Thursday, June 21, 2007

CPCP: Calon Perseorangan dan Cinta Parpol

Effendi Gazali

Memperjuangkan calon perseorangan atau independen dalam pemilihan kepala daerah atau pemilu nasional sekalipun tak perlu dipertentangkan dengan dugaan akan adanya upaya deparpolisasi atau mosi tidak percaya kepada partai politik.

Justru karena kecintaan terhadap demokrasi, mengharuskan kita membuat terobosan untuk memperbaikinya sekarang, dengan memaksa partai-partai politik berbenah diri, tanpa perlu takut bersaing dengan calon-calon independen kepala daerah/ negara.

Dalam komunikasi politik, konteks dan momentum teramat penting. Artikel Ikrar Nusa Bhakti ("Tiga Era Deparpolisasi", Kompas, 20/6), sangat bermanfaat untuk mempertanyakan konteks dan momentum perjuangan calon perseorangan. Begitu juga sentilan Budiarto Shambazy lewat kolom Politika ("Sinau" Lagi, Kompas, 9/6). Banyak poin positif tak terbantah dari analisis sejarah maupun pengamatan empiris yang disampaikan kedua senior saya tersebut; namun tulisan ini mencoba menyajikan sisi lain sebagai bahan bandingan untuk terus mendiskusikannya.

Tanpa nama tertentu

Perjuangan membuka kesempatan bagi calon perseorangan tidak boleh menyebut nama, entah itu nama Pilkada Jakarta ataupun nama calon tertentu. Artinya, ia harus diproyeksikan untuk perbaikan partai politik (parpol), sistem politik, dan sistem pilkada/pemilu yang lebih luas. Mungkin kesalahan para intelektual atau aktivis terasa ketika isu ini tercampur sengaja atau tidak dengan konteks Pilkada Jakarta, walau saya yakin sebagian dari kami tidak mencoba untuk mengacu pada atau menguntungkan pihak tertentu.

Betul, orang bisa menginterpretasi: kalau terbuka calon perseorangan dalam Pilkada Jakarta maka peluang calon PKS (Adang-Dani) menjadi besar, bahkan kuda hitam Sarwono-Jeffrey, Faisal Basri, Agum Gumelar atau Rano Karno (kalau maju) juga besar. Yang bakal dirugikan adalah Fauzi-Prijanto. Semua interpretasi tersebut sah-sah saja. Namun, tentu semua perlu berlapang pikiran untuk menyadari bahwa ketakutan Fauzi-Prijanto bakal dirugikan justru persis memperlihatkan bagaimana parpol (yang berkoalisi besar-besaran itu) dikhawatirkan tidak berakar ke rakyat! Mungkin sekali akan terlihat mega-golput yang juga tidak mendukung bahkan terhadap calon yang diusung sebuah koalisi raksasa. Artinya, menunda dinamika ini sama saja dengan menyembunyikan luka menganga yang ingin kita sembuhkan bersama tadi.

Memang dalam konteks dan momentum komunikasi politik, Pilkada Jakarta adalah sebuah persimpangan penting. Bayangkan, warga Jakarta, ibu kota negara yang diharapkan memiliki political efficacy relatif paling tinggi, cuma melihat dua pasangan calon. Saya pribadi, sedih sekali membandingkan ketika saya menjadi moderator debat kandidat di NAD yang berjumlah tujuh pasang. Bahkan, kalau Pilkada Jakarta jalan terus seperti ini, saya mungkin memilih bergabung dengan Fadjroel Rachman menjadi golput aktif!

Cara perbaikan lain?

Akan tetapi, sekali lagi, lupakan Pilkada Jakarta, lupakan nama calon tertentu, sekarang mari balik ke kecintaan terhadap parpol; untuk mana kita perlu segera memperbaikinya. Kita perlu bertanya kepada pakar politik, psikologi, perilaku, kognisi, ekonomi, dan sebagainya: adakah terobosan lain yang bisa kita desakkan untuk memperbaiki parpol kita dewasa ini?

Ada yang mengusulkan memperbanyak masuknya anak-anak muda dan kaum cerdik-pandai. Pertanyaannya: apakah selama ini atau akankah mereka berhasil mengalahkan begitu meruyaknya praktik feodalisme, paternalistik, dan tidak transparannya proses pengambilan keputusan (termasuk dalam menetapkan tiket pilkada)? Di DPR saya dengar usul menarik iuran anggota. Mungkin ini sebagai ganti praktik membanderol tiket pilkada yang amat mahal atau setoran dari berbagai anggaran yang terasa mengada-ada di DPR atau menjadikan departemen tertentu yang dipercayakan pada kadernya sebagai sapi perah. Apakah selama ini atau akankah hal itu berhasil?

Saya tidak sepenuhnya pesimistis; justru karena optimistis, maka bersama kolega lain kami mengajukan dinamika calon perseorangan paralel dengan perbaikan internal tersebut. Di Amerika Serikat jelas buktinya. Memang ada cara unik untuk memahami proses "calon" atau "partai independen" di Amerika, yang kadang kala bertalian dengan fenomena third-party candidate. Di beberapa negara bagian terdapat persyaratan yang berbeda pula. Namun, data dari Information Resource Center Kedubes Amerika (12/6), sejak Pemilu 1832 pintu independen sudah dibuka. Yang paling tinggi merebut suara cuma Ross Perot tahun 1992 dengan 18,9 persen suara populer tetapi tidak menang di (satu) elektoral mana pun!

Memang ada kekhawatiran bahwa wajah lama atau tokoh kaya bisa saja menunggangi perjuangan ini, tanpa harus berkeringat membuat parpol. Akan tetapi, bukankah tokoh sekaya Ross Perot tidak bisa menang? Bukankah pula tugas kita semua untuk membongkar rekam-jejak dan kekayaan L4 (ini istilah Budiarto Shambazy "lu lagi lu lagi") yang ingin kembali berkuasa?

Mengapa tidak mempercepat kecintaan dan kerinduan kita akan perbaikan parpol sambil mengingat bahwa UUD 1945 juga menjamin hak warga negara yang tidak menemui kecocokan dengan (ideologi dan platform) parpol mana pun yang sedang eksis, untuk ikut serta dalam pemerintahan, sementara dia tidak memiliki sumber daya untuk membuat partai baru?

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

No comments:

A r s i p