Monday, June 25, 2007

Reideologisasi Politik

BUDIARTO DANUJAYA

kompas 25/06/07


Pergunjingan perkara legitimasi politik calon independen yang merebak belakangan ini kehilangan momentum emas pembelajaran politiknya bagi publik karena gagal mengenali anasir konstitutif dari politik sebagai sebentuk upaya sadar mengelola kehidupan koeksistensial manusia.

Politik yang sehat wajib menjamin ranah publik yang terbuka justru karena menyadari anasir-anasir artikulatif yang bersaing memperebutkan aksentuasi di dalamnya bersifat tak terbatas. Baik kuantitas maupun kualitas pengucapannya takkan pernah berhenti berkembang sebagai konsekuensi dinamika perbedaan dan keragaman (kepentingan) di dalamnya.

Pada tataran inilah tuntutan pengabsahan calon independen seyogianya dikenali. Sebuah peringatan bahwa dalam realitas politik demokratis yang sungguh-sungguh ingin mengubah sandaran legitimasi kekuasaannya pada kesepakatan publik (public consent) sehingga berