Monday, June 18, 2007

Demokratisasi di
Indonesia dan Thailand


Kembali ke kampus Thammasat University di Bangkok. Kali ini untuk mempresentasikan makalah dalam seminar internasional tentang 'Demokratisasi di Indonesia dan Thailand Pasca 1997' yang diselenggarakan Southeast Asian Studies, Thammasat University, bekerja sama dengan KBRI Bangkok untuk 'The Indonesian Day' (15-16 Februari 2007). Juga mempresentasikan makalah Dr Thitinan Ponsudhirak, Chulalongkorn University, dan Benedict R.O.G Anderson, guru besar emeritus Cornell University, Ithaca, AS, yang sejak pensiun menghabiskan banyak waktunya di Thailand.

Yang pertama kali saya kunjungi pada 1979, kampus ini jauh berbeda. Pada 1970-an Thammasat adalah pusat aktivisme gerakan mahasiswa, khususnya menghadapi junta militer. Kini, di kampus Thammasat tidak terlihat ada gerakan apa setelah PM Thaksin Shinawatra digulingkan militer September 2006 lalu. Kampus Thammasat berbeda dengan banyak kampus di Indonesia yang kini masih terus ditandai demonstrasi mahasiswa yang memprotes berbagai hal; tidak hanya dalam isu nasional dan lokal, tapi juga menyangkut kehidupan kampus.

Indonesia dan Thailand sama-sama mengalami krisis moneter dan ekonomi sejak 1997, yang di Indonesia mengakibatkan jatuhnya pemerintah Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Krisis moneter itu telah lama berlalu di Thailand, tetapi masih sangat terasa di Indonesia. Bahkan, dalam hal-hal tertentu keadaan sekarang bagi banyak kalangan masyarakat Indonesia kelihatan kian sulit dengan meningkatnya kembali jumlah orang miskin dan pengangguran.

Pada satu segi, demokrasi terus menemukan momentumnya; tidak hanya dalam pemilu yang telah dua kali dilaksanakan pada masa pasca-1997, tetapi juga melalui Pilkada di berbagai provinsi dan kota/kabupaten. Kita boleh bangga mengklaim Pemilu 2004 sebagai paling demokratis dan aman; tapi Pilkada bukan tidak sering diwarnai konflik vertikal di antara elite politik yang memunculkan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Bukan tidak sering pula berujung dengan kekerasan dalam aneka bentuknya.

Di tengah konflik seperti itu, kehidupan yang kian sulit dan demokrasi yang terlihat belum juga memberikan harapan bagi kesejahteraan masyarakat. Tidak heran kalau kesabaran sebagian elite politik mulai hilang. Ini terlihat jelas dalam 'gerakan cabut mandat' Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertengahan Januari lalu; bahkan juga ada isu tentang 'Dewan Jenderal' yang konon akan melakukan 'kudeta militer' terhadap pemerintahan yang dipilih rakyat secara demokratis dengan tingkat partisipasi yang sangat besar dari rakyat.

Indonesia lebih beruntung karena militernya belum pernah apalagi memiliki 'tradisi'-- untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Meski tidak terlihat tanda-tanda militer Indonesia akan memulai tindakan seperti itu, sepatutnya kita tetap berharap agar TNI tidak pernah tergoda melakukan kudeta militer, yang jelas akan menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap kehidupan politik dan sosial. TNI sepatutnya untuk juga tidak tergoda kembali memainkan peran dwifungsinya, seperti begitu dominan pada masa Soeharto.

Pelajaran dari proses politik dan demokratisasi di Indonesia dan Thailand bahwa kaum militer atau junta militer dan bahkan penguasa demokrasi sering memunculkan 'oligarki militer' dan 'oligarki sipil'. Persisnya, kekuasaan dengan segala manfaat ekonomi dan sosialnya hanya berada di tangan segelintir orang, tidak peduli apakah dari lingkungan militer atau sipil. Watak kekuasaan membuat munculnya orang-orang yang ingin mendominasi dan memanfaatkan kekuasaan bagi kalangan mereka sendiri, tidak peduli dengan kepentingan rakyat.

Hal itu yang persisnya juga terjadi di Thailand pada masa PM Thaksin. Kekuasaan oligarkis, seperti juga kekuasaan diktator absolut, cenderung korup. Ungkapan Lord Acton yang terkenal, 'power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely' membuat PM Thaksin juga melakukan tindakan-tindakan koruptif, yang pada gilirannya menjadi justifikasi bagi militer Thailand untuk menggulingkannya.

Di Indonesia, gejala yang terjadi adalah meningkatnya 'oligarki partai'; dan bahkan kini semacam 'oligarki legislatif' seperti tecermin dari penolakan banyak anggota DPRD untuk mengembalikan berbagai tunjangan dan insentif yang telanjur mereka terima berdasarkan PP 37/2006 yang kontroversial itu; 'oligarki legislatif' karena para wakil rakyat ini lebih mendahulukan kepentingan sendiri, tanpa mempertimbangkan kepentingan dan sensitivitas publik.

Oligarki, apakah militer ataupun sipil, jelas tidak menguntungkan bagi penguatan demokrasi. Karena itu, seyogianya para pendukung dan pembela demokrasi melakukan berbagai upaya untuk mencegah kian meruyaknya oligarki tersebut. Dengan begitu, rakyat bisa tetap percaya pada demokrasi.

(Azyumardi Azra )

No comments:

A r s i p