Tuesday, June 19, 2007

Partai Politik, "For Sale"

M Fadjroel Rachman

Bila Anda bukan miliarder, jangan bermimpi menjadi calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta.

Meski Anda cerdas, amat bermoral, kekayaan halal bukan hasil korupsi dan suap-menyuap, lalu memiliki program kerja kesejahteraan, yakinlah tak akan satu partai politik (parpol) pun yang melirik apalagi melamar Anda sebagai cagub-wagub.

Anda kader partai yang loyal dan merangkak dari bawah? Juga bukan jaminan karena partai politik memilih calon dengan tiga kriteria: uang, uang, dan uang.

Parpol besar memilih cagub Fauzi Bowo, pegawai negeri sipil yang hartanya per 31 Mei 2007 senilai Rp 38.347.226.587 dan 150.000 dollar AS, sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memilih Adang Daradjatun, polisi berbintang tiga yang hartanya per 31 Januari 2007 senilai Rp. 17.399.839.681 dan 42.592 dollar AS (Pengumuman KPU DKI Jakarta, 14/6).

Mengapa harus miliarder? Apakah mereka harus membayar tiket masuk kepada parpol? Tak ada yang tahu, kecuali pengakuan Djasri Marin dan mantan Panglima Kodam Jaya Slamet Kirbiantoro. Djasri Marin menagih PDI-P dan PPP mengembalikan setorannya senilai Rp 3 miliar (Kompas, 16/6). Juga pengakuan Sarwono Kusumaatmadja—mantan Sekjen Golkar rezim Soeharto-Orde Baru 1983-1988— bahwa "penolakan terhadap saya selalu terjadi pada saat-saat terakhir, saat "uang yang tak ada judulnya" itu mulai disebut." (Tempo, edisi 11-17 Juni 2007). Bila sesuai pengakuan Djasri Marin, asumsinya para cagub-wagub pilihan parpol membayar tiket masuk dengan nilai rupiah lebih besar. Secara moral dan hukum kedua pasangan itu tidak pantas berlaga sebagai cagub-wagub DKI Jakarta. Keduanya semestinya dianulir.

Kekecewaan publik

Sungguh celaka demokrasi terbatas sekarang hanya mampu menyulap Vox populi, Vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) menjadi Vox populi, Vox Argentum (suara rakyat, suara gemerincing uang). Politik uang mengganti politik partisipasi warga negara, dan elite politik parpol menihilkan aspirasi konstituen pendukungnya. Bagaimana mungkin partisipasi dan aspirasi warga negara atau konstituen parpol ikut menentukan bila setiap hari dan setiap minggu elite parpol bergonta-ganti dukungan pasangan calon tanpa alasan, dan sibuk tawar-menawar berapa miliar rupiah harga tiket masuk cagub-wagub. Celakanya, praktik ini terjadi di seluruh Indonesia.

Karena itulah survei Lead Institute-Paramadina dan Indo Barometer (15/6) menegaskan, kekecewaan publik di 33 provinsi seluruh Indonesia (pada 11-27 Mei 2007, dengan sample 1200, margin of error +/- 3,0 persen, dan tingkat kepercayaan 95 persen) terhadap jalur kaderisasi kepala daerah (gubernur, wali kota, dan bupati) maupun presiden melalui parpol. Hanya 20,4 persen yang mengiyakan jalur parpol, sedangkan 29,3 persen menegaskan jalur akademisi/intelektual.

Apakah kita harus memusuhi parpol? Sama sekali tidak. Demokrasi modern berarti kedaulatan rakyat plus perwakilan. Namun, kedaulatan rakyat berarti kedaulatan warga negara, kedaulatan perseorangan juga. Republik didirikan atas dasar kontrak sosial sukarela para warga negaranya. Karena itulah, konstitusi UUD 1945 menegaskan basisnya pada warga negara, pada perseorangan. Simak Pasal 28 D ayat 3, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan."

Sejalan pasal itu, Pasal 18 Ayat 4, Bab VI tentang Pemerintahan Daerah berbunyi "Gubernur, bupati, dan wali kota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Semua pasal itu menegaskan hak konstitusional warga negara, tanpa harus mempertentangkannya dengan keberadaan parpol. Parpol tetap pilar demokrasi modern, tetapi elite parpol busuk adalah musuh demokrasi.

Demokratisasi demokrasi

Siapakah yang bisa mengubah perilaku elite parpol busuk? Bahkan, kantor parpol di pusat dan daerah dikepung para kader dan konstituen pun tidak bisa mengubah mereka. Alih-alih berubah, para elite parpol biasanya memvonis kematian politik kepada para penentang atau suara berseberangan. Jual beli parpol oleh elite parpol kepada elite modal dan oligarki elite parpol yang menihilkan partisipasi dan aspirasi publik dan konstituen makin menggila, yang terjadi adalah pembusukan parpol dan demokrasi, inilah kondisi yang pantas disebut deparpolisasi dan depolitisasi. Sementara majunya calon perseorangan (independen) sebagai gubernur, wali kota, bupati, di Indonesia merupakan hak-hak konstitusional, dan proses repolitisasi dan reparpolisasi. Partisipasi aktif warga negara, lengkap dengan gagasan progresif yang tak terakomodasi parpol, merupakan proses repolitisasi, sedangkan tantangan perseorangan terhadap parpol untuk memperbaiki fungsinya merupakan reparpolisasi. Repolitisasi dan reparpolisasi merupakan proses mendemokratisasi demokrasi.

Parpol tidak mungkin berubah bila dikangkangi uang panas dari elite modal, serta praktik feodalisme dan otoriter elite parpol. Mereka juga menihilkan dan meminimalkan berkembangnya lima hak dasar demokrasi modern: sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dan terperangkap dalam praktik rezim otoriter/totaliter. Bagaimana mengubahnya? Kita pinjam teori kelembaban (inertia) fisika, sebuah benda akan terus bergerak atau terus diam, kecuali ada energi luar yang memengaruhi. Artinya bila praktik busuk elite politik di tubuh parpol dan demokrasi terus berlangsung, abadilah praktik itu bila tidak ada kekuatan lain dari luar yang menghentikannya.

Dialektika demokrasi

Tantangan gagasan maupun sosok perseorangan pada pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati di seluruh Indonesia merupakan agregasi energi luar yang cukup untuk mengubah praktik busuk elite politik parpol untuk menyelamatkan kualitas parpol dan demokrasi kita. Tidak ada pertentangan antarparpol, gabungan parpol, dan perseorangan. Dengan kompetisi sehat dan adil, perlahan jalur kaderisasi gubernur, wali kota, bupati, dan presiden akan kembali ke tangan partai politik dan meminimalkan peran calon perseorangan.

Mempertahankan dialektika parpol dan perseorangan akan menjadikan demokrasi kita kian sehat karena secara kontinu membarui dan memperbaiki diri dengan sosok perseorangan dan gagasan baru yang progresif. Termasuk menganulir pembajak demokrasi yang menyulap parpol sebagai komoditas, dengan iklan besar, partai politik for sale?

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]; Penggagas Gerakan Jakarta Merdeka

No comments:

A r s i p