Budaya Politik Ekskul | T |
Oleh Adhie M Massardi* FFI 2006 tampaknya harus dicatat sebagai peristiswa kebudayaan terpenting pasca-reformasi, khususnya di bidang perfilman. Sebab dari keriaan film nasional yang dihidupkan kembali setelah mati suri bertahun-tahun, terutama berkat perhatian serius Menbudpar Jero Wacik, muncul Ekskul sebagai film pertama yang membawa aura reformasi dalam dunia kesenian sejak gerakan reformasi digelindingkan mahasiswa pada 1998. Film garapan sutradara Nayato Fio Nuala ini film paling cerdas dan lugas memotret situasi sosial politik nasional setelah era Sjuman Djaya. Karena itu, dibandingkan dengan film-film lain produk generasi baru perfilman nasional, baik tema maupun pendekatan sinematografinya, Ekskul yang kemudian menjadi Film Terbaik FFI 2006 ini, berani dan fenomenal. Lewat tokoh Joshua (Ramon Y Tungka), seorang siswa SMU yang kerap mengalami pengkhianatan, diskriminasi, intimidasi dan teror dalam seluruh bagian hidupnya, tidak hanya di sekolah, tapi juga di tengah keluarga, sutradara ingin mengungkapkan realitas sosial politik di negeri ini yang secara struktural sebenarnya memang anti-demokrasi. Apa yang dirasakan Joshua fotokopi dengan yang pernah dirasakan dan dialami (alm) Munir, Inul Daratista, warga Ahmadiyah, warga Aceh, atau kelompok-kelompok kecil lain yang (dianggap) berbeda dengan mainstream-nya. Maka tak berlebihan bila Nayato – yang kebetulan WNI keturunan Cina yang sangat fasih bicara apa arti hidup di tengah “tekanan publik” – disebut sebagai sineas paling tajam dan cerdas dalam memotret situasi sosial politik nasional. Pernyataan “Sekarang kok gampang ya ngomong sama Mami dan Papi,” dari Joshua pada orang tuanya via Walkie Talkie dari ruang guru tempat ia menyandera preman sekolah yang selalu menerornya, dengan pistol dalam genggaman, mengingatkan saya pada percakapan perwakilan GAM dengan Pemerintah RI di Helsinski. Dan memang, karya seni yang baik itu adalah yang substansinya bisa diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan. Film Gie karya sutradara Riri Riza yang diproduseri Mira Lesmana, Film Terbaik FFI 2005, semula saya harapkan menjadi film paling membawa semangat reformasi. Karena kehidupan Soe Hok Gie sendiri memang menyimpan dinamika kehidupan sosial politik yang canggih. Hal yang tidak mungkin diangkat ke layar film di masa lalu. Di kalangan aktivis reformasi (1998) sosok Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa (UI) tahun 60-an, adalah idola mereka setelah Tan Malaka. Dan menjadi kebanggaan pemuda dan mahasiswa WNI keturunan Cina yang selama ini distigmakan kurang nasionalis. Oleh sebab itu, Soe Hok Gie menjadi punya arti penting dalam sejarah kehidupan keetnisan kita karena ia WNI keturunan Cina. Nah, dalam Gie, Mira Lesmana dan Riri Riza tampaknya mencoba mengaburkan fakta sejarah yang bisa menguntungkan etnis keturunan Cina ini. Sebab dengan mimilih Nicholas Saputra yang wajahnya jauh dari kesan Cina, Mira dan Riri sedang “mempribumikan” sosok Soe Hok Gie. Menghapus jejak perjuangan etnis keturunan Cina dalam sejarah politik kontemporer bangsa Indonesia. Karena itu, dibandingkan dengan Ekskul, film Gie tampak menjadi anti-reformasi – untuk tidak dibilang rasialis. Semula saya menduga dimainkannya Gie oleh Nicholas Saputra semata hanya salah casting. Untuk kepentingan komersial. Tapi mustahil sineas sekaliber Mira Lesmana dan Riri Riza yang sangat dekat dengan Garin Nugroho tidak paham soal ini, soal pemuliaan, penghormatan kepada sosok atau cerita yang akan diangkatnya ke layar film. Pendekatan kepada “sosok” yang dijadikan sumber cerita untuk karya sinematografi hukumnya wajib. Tanpa itu, sebuah karya