Saturday, June 30, 2007

POLITIKA

Teroris Bukan Pahlawan!

BUDIARTO SHAMBAZY

Sekali lagi selamat untuk Detasemen Khusus 88 Antiteror yang kembali menangkapi para tersangka teroris. Namun, di dalam demokrasi, wajar ada perbedaan pendapat tentang ancaman terhadap kemanusiaan ini.

Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai di harian ini edisi 28 Juni mengatakan pemberitaan media kerap kali memang menimbulkan "efek samping".

"Media tanpa sadar membingkai tersangka teroris yang ditangkap justru seperti jagoan atau pahlawan yang teraniaya oleh negara," kata Ansyaad. Maraknya protes dari sekelompok tertentu terhadap upaya Polri selama ini, menurut dia, merupakan anomali dalam upaya pemberantasan terorisme.

Pembaca di Jakarta, JS, mengirimkan surat elektronik ke rubrik ini, menceritakan obrolan makan malam memestakan anaknya yang lulus SMP. "Anak-anak menanyakan sikap DPR yang mempersoalkan penangkapan teroris," tulis JS.

"Kenapa tak membela korban bom? Bukankah di antara korban ada Muslim? Ini tidak fair. Ini pembodohan. Kita harus hargai polisi walau citranya kadang kurang baik," sambungnya.

Surat elektronik lain datang dari IJ yang bekerja di sebuah bank di Medan. "Saya ingat saat jenazah Azahari dimakamkan di Malaysia hanya diberitakan sekilas. Mereka paham tak ada nilai edukasi dari berita yang jadi aib bagi bangsa. Pers di sana lebih matang dan arif," kata IJ yang Muslim.

"Ada yang membantu teroris dengan alasan HAM, padahal banyak yatim piatu jadi korban terorisme," tambah IJ.

Ada berita menarik beberapa bulan lalu, yakni tentang rekrutmen mahasiswa secara rahasia oleh organisasi anti-RI yang bernama Negara Islam Indonesia (NII). Berita itu ditayangkan dalam format serial oleh Kantor Berita Radio (KBR) 68H.

Beberapa dosen FISIP UI menyampaikan hal yang sama kepada saya. Mereka mengadakan acara khusus mendengarkan kesaksian mahasiswa yang mbalelo dari organisasi itu supaya mahasiswa lain waspada.

Organisasi itu mengajarkan mahasiswa agar jangan toleran terhadap bangsa ini. Bukan rahasia pula bahwa mereka menghalalkan semua cara—termasuk kekerasan—untuk mencapai tujuan konyol itu.

Mahasiswa "dicuci otaknya" lewat pola rekrutmen yang serba rahasia, antara lain dengan menggunakan "sistem sel". Mereka dicekoki ideologi tertentu dan dipaksa membayar iuran yang jumlahnya tak masuk akal.

Sempat diberitakan beberapa media bahwa polisi Depok menemukan beberapa butir peluru di Kampus UI, Depok. Sampai kini tak ketahuan, peluru-peluru tajam itu untuk apa.

Anak saya yang mahasiswa menceritakan nasib temannya di kampus yang sebelumnya normal. Tiba-tiba direkrut ke organisasi itu.

Menurut pengakuannya, ia direkrut lewat beberapa kali pertemuan di tempat umum. Menurut anak saya, teman-teman mahasiswa yang diincar biasanya dalam kondisi jiwa yang kalut, misalnya putus hubungan dengan pacar atau baru saja kematian anggota keluarga.

Ia dan beberapa teman berusaha keras menginsafkan rekan yang terjebak itu, tetapi belum berhasil. Di KBR 68H seorang mahasiswa mengaku terpaksa melego laptop untuk membayar iuran ratusan ribu rupiah.

Ayah sang mahasiswa itu mengaku ditipu organisasi itu. Bisa dibayangkan sebuah keluarga terpukau dengan tujuan organisasi ini.

Saya tetap percaya dalil mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton yang mengatakan terorisme lahir akibat kemiskinan. Dan kemiskinan di negeri ini diakibatkan oleh korupsi.

Jangan berharap pemerintah sendirian mampu menghentikan terorisme. Apalagi salah satu modus operandi politik Orde Baru membuat organisasi-organisasi radikal gadungan yang berlanjut, misalnya, saat Pamswakarsa beroperasi 1998-1999.

Eksekutif dan legislatif malah menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Peranan mereka tak lagi penting karena malah menambah masalah menjadi banyak.

Korupsi mereka tak berhenti, mereka lebih banyak meminta daripada memberi, dan mereka mendominasi ruang publik dengan lenong atau sinetron politik. Jika diandaikan, mereka figuran tak penting yang tampil 5-10 detik tanpa mengucapkan dialog.

Justru orangtua yang jadi pemegang peranan utama. Hari Sabtu (23/6) banyak polisi mencegat mobil-mobil boks yang masuk ke Jakarta dari berbagai jurusan, termasuk Tangerang.

Banyak razia dilakukan polisi karena kecurigaan terhadap teroris membawa masuk bahan peledak ke Ibu Kota. Salut kepada para pengelola gedung, termasuk mal dan hotel, yang makin mengetatkan pemeriksaan.

Terorisme masih mengancam saat anak-anak kita menikmati liburan panjang. Terkutuklah mereka yang masih saja tega bersiasat untuk membunuh sesama dengan cara tak beradab.

Telah banyak pahlawan di negeri ini, di antaranya mendiang Cak Nur, Munir, rakyat Pasuruan yang tewas diterjang peluru, atau para mahasiswa yang tewas akibat kerusuhan Mei 1998. Para pelajar perebut medali Olimpiade Fisika, para korban lumpur Lapindo, dan Densus 88 juga pahlawan.

Teroris bukan pahlawan!

No comments:

A r s i p