Sunday, June 24, 2007

Orang Jawa Jadi Teroris Cetak E-mail

Dalam sebuah diskusi kecil, Prof Dr Azyumardi Azra,mantan rektor UIN Jakarta menyatakan keheranannya: kenapa sekarang ini teroris banyak yang berasal dari Jawa.

Kenapa teroris tidak tumbuh di Sumatera dan Sulawesi yang orang-orangnya terkenal berwatak keras? Pertanyaan Edi––panggilan akrab Prof Dr Azyumardi Azra––itu ada benarnya. Faktanya, mayoritas teroris yang tertangkap polisi sejak tragedi Bom Bali (I dan II), bom Kuningan, Bom Mariot, Bom Poso,dan lain-lain ternyata berasal dari Jawa.Abu Dujana, misalnya, meski berasal dari Jawa Barat––yang tidak dikategorikan sebagai Jawa (karena ada peperangan antara Kerajaan Majapahit di Jawa dan Pajajaran di Sunda)––tapi “besar dan matang” dalam lingkungan Jawa.

Ini terlihat dari lingkaran dalam (ring satu) Abu Dujana seperti Abu Irsyad, Amrozi, Imam Samudera, dan lain-lain. Abu Dujana sendiri, misalnya, saat terakhir tinggal di Banyumas – wilayah yang masih dalam koridor Pulau Jawa. Jika pun ada teroris lain yang berasal dari daerah lain,porsinya sangat kecil. Lagipula, gerakan mereka pun dikendalikan orang Jawa dan dari Jawa.

Karakter Orang Jawa

Sebelum membahas pertanyaan Edi, alangkah baiknya kita menyimak dua proklamator Indonesia, Bung Hatta dan Bung Karno. Bung Hatta yang lahir di Sumatera ternyata berkepribadian lebih lembut dan halus ketimbang Bung Karno. Soekarno yang Jawa adalah orang yang mempunyai kepribadian keras, menggelegar, dan pantang menyerah. Sepintas,kepribadian Soekarno itu bukan personifikasi orang Jawa yang terkenal lembut dan mudah kompromi.

Kenapa demikian? Untuk mengkaji fenomena tersebut, kita perlu memahami karakter orang Jawa. Dan salah satu cara untuk memahaminya adalah dengan melihat simbol karakter dalam wayang Pandawa Lima. Mereka adalah Puntodewo,Werkudoro (Bima), Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Puntodewo, Nakula, dan Sadewa terkenal sebagai tiga tokoh yang lemah lembut dan selalu mengalah. Sedangkan Arjuna adalah tokoh yang pandai, baik dalam diplomasi maupun perang.

Arjuna bisa berunding dengan musuh dan mengatur strategi peperangan.Sedangkan Werkudoro adalah tokoh yang lurus, blak-blakan, pemberani, dan pantang menyerah. Werkudoro tidak pandai diplomasi dan tanpa kompromi. Jika menurutnya benar, dia serta merta bersedia perang,apa pun risikonya. Karakter-karakter Pendawa Lima itulah yang tampaknya menjadi gambaran untuk melihat karakter orang Jawa. Bung Karno mungkin lebih mirip karakter Werkudoro.

Sementara tokoh seperti Cokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo, lebih pas dengan karakter Arjuna–– berani dan pandai diplomasi. Sedangkan tokoh seperti almarhum Sudjatmoko, mantan rektor Universitas PBB, yang dikenal sebagai intelektual yang religius dengan pendalaman filsafat yang amat tinggi, lebih pas dengan karakter Puntodewo. Dengan demikian,karakter orang Jawa itu sangat beragam, tergantung dari “bawaan” simbol pewayangannya.

Karakter- karakter Pendawa Lima itu akan muncul pada situasi-situasi kritis yang amat membutuhkan “figur” untuk memecahkannya. Bung Karno, misalnya, muncul pada saat yang tepat ketika Indonesia membutuhkan seorang orator yang mampu mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah. Meski gambaran karakter-karakter Pendawa Lima itu bisa dipakai untuk memahami orang Jawa,tapi secara keseluruhan sikap dan tutur kata orang Jawa sangat lembut, akomodatif, dan mudah bersahabat dengan siapa pun.

