Thursday, June 14, 2007

Membaca DPR secara Terbalik

Boni Hargens

Selasa (5/6) pekan lalu, mestinya sidang interpelasi terkait resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1747. Sidang ditunda karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono absen. Dewan Perwakilan Rakyat pun terbelah.

Sebagian mengatakan, kehadiran Presiden bukan substansi masalah sehingga ketujuh menteri utusan pemerintah sudah merupakan wakil sah. Sebagian lagi bersikeras, menuntut kehadiran langsung Presiden. Apa susahnya Presiden hadir dan kenapa DPR begitu ngotot menghadirkan presiden, seolah-olah interpelasi menentukan mati-hidupnya bangsa ini? Inilah akar permasalahannya.

Dulu interpelasi tidak terlalu dipersoalkan, apakah presiden hadir atau absen. Rakyat juga tidak persoalkan sidang DPR itu sebuah dagelan atau betul bukan basa-basi. Bahkan, dalam paripurna penting terkait hidup rakyat, DPR mendadak berubah pendirian—persis pengidap bipolar yang mengalami perubahan sikap dalam sekejap—tidak ada yang mempermasalahkan. Impor beras dulu ditentang hampir 50% anggota DPR, tapi dalam paripurna kebijakan itu bebas hambatan. Begitu pula kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar minyak tahun 2005.

Setali tiga uang

Singkat kata, sulit membaca DPR. Ibarat jagoan silat, terlihat merangsek ke kanan, ternyata tujuan ke kiri. "Yang dikatakan" tidak selalu identik dengan "yang mau dikatakan". Kita pun kesulitan menilai wakil rakyat, kapan ia bertindak untuk rakyat dan kapan sekadar pamer kekuasaan. Kasus Iran ini pun memusingkan kepala. Makanya, performa DPR barangkali perlu dibaca terbalik. Yang kelihatan penting, sebetulnya mainan saja. Sebaliknya yang sepele, justru yang penting. Oleh karena itu, kalau DPR, misalnya, kurang tajam soal lumpur Lapindo, setidaknya dibandingkan dengan kasus Iran, itu artinya kasus Lapindo lebih penting daripada kasus Iran.

Tidak hanya DPR, pemerintah juga perlu dibaca terbalik. Setali tiga uang. Baik DPR maupun pemerintah sama-sama bermain. Dengan demikian, presiden absen pun bermakna dual, kartu joker sekaligus kartu mati. Kartu joker, karena absen itu strategi untuk mengamankan posisi. Kartu mati, karena pemerintah terang-terangan takut berhadapan dengan parlemen (baca: partai politik). Padahal, tidak susah amat bagi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan dukungan terhadap Resolusi 1747 tersebut. Tinggal dijelaskan bahwa politik luar negeri "bebas-aktif" Indonesia memang menjunjung tinggi imparsialitas. Tidak ada keberpihakan atas dasar apa pun, terhadap negara mana pun, kecuali jika horizon keberpihakan itu satu sinergi dengan misi kemerdekaan, menciptakan perdamaian dunia.

Sebetulnya kalau bertolak dari prinsip politik luar negeri, tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi di antara pemerintah dan DPR, apalagi dari perspektif rakyat. Tidak ada relevansi isu Iran ini dengan perut lapar, rumah terendam lumpur, pekarangan terancam digusur, atau anak putus sekolah setelah banyak ayah kehilangan pekerjaan.

Akan tetapi, bandul politik memang selalu berkisar di titik nol ketika DPR dan pemerintah gagal mengerucutkan prioritas. Itu sebabnya political sphere sesak dengan isu elitis, lalu masalah-masalah kerakyatan terabaikan. Apa demokrasi harus begini?

Taruhan yang mahal

"Makna Sebuah Kekuasaan" adalah judul salah satu tajuk Kompas tahun lalu (26/9/2006). Dikatakan, demokrasi bukan sistem sekali jadi. Itu betul. Pun demokrasi bukan mesin yang diciptakan dalam satu model dan berlaku sama untuk semua orang seperti mesin uapnya James Watt yang bisa digunakan di seluruh dunia dalam jenis dan dengan cara kerja yang sama.

Perkembangan demokrasi pun bukan gerak linear yang bisa ditakar dalam derajat tertentu, seperti kredo Inkeles (1990). Demokrasi lebih menyerupai pengembara di padang pasir yang dalam perjalanannya melintasi tanjakan-tanjakan kecil, terkadang melewati lintasan terjal berliku, hingga akhirnya mencapai ketinggian tertentu (Dahl, 1989).

Katakanlah, Indonesia berada pada salah satu terjal sejarah demokrasi. Bagaimana memilah pejuang dari "pelacur" demokrasi? Di sini Rousseau (1712-1778) agak keliru. Ternyata the Sovereign dalam "kontrak sosial" demokrasi tidak otomatis menyadari tanggung jawabnya untuk kebaikan umum (bonum commune). Bahkan, tidak jarang kepentingan parsial ditamengkan oleh "kepentingan umum".

Kalau pun Hobbes (1588-1679) bisa diajak bicara, "negara leviathan"-nya pun bukan solusi. Hobbes kurang jelas, apakah Leviathan hanya bermaksud menertibkan warga negara yang aslinya liar atau justru untuk memberadabkan tabiat (pemimpin) politik yang biadab.

Indonesia hari ini menantang Hobbes dan Rousseau. Bahwa ternyata bukan warga negara yang perlu diberadabkan, tetapi penyelenggara negaralah yang harus ditertibkan, dan demokrasi bukan solusi melainkan justru sebuah persoalan.

Kalau ketegangan parlemen- pemerintah ini terus berlarut, nasib bangsa dan demokrasi adalah taruhan final yang mahal. Oleh karena itu, DPR harus bijaksana, berhenti berbual, dan kritis secara elegan. Kasus Iran tidak segenting kasus Meruya Selatan atau eskalasi angka kemiskinan.

Oleh karena itu, perlu ada prioritas dan kemampuan membedakan antara yang subtansial dan superfisial. Hanya dengan demikian rakyat bisa memahami wakilnya tanpa harus membacanya secara terbalik.

Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik UI; Direktur Riset Parrhesia (Institute for Nation-State Building)

No comments:

A r s i p