Thursday, June 21, 2007

Mewaspadai Revisi UU Pers

Oleh :

S Sinansari ecip
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat

Di kalangan pers di Jakarta, beredar rancangan revisi Undang-undang (UU) No 40/1999 tentang Pers. Di situ terlihat adanya pelanggaran terang-terangan terhadap Undang-undang Dasar 1945. Itu sangat dikhawatirkan membawa pers Indonesia kembali ke zaman pemerintahan Soeharto. Di masa itu, peran pemerintah sangat dominan sehingga pers menjadi pembantu dan corong kekuasaan.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) M Nuh membantah rancangan tersebut sebagai rancangan pemerintah yang akan disodorkan kepada DPR. Melihat bentuknya, borang tersebut berupa naskah akademik, yang memerlukan elaborasi. Mungkin ada sumber dalam Depkominfo yang membocorkannya dengan maksud baik, yakni agar kebebasan pers di Indonesia tetap berjalan sesuai jalur yang sepantasnya.

Itu terbukti dengan ucapan Menkominfo M Nuh, yang menyatakan itu bukanlah rancangan revisi dari pemerintah. ”Urusan pers bukan urusan pemerintah lagi karena sudah ada Dewan Pers,” tutur M Nuh. ”Kalau ada revisi, yang melakukan perubahan adalah kalangan pers sendiri,” ujar dia menambahkan. Kalimat seperti itu dia nyatakan di depan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia di kesempatan yang berbeda. Memang sebelumnya sudah beberapa kali terdengar bahwa pemerintah (Menkominfo yang waktu itu dijabat Sofyan Djalil) ingin merevisi UU Pers karena pers Indonesia kebebasannya berlebihan. Kemungkinan besar rancangan yang menghebohkan itu berasal dari menkominfo yang lama.

UUD versus UU Pers
Pasal 28F UUD 45 jelas-jelas menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Draft revisi (atau apa pun namanya), antara lain mengandung tiga hal penting. Pertama, draft tersebut mengungkapkan bahwa terhadap pers Indonesia akan dilakukan sensor dan kemungkinan pembredelan. Kedua draft tersebut juga menyebutkan bahwa perusahaan pers juga akan melewati syarat tertentu. Ketiga, persyaratan tersebut dibuat oleh peraturan pemerintah.

UU Pers No 21/1982 meski mengandung kebebasan, ternyata dibekap (dibungkam) oleh peraturan menteri (yakni Permenpen No 1/1984) yang bisa membatalkan izin (surat izin usaha penerbitan pers). Bagaimana mungkin peraturan menteri bisa membatalkan undang-undang. Bisa saja, dengan menambahkan kata 'kecuali'.

Dalam UU Pers No 40/1999 kebebasan pers lahir ketika menteri penerangannya Yusus Yosfiah dan presidennya BJ Habibie. Itu tonggak penting reformasi. Pasal 4 ayat 2 undang-undang tersebut menyatakan, ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.” Dalam draft, ditambahkan pengecualiannya, yaitu pers dikenakan penyensoran, pembredelan, bila pers memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan/atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama dan/atau bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat dan/atau membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional. Sejauh ini, pers diberi kepercayaan untuk melakukan penyensoran sendiri yang bertanggung jawab. Tersedianya Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam UU Pers (Pasal 5 ayat 2 dan 3), akan diuraikan dalam bentuk peraturan pemerintah.

UU Pers Pasal 9 ayat 1 menyebutkan, ”Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.” Dalam draft revisi ada tambahan, ’’ketentuan lebih lanjut tentang standar persyaratan perusahaan pers, diatur dengan peraturan pemerintah.’’ Artinya, jika ada perusahaan yang tidak memenuhi syarat, tidak bisa mendirikan perusahaan pers. Lebih jauh lagi, rumusan kalimat tersebut juga bisa diartikan bahwa untuk mendirikan perusahaan pers harus ada izin seperti SIUPP.