Meski demikian, orang non-Jawa perlu hati-hati dalam menyikapi dan memandang orang Jawa. Jangan sekali-kali orang Jawa diremehkan atau dikecewakan. Kenapa? Karena orang Jawa punya filosofi hidup tiga nga (huruf terakhir alfabet Jawa).Yaitu ngalah,ngalih,dan ngamuk. Dalam budaya Jawa terkenal filsafat, ngalah untuk menang. Orang Jawa memang suka mengalah untuk tujuan jangka panjang yang menguntungkan. Ini adalah sisi lain dari karakter Puntadewa.

Tapi jika lawannya masih keras, orang Jawa akan ngalih – “meminggirkan” dirinya untuk mencari strategi lain untuk menang.Meminggirkan diri ini tidak berarti lari, tapi mencari jalan dialog sambil menyusun strategi. Ini adalah karakter lain dari Arjuna.Tapi jika terus didesak dan diinjak terus-menerus, orang Jawa akan ngamuk.Ini adalah karakter lain dari Werkudoro.

Jadi Teroris

Seperti kita ketahui,Abu Dujana,Abu Irsyad,Amrozi,dan teman-temannya adalah alumni Afghanistan. Sebagai orang Jawa yang Muslim, mereka telah mengalami “penggemblengan” – baik fisik, psikis, dan ideologis untuk melakukan perang dengan “orang-orang kafir”. Bagi mereka––para mujahid Afghanistan–– penjajah Rusia di Afghanistan adalah orang kafir yang harus diperangi.

Dengan pertolongan Allah––seperti dikemukakan Imam Samudera––para mujahidin Afghanistan bisa memenangkan perang melawan Rusia. Setelah penjajahan Rusia lenyap, datanglah penjajah Amerika. Penjajah yang terakhir ini ternyata sulit dikalahkan. Amerika sangat kuat dan punya “outlet-outlet ekonomi dan budaya”di mana-mana,termasuk Indonesia. Hotel JW Marriot dipandang sebagai “outlet ekonomi” AS di Jakarta.

Cafe dan diskotek di Bali adalah “outlet budaya”AS.Kedua-duanya harus dihancurkan. Karena itu, ketika Amrozi dan kawan-kawan meledakkan bom di hotel JW Marriot Jakarta dan cafe di Kuta Bali, dalam keyakinannya, mereka tengah menghancurkan kekuatan Amerika. Kenapa mereka ngamuk terhadap AS? Para teroris tersebut sudah merasa tertekan, terdesak, dan tertindas oleh Amerika. Dan sebagai orang Jawa,mereka sudah tak punya pilihan ngalah dan ngalih terhadap AS.

Satu-satunya pilihan, mereka harus “ngamuk” – alias perang habis-habisan melawan AS. Itulah sebabnya pengebom bunuh diri (suicide bombing) – seperti terlihat dalam CD mereka – dijuluki Noordin M Top sebagai syuhada atau pahlawan. Sayang sekali, pandangan ideologi mereka––para alumni Afghanistan yang kecewa terhadap AS tersebut––bersifat sempit dan radikal. Mereka tak peduli, Indonesia bukanlah daarul harb atau negeri yang sedang berperang melawan AS.

Mereka tak peduli, peperangannya melawan AS di Indonesia telah menewaskan ratusan orang tak bersalah yang mayoritas juga beragama Islam.Mereka berpandangan bahwa Islam itu harus tegak dengan label Islam lengkap dengan segala atributnya. Padahal, Islam itu adalah esensi dan kata sifat. Ini artinya banyak akhlak orang-orang dan bangsabangsa lain, termasuk Amerika yang lebih islami ketimbang akhlak orang Afghanistan dan orang-orang yang mengaku dirinya Islam.

Walhasil, sebagai orang Jawa, seharusnya Abu Irsyad dan teman-temannya introspeksi diri.Sudah benarkah ideologi mereka? Ingat Nabi Muhammad––junjungan kita umat Islam––pernah bekerja sama dengan orang Kristen dan Yahudi dalam berbagai kegiatan bisnisnya. Di Madinah, Nabi Muhammad pun mampu menata kehidupan masyarakat yang plural,terdiri atas berbagai macam suku dan agama. Itulah Islam! (sindo)

M Bambang Pranowo

Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta

No comments:

A r s i p