sinematografi kehilangan ruhnya, kehilangan substansinya. Bayangkan bila tokoh Dith Pran dalam The Killing Fields, film pembantaian di Kamboja diperankan Al Pacino, atau Robert deNiro memainkan tokoh Gandhi. Selain tidak akan pernah terjadi, film menjadi tawar, kehilangan nyawa, tak bernilai. Itulah yang terjadi pada Gie. Akan tetapi yang menarik, Ekskul menjadi “fenomena kebudayaan” bukan hanya karena mengangkat tema anti-pluralisme dalam masyarakat kita, tapi filmnya sendiri berhasil membuktikan kepada kita bahwa tema film itu sangat aktual. Sebab film Ekskul yang digarap anak muda WNI keturunan Cina ini, setelah menang di FFI 2006, yang mendapat reaksi keras dari kelompok sineas yang dimotori Mira Lesmana dan Riri Riza, yang selama ini menguasai peta (baru) perfilman nasional, membuktikan betapa tema Ekskul memang kontekstual, potret buram bangsa ini dalam memahami demokrasi, pluralisme dan perbedaan. Jargon kelompok garis keras “yang bukan kita berarti musuh” tampaknya juga sedang berkibar di dunia perfilman kita. Karena itu, Masyarakat Perfilman Indonesia tinggal tunggu waktu berubah menjadi “Front Perfilman Indonesia” (FPI), yang memonopoli kebenaran dalam perfilman nasional. Makanya, para penggiat demokrasi harus melihat Ekskul sebagai tonggak budaya politik dalam dunia kesenian kita. Dan setiap embrio anti-pluralisme, anti-demokrasi, harus diwaspadai. Seni yang mencerminkan situasi sosial politik itu bagus. Tapi politicking dalam berkesenian, harus dicegah. *Penulis adalah pengamat perfilman nasional. (Media Indonesia, Minggu 14/1/2007) |
Wednesday, June 20, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A r s i p
-
▼
2007
(670)
-
▼
June
(125)
- Sosok dan PemikiranKaum Demokrat yang Dinantikan....
- Insiden RMSAtasi Separatisme,Pendekatan Kesejahte...
- RUU Bidang PolitikPembahasan di DPR Jangan Bertel...
- Polisi dan Teroris Sarlito Wirawan Sarwono Beb...
- POLITIKA Teroris Bukan Pahlawan! BUDIARTO SHAMBAZ...
- Mencari Sang Pendekar Antikorupsi Vincentia Hanni...
- Mungkinkah Kedaulatan Dilepas? F Djoko Poerwoko ...
- Memimpin dengan Menyelamatkan Yudi Latif Namany...
- TAJUK RENCANA Menggugat Reformasi Tepat waktu a...
- Politik Uang Dua judul berita di dua surat kabar ...
- Politik Itu Tidak Pernah Independen Makmur Kelia...
- Golkar dan PDI-PMemaknai Silaturahmi Dua Partai d...
- Rakyat Semakin Bingung Bagi PDI-P, Koalisi dengan...
- Terorisme, Demokrasi, dan Kosmopolitanisme Eko W...
- Politik Tanpa Mata Donny Gahral Adian Politik se...
- TAJUK RENCANAkOMPAS Demokrasi dan Kekerasan Hamp...
- Presiden Lemahkarena Kebanyakan Partai Politik Jak...
- Tantangan bagi Proses Reformasi di Indonesia RI M...
- Mengkritisi Amendemen UUD 1945 ...
- Relasi Agama dan Negara yang Terus Digugat M Zai...
- Pertemuan Medan Picu Friksi Intern Surya Paloh Di...
- Tragedi Politik Jangan Dilupakan Jakarta, Kompas ...
- POLITIKA Menunggu Demokrasi BUDIARTO SHAMBAZY Se...
- ANALISIS POLITIK Berharap dari Silaturahmi Golkar-...
- Belitan dana pemilu oleh : Christovita WilotoCEO W...
- Politik Uang di Balik Panggung Pilkada SULTANI ...
- Ideologi BangsaPancasila Harus Dijauhkan dari Kep...
- Reideologisasi Politik BUDIARTO DANUJAYAkompas 2...
- EKSPEKTASI Nasionalisme...! Teramat sering kita m...
- PDI-P dan Golkar Berkoalisi akibat Sektarianisme ...
- Mematahkan TerorGubernur Irwandi Yusuf menegaskan ...
- Mempertegas Identitas PAN ...
- Orang Jawa Jadi Teroris ...
- Penggalangan Dana Partai di Amerika Serikat Bagi ...
- Dana DKP & Kenaifan Demokrasi WASPADA Online ...
- HANCUR NYA KEADABAN POLITIKHarian Surya ...
- Nasir Abas:Ex Teroris Jamaah Islam'iyahRiwayat ...
- Nasir Abas (Singapura 6 Mei 1969) Ditangkap ...
