Tuesday, June 19, 2007

Koalisi Tanpa Pintu

Arief Mudatsir Mandan

Sengketa hadir tidaknya Presiden dalam Paripurna DPR terkait interpelasi Dewan, ditentukan dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan Presiden.

Rapat Bamus yang digelar Kamis (14/6) sepakat menunggu hasil pertemuan itu, baru kemudian menentukan jadwal paripurna untuk mendengarkan keterangan Presiden (Kompas, 15/6).

Selasa, Paripurna DPR meloloskan usulan 280 anggota yang mengajukan hak interpelasi terhadap pemerintah yang telah memberi persetujuan atas Resolusi DK PBB No 1747 terkait nuklir Iran dan meminta Presiden hadir memberi keterangan.

Fraksi Partai Demokrat yang ditemani Fraksi Partai Damai Sejahtera "dikeroyok" tujuh fraksi lain (F-PG, F-PDIP, F-PPP, F-PBD, F-PKB, F-PAN, dan F-PKS) yang menyatakan menerima. Sedangkan F-PBR memilih abstain. Tetapi, Selasa (5/6), paripurna gagal menghadirkan Presiden yang mengutus beberapa menteri dan ditolak sidang.

Sepanjang pemerintahan SBY-JK, DPR beberapa kali berupaya menggelar interpelasi dan hak angket. Mulai dari kasus pengangkatan Panglima TNI, busung lapar, teleconference, impor beras, hingga MOU Pemerintah RI dan GAM, semuanya berakhir hampa, kandas di tengah jalan.

Karena sering gagal, awam menganggap, semua upaya itu pada hakikatnya hanya trik politik, yang ujungnya bisa ditebak. Interpelasi memang bukan berarti "kiamat" bagi karier kepresidenan SBY, tetapi publik politik Indonesia telanjur dihantui pengalaman beberapa tahun silam ketika Presiden Gus Dur dijatuhkan oleh parlemen melalui mekanisme interpelasi dan hak angket.

Dalam kasus ini, yang menarik dianalisis adalah sejauh mana soliditas koalisi partai pendukung pemerintah, mengingat penyokong utama interpelasi fraksi pendukung SBY-JK. Artikel ini sedikit menyoal bagaimana koalisi itu dibangun dan implikasi politiknya.

Imajinasi politik

Meski dalam dunia politik dikenal pemahaman "tidak ada yang tidak mungkin", tetap saja perkembangan ini menarik dicermati, yaitu apakah bangunan koalisi sekarang ini riil atau hanya imajinasi politik semata.

Publik memahami, sejak awal pencalonannya sebagai capres- cawapres, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan kabinet, SBY-JK didukung oleh suatu koalisi yang terdiri atas Partai Demokrat, PBB, dan PKS (belakangan menyusul PAN, PPP, dan Golkar). Solidnya koalisi saat itu merembet ke parlemen yang ditunjukkan oleh soliditas "koalisi kerakyatan" saat berhadapan dengan "koalisi kebangsaan" dalam perebutan komposisi pimpinan Dewan dan pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan di awal periode 2004-2009.

Gagalnya berbagai upaya pengajuan interpelasi selama ini berangkali bisa disebut sebagai barometer bagi tegaknya koalisi kerakyatan. Lalu, ketika Rapat Paripurna DPR kali ini meloloskan interpelasi, apa bisa dikatakan sebagai pertanda berakhirnya koalisi? Pertanyaan ini semakin terasa maknanya karena interpelasi lolos hanya beberapa hari setelah terjadi perombakan kabinet yang sedikit banyak telah mengganggu soliditas partai-partai pendukung pemerintah. Misalnya, pasca- pencopotan Yusril Ihza Mahendra sebagai Mensesneg, PBB mereposisi keberadaannya dalam koalisi; PPP juga meradang dan sempat mengancam pemerintahan SBY-JK saat dua menterinya, Sugiharto dan Saifullah Yusuf, dicopot; dan PKB yang belakangan dekat dengan SBY tidak mengakui Lukman Edy sebagai menteri dari PKB.

Menurut logika awam, masuk akal jika seandainya PBB dan PPP keluar dari koalisi karena jabatan menteri sebagai pembantu presiden adalah sebuah kepercayaan dan jika jabatan itu diambil berarti kepercayaan telah diambil kembali.

Namun, politik selalu memiliki logikanya sendiri. Logika politik kita, "sebuah koalisi bukanlah harga mati" bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Kepentingan tetap menjadi pertimbangan utama.

Jika koalisi tidak lagi dianggap memenuhi kepentingan, satu pihak dengan leluasa bisa mengingkarinya, di mana pun dan kapan pun dia mau. Apalagi tradisi politik kita belum terbiasa dengan deal "hitam di atas putih" sebagai kontrak politik yang mengikat.

Begitu terbuka, segala kemungkinan politik bisa terjadi. Koalisi itu ibarat rumah, tetapi rumah itu tanpa pintu. Maka, jadilah sebuah koalisi "tanpa pintu". Dalam kondisi seperti itu, siapa yang ada di luar dan siapa yang ada di dalam, menjadi tidak jelas batasnya. Suka-suka saja. Tidak ada aturan yang saling mengikat satu sama lain. Misalnya, kapan koalisi bersepakat dan kapan boleh tidak bersepakat terhadap kebijakan pemerintah yang didukungnya, apa konsekuensinya, dan bagaimana taktik strateginya?

Kapan seorang menteri dapat di-reshuffle, bagaimana mekanismenya, dan siapa yang harus mengganti? Dalam kondisi tanpa aturan main seperti itu, wajar saja jika anggota koalisi merasa bebas melakukan apa saja.

Tidak ada sistem

Dalam tradisi Hobbesian, manusia dilihat sebagai sosok yang "jahat", yang bisa bertindak semaunya di luar kesepakatan bersama. Karena itu, ia menganjurkan agar sebuah masyarakat dipimpin oleh orang kuat sehingga bisa memaksa individu taat pada asas bersama.

Namun, dalam tradisi yang lebih modern, pandangan Thomas Hobbes ini sudah ditinggalkan, diganti pandangan yang lebih manusiawi. Salah satu bentuk yang paling masyhur adalah prinsip demokrasi. Sayang, demokrasi sering tidak sampai mengurusi soal deal-deal politik dalam koalisi.

Secara prinsip, demokrasi sebenarnya bisa dijadikan patokan dalam membangun suatu koalisi. Dalam koalisi ada dua hal yang saling beriringan, yang satu sistem, lainnya adalah norma (fatsun). Sistem mencakup aturan hukum yuridis formal, sementara norma bersifat menjiwai bagi sistem itu.

Lolosnya interpelasi kali ini, dan perombakan kabinet yang lalu, tidak saja memberi sinyal tentang goyahnya koalisi yang selama ini mendukung SBY-JK, tetapi secara substansial ia juga mengingatkan kepada kita bahwa sistem politik negeri ini berdiri di atas landasan yang rapuh.

Koalisi yang dibangun SBY-JK juga rapuh karena dibangun di atas fondasi yang kosong, tanpa "beton" politik. Tentu saja hasilnya tidak memberi pembelajaran politik yang baik bagi rakyat, karena tidak ada prinsip, tidak ada fatsun. Ini berarti, tidak ada sistem yang dibangun. Yang ada hanya pragmatisme politik.

Dalam sisa dua tahun lebih sedikit pemerintahannya, apakah SBY-JK akan membangun sebuah koalisi yang lebih kokoh, yang lebih bermartabat, yang memberi pembelajaran bagi rakyat?

Kita tunggu jawabannya.

H Arief Mudatsir Mandan Anggota F-PPP DPR

No comments:

A r s i p