Dalam draft revisi juga terdapat ketentuan yang menyebutkan, ’’Perusahaan pers yang melanggar ketentuan (tentang isi karya jurnalisme tertentu) dipidana dengan denda maksimal Rp 500 juta dan dilakukan penghentian pemuatan berita atau gambar atau iklan oleh Dewan Pers setelah ada keputusan hukum berkekuatan tetap dari pengadilan.” Ketentuan seperti ini jelas-jelas bermaksud untuk menjalankan kriminalisasi terhadap pers, yang akan ditolak oleh Dewan Pers.

PP berbahaya
UU 40/1999 dibuat dengan sederhana dan diharapkan langsung dapat dijalankan, tanpa harus dibuat peraturan pemerintahnya (PP). Jika untuk mengaplikasikan undang-undang tersebut harus dibuat PP, dikhawatirkan pemerintah bisa “bermain.” UU yang baik bisa rusak karena PP yang tidak baik. Kebebasan pers Indonesia akan terpelanting kembali ke zaman dulu jika undang-undangnya tetap bisa dipermainkan.

Sebagai contoh 'permainan' yang akhirnya membuat situasi menjadi tidak sehat terjadi di bidang penyiaran. Saat ini sudah lahir UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Undang-undang ini memberi iklim yang baik bagi dunia penyiaran. Kemudian pemerintah, tanpa mendengar kiri dan kanan (termasuk tidak mendengar DPR), membuat PP yang mencederai kebebasan di bidang penyiaran. Pemerintah akan menjalankan PP itu tanpa mempedulikan kondisi dan keberatan pihak lain. Tanpa mempedulikan suara yang lain, kafilah berlalu terus.

Adalah menarik pernyataan Menkominfo M Nuh yang terungkap di bagian awal tulisan ini. Pemerintah tidak mengurusi pers lagi karena sudah ada Dewan Pers. Itu perlu diikuti pernyataan, “Pemerintah tidak mengurusi penyiaran lagi (kecuali tentang frekuensi radio) karena sudah ada Komisi Penyiaran Indonesia, yang dibentuk untuk itu oleh undang-undang.

Ribut berakhir
Semua pihak tentu tidak menginginkan Indonesia terus dalam keadaan ribut. Kondisi yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa saat keributan yang satu belum selesai, ditutup dan diteruskan oleh keributan yang lain. Karena itulah, semestinya keributan tentang kebebasan pers yang akan dipasung kembali ini menjadi penutup bagi keributan yang lain. Sudah terlalu banyak keributan yang terjadi.

Kalau akan ada revisi terhadap UU Pers, semestinya dilakukan untuk memperkokoh kebebasan pers yang ada saat ini, jangan sebaliknya. Kepercayaan publik yang besar kepada pers jangan diporoti. Kepercayaan tersebut selama ini sudah dipertanggungjawabkan oleh pers dengan baik. Bentuk tanggung jawabnya itu antara lain dengan berita yang makin bermutu, seimbang, tidak memihak pemerintah (jika tidak dianggap perlu), dan seterusnya.

Bagaimana terhadap pers yang dianggap 'kebablasan' atau belum bermutu? Di sinilah peran pemerintah mestinya terpanggil untuk secara serius dan dengan niat baik memperbaikinya. Pemerintah harus jadi fasilitator yang memberi dan memodali mereka dengan pengetahuan teknis dan etika yang baik. Dukungan seperti itu harus terus diberikan hingga produk mereka menjadi lebih baik. Mereka tidak perlu dibunuh melainkan perlu diasuh.

Ikhtisar
- Draft revisi UU Pers yang kini beredar memuat ketentuan yang membahayakan kebebasan pers dan membuat dunia pers mundur kembali ke masa lalu.
- Ketentuan tersebut antara lain menyinggung soal kemungkinan membuka peluang bagi pemerintah untuk melakukan penyensoran dan pembreidelan.
- Lewat menteri komunikasi dan informatika pemerintah membantah bahwa draft yang beredar itu merupakan draft pemerintah.
- Yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini bukanlah menyempitkan ruang gerak pers, melainkan mendukung supaya kualitas dunia pers terus meningkat

No comments:

A r s i p