- Peta Partai Politik Maret 2007 Dalam survei terak...
- Survei Politik : Partai Demokrat dan Golkar Diperk...
- Survei Politik :Partai Demokrat dan Golkar Diperki...
- Jaringan Basis Massa Dibangun Lebih Serius Jakar...
- Syariat IslamRidwan Saidi Luncurkan Buku Jakarta...
- Sosok dan PemikiranKita Butuh Pemimpin yang Progr...
- Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks Ignas Kled...
- Koalisi Kebangsaan Jilid II? Syamsuddin Haris K...
- POLITIKASuka Enggak "Ngeh" BUDIARTO SHAMBAZYe-ma...
- Pertemuan PDI-P dan GolkarDitanggapi Beragam Jaka...
- Memahami Piagam Jakarta Ol...
- Menghentikan Aksi Terorisme Oleh Hadziq Jauhar...
- Kita dan Singapura ...
- Jangan Ingkari Pia...
- Menjaga Spirit Piagam Jakarta ...
- Tanah dan Tentara Kita Suhardi Suryadi Peristiw...
- Napas Segar Demokrasi Indra J Piliang Para peng...
- Tajuk RencanaKOMPAS Partai Golkar dan PDI-P? Sen...
- Kalla Bantah Golkar Tinggalkan Presiden PDI-P dan ...
- ANALISIS, Wajah Baru, Konfigurasi Lama ...
- Koalisi Golkar-PDIP Diragukan ...
- Analisis Survei Nasional ( Februari 2007)Kembaliny...
- Arsitek Survei Opini Publik Indonesia Oleh Asro...
- Survei dan Demokrasi Oleh Zezen Zaenal Muttaqie...
- Perlukah kita tentara?Gunawan Mohammad Pertanyaan ...
- TAJUK, Sinyal Koalisi Golkar-PDIP ...
- Mewaspadai Revisi UU Pers ...
- Setoran ke Parpol Perlu Dilegalkan Korupsi Kepala ...
- Bila Partai Tanpa Politisi M Alfan Alfian Dalam...
- CPCP: Calon Perseorangan dan Cinta Parpol Effend...
- Budaya Politik Ekskul T Oleh Adhie M Mas...
- Kutipan Tony Blair (mantan Perdana Menteri Inggris...
- Hasil Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI):"Mempe...
- Daerah Pemilihan Mulai Diperdebatkan Pemilu 2009 ...
- Penggalangan DanaPartai di Amerika Serikat Bagi ...
- Demokrasi Substansial, Berkaca dari Jerman Ole...
- POLITIKA Bredel Itu "Jadul"! Budiarto Shambazy Ha...
- kebangsaanMenanti Lagi Kiprah Kaum Muda Toto Sur...
- Pilkada JakartaInvestigasi Politik "Dagang Sapi" ...
- Tim TastipikorKejutan di Akhir Perjalanan Tim Ko...
- Tiga Era Deparpolisasi Ikrar Nusa Bhakti Indones...
- Lagi, Demokrasi dan Kemiskinan Tata Mustasya Ad...
- Keindonesiaan Mononutu Ol...
- TNI Angkatan DaratTantangan Regenerasi pada Pengu...
- Koalisi Tanpa Pintu Arief Mudatsir Mandan Sengk...
- Anomali terhadap Terorisme Tjipta Lesmana Masya...
- POLITIKA Bredel Itu "Jadul"! Budiarto Shambazy H...
- ANALISIS POLITIK Menyerang Tanpa Pasukan Sukardi ...
- ANALISIS POLITIK Menyerang Tanpa Pasukan Sukardi ...
- Meredupnya Pamor Sang Pembela HAM Suwardiman Ter...
- Partai Politik, "For Sale" M Fadjroel Rachman B...
- Demokrasi: Sebuah Malapetaka? ...
- Demokratisasi diIndonesia dan Thailand K...
- Ideologi di Tengah Arus Global Oleh Septina Nafiy...
- Jangan Sampai Rakyat Kecewa... Oleh Khairina Le...
- Martabat DPR Rusak Pecahnya Pimpinan Memalukan Ja...
- Proporsional Terbuka Murni Tak Jamin Kualitas Parl...
- Dana PolitikDari Ongkos ke Kompensasi M Zaid wa...
- Menyoal Fenomena Golput Bawono Kumoro Fenomena ...
- Membaca DPR secara Terbalik Boni Hargens Selas...
- Parpol Serpihan Vs Kebebasan Berserikat Satya Ar...
- Kapan UUD 1945 Sempurna? Yohanes Usfunan Wacana...
-
▼
June
(125)
No comments:
Post a Comment