam. Kalau Irwandi telah mengetahui siapa mereka, mudah-mudahan bisa segera dipatahkan. Namun, di luar itu kita bisa menduga-duga, apa sesungguhnya yang sedang terjadi dalam konteks pertarungan kepentingan ekonomi dan politik di Aceh khususnya pascapenekenan MoU Helsinki dan Pilkada?

Proses perdamaian di Aceh bukan hanya melahirkan kestabilan politik, keamanan dan ketentraman bagi mayoritas masyarakat, tetapi meninggalkan orang-orang yang terganggu kepentingannya. Kepentingan mereka adalah melakukan transaksi pengaruh politik, ekonomi, ideologi dan mungkin juga penyaluran hobbi kekerasan.

Transaksi pengaruh politik dan ekonomi menjadi domain aktor lokal, nasional dan internasional. Kemunculan calon independen, pembentukan partai politik lokal, penguatan otoritas pemerintah Aceh, dan pembukaan kran investasi yang membuat Aceh menjadi bagian dari masyarakat global, menjadi persoalan tersendiri bagi aktor-aktor yang melihat bahwa Aceh terlalu diberi hati dan diistimewakan.

Saham internasional dalam pemulihan Aceh lebih besar dari saham republik. Hal ini membuat Aceh terikat dalam sistem pertukaran isu-isu global yang membuat gerak-gerik aktor lokal dan nasional merasa dimata-matai di Aceh. Teror-teror yang muncul mungkin memiliki kaitan dengan usaha membuat pihak asing tidak nyaman di Aceh.

Kepemimpinan politik baru yang lahir lewat sebuah proses demokrasi yang mengantar mantan kelompok perlawanan ke kursi kekuasaan mungkin juga membuat kelompok politik tertentu merasa kecewa. Mungkin mereka menginginkan kelompok yang jelas sikap politiknya bisa memenangkan proses itu, tetapi kalah. Sehingga mungkin membuat barisan untuk aksi-aksi pembangkangan.

Keterbukaan politik di Aceh menyebabkan transaksi ideologi mulai ditanggapi secara kritis. Para aktor ideologis yang melihat bahwa ideologi politik mereka mulai menemukan tantangan-tantangan mencoba untuk mengembalikan situasi di mana mereka bisa membenamkan pengaruh ideologi semakin dalam pada pemikiran generasi muda Aceh.

Krisis nasionalisme dan mulai menggejalanya nasionalisme baru di tengah persentuhan intensif antara Aceh dengan masyarakat dunia menjadi kerisauan mendalam di kalangan aktor-aktor ideologis. Mereka menganggap bahwa sudah mulai muncul pelembagaan politik baru di Aceh. Sisi lain, ketidakpuasan terhadap janji-janji politik para kandidat gubernur, bupati dan walikota, membuka cela bagi agenda baru yang mengisi ruang politik di Aceh. Para aktor ini bergerak di level riil dengan kepentingan bagaimana dapat mengendalikan proyek-proyek pemerintah di tengah-tengah perubahan situasi politik. Aktor-aktor ini punya kepentingan untuk memantapkan pondasi ekonomi pribadi dan kelompok mereka sambil memperlihatkan perilaku-perilaku yang ganjil dan kurang bersahabat. Sadar atau tidak, aktor baru dengan agenda penagihan janji politik juga turut memperburuk situasi politik dan keamanan di Aceh.

Kajian lain bahwa para teroris mungkin adalah kelompok yang punya hobbi melakukan aksi-aksi kekerasan. Jika motifnya hanya penyaluran hobbi dan sifatnya tidak ideologis, kelompok ini bisa dipatahkan dengan mudah. Namun, kalau hobbi kekerasan itu dilandasi oleh ideologi atau kepentingan politik tertentu, sulit untuk memberantas mereka. Alih-alih menyerah, mereka akan memperluas aksi-aksi mereka.

Meredakan kekerasan

Sejauh kekerasan ini dilakukan oleh bandit-bandit yang tidak punya target politik, akan sangatlah mudah dipatahkan. Sebab kita percaya pihak kepolisian bisa memburu mereka dan memutuskan jaringannya. Namun jika pelakunya bermotif kepentingan politik, akan sangat sulit dipatahkan jika tujuan mereka belum tercapai.

Untuk meredakan aksi kekerasan yang muncul akhir-akhir ini, Irwandi harus bekerja keras mengidentifikasi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang tertinggal di Aceh dan berusahan secara persuasif berkomunikasi dengan mereka untuk menyadarkan mereka bahwa kepentingan mereka tidak mengorbankan kepentingan rakyat. Namun, kalau itu kelompok kriminal serahkan saja ke polisi.

Di Aceh, kekerasan bermotif politik dan kriminal susah dibedakan. Karenya diperlukan dukungan kepolisian yang serius. Pemerintah Aceh sesuai kewenangan dalam UU PA, perlu memfungsikan kepolisian sebagai barisan terdepan dalam pemberantasan teror-teror tersebut.

Kalau aksi-aksi kekerasan ini tidak bisa dipatahkan, citra Aceh sebagai daerah rawan akan terus bergema di luar Aceh. Investasi yang sedang digalakkan hanya akan menjadi pepesan kosong. Atau apakah sebenarnya, kekerasan tersebut memiliki kaitan dengan upaya memberi legitimasi status daerah rawan bagi Aceh? Irwandi pernah meminta supaya status itu dicabut, tetapi seiring dengan itu kekerasan malah muncul bertubi-tubi? Wallahu ’alam bisshawab

*) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Politik, Fisip Unimal

No comments:

A r s i p