Monday, June 25, 2007

Politik Uang di Balik Panggung Pilkada

SULTANI

Gagalnya pencalonan sejumlah bakal calon gubernur/ wakil gubernur dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta telah membuka sisi gelap dari proses demokrasi. Praktik "jualan" dukungan partai politik kepada calon kepala daerah membuat pilkada tak ubahnya seperti sebuah transaksi bisnis antara kandidat dan parpol.

Fenomena politik uang bukan hal baru di negeri ini. Semua tahu: uang bisa membeli integritas dan loyalitas politisi negeri ini. Fenomena politik uang ini juga sangat mungkin terjadi dalam pelaksanaan pilkada. "Setoran"—dengan berbagai istilah—ke partai menjadi gejala umum. Meskipun kebanyakan tidak diungkapkan secara lugas, publik bisa merasakan kentalnya nuansa uang dalam pencalonan pilkada.

Hasil jajak pendapat Kompas pun menggambarkan kecurigaan publik tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh 73,8 persen responden. Mereka menilai para calon kepala daerah dalam mencari dukungan partai politik tidak bebas dari politik uang.

Praktik jual beli dukungan antara parpol dengan kandidat mencerminkan bahwa dalam politik, semua tindakan ada imbalannya. Apalagi menyangkut jabatan tertinggi di daerah, praktis dukungan yang diberikan parpol tidak bersifat gratis. Di sini, imbalan, terutama uang, menjadi elemen penting yang selalu digunakan untuk mengubah sikap partai.

Rentannya parpol terhadap politik uang sangat mungkin terjadi karena selama ini parpol tidak memiliki sumber dana yang pasti dan tetap untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Sebagian aktivitas parpol hanya dibiayai anggaran negara saat pemilihan umum.

Selain itu, parpol tidak memiliki sumber dana lain yang bisa diandalkan, kecuali sumbangan perorangan dan badan usaha swasta, yang jumlahnya pun dibatasi. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menyebutkan, "sumbangan dari anggota dan bukan anggota paling banyak senilai Rp 200 juta dalam waktu satu tahun dan sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha paling banyak senilai Rp 800 juta dalam waktu satu tahun".

Ketentuan dalam UU Parpol tersebut melarang parpol meminta atau menerima dana dari pihak asing, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, LSM, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan. Selain itu, partai politik juga dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, partai politik kemudian memainkan peranan yang paling besar dalam tahap pencalonan kepala daerah. Kecuali di Aceh, hanya partai atau gabungan partailah yang bisa mengajukan calon gubernur, bupati, atau wali kota. Partai yang memperoleh kursi 15 persen di DPRD atau mendapatkan suara 15 persen dalam pemilu sebelumnya dapat mengajukan calon untuk dipertandingkan dalam pilkada.

Jadi, meskipun kekuatan massa dari sebuah partai politik sering kali diabaikan ketika dihadapkan pada pilkada langsung yang lebih mengedepankan kekuatan calon di mata publik, peranan partai dalam strategi pemilihan calon tetap tidak dapat dikesampingkan.

Bagaimanapun, di hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Nanggroe Aceh Darussalam, semua calon yang bertanding dalam pilkada harus diusulkan oleh partai. Partai politik, dengan demikian, menjadi pemain utama sebelum pilkada dilaksanakan. Meskipun bisa saja seseorang memiliki pengalaman dan pengaruh besar dalam pemerintahan sebelumnya, jika tidak ada dukungan dari partai politik untuk mencalonkannya, mustahil orang tersebut bisa meraih kekuasaan dalam pemerintahan daerah.

Dalam praktiknya, kekuasaan partai yang sangat sentral dalam pilkada memang gampang dimanfaatkan untuk tujuan lain. Aroma politik uang menjadi sangat lekat dalam pencalonan kepala daerah. Lebih dari 54 persen responden melihat tindakan parpol terhadap para kandidat merupakan cara-cara parpol memanfaatkan momen pilkada sebagai ajang untuk mendapatkan uang.

Kecurigaan responden tersebut cukup beralasan mengingat dalam pencalonan kepala daerah, parpol—terutama yang jumlah kursi DPRD-nya banyak— cenderung mendekati calon-calon "berkantong tebal". Meskipun dalam proses seleksi kualitas calon tetap diutamakan, pada akhirnya persoalan uang menjadi kunci yang turut menentukan pilihan parpol pada kandidat.

Bahkan, lebih dari 79 persen responden percaya bahwa mulai dari pencalonan hingga pernyataan dukungan parpol kepada calon kepala daerah tertentu sarat dengan politik uang.

Kentalnya nuansa politik uang dalam pilkada bisa dimaklumi karena jabatan yang disasar prestisius dan bernilai tinggi. Posisi gubernur, bupati, atau, wali kota pun "dijual" mahal lantaran sangat diminati oleh para pemburu kekuasaan.

Praktik jual beli dukungan parpol memang tidak secara jelas dilarang dalam peraturan. Bahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pun hanya mengatur tentang sumbangan kepada pasangan calon, tetapi tidak sebaliknya, yaitu dari pasangan calon kepada partai atau tim sukses partai.

Dalam Pasal 65 Ayat (3), misalnya, disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye dari perseorangan dilarang melebihi Rp 50 juta dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi Rp 350 juta. Kemudian dalam Ayat (5) disebutkan sumbangan kepada pasangan calon yang lebih dari Rp 2,5 juta, baik dalam bentuk uang maupun bukan uang wajib, dilaporkan kepada KPUD mengenai jumlah dan identitas pemberi sumbangan.

Ketidakjelasan peraturan mengenai sumbangan calon kepada partai politik atau pihak-pihak lain terkait dengan pilkada membuat partai dapat bermain dengan leluasa memanfaatkan pilkada. Namun, tingkah laku parpol sebenarnya tidak lepas dari pengamatan publik. Terbukti, sejak pilkada mulai dilaksanakan pada tahun 2005, citra parpol terus merosot di mata publik. Kini hanya 22 persen yang masih menilai citra partai politik baik.

Imbasnya, pilkada yang semula diharapkan akan menghasilkan proses yang demokratis dan menghasilkan pemimpin daerah yang mampu memberantas korupsi pun mulai luntur. Kini 62,3 persen responden tidak yakin apakah pemilihan kepala daerah bisa menghasilkan kepala daerah yang memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Lebih dari separuh (51,2 persen) juga meragukan apakah pemilihan kepala daerah bisa menghasilkan kepala daerah yang berkualitas. (LITBANG KOMPAS)

No comments:

A r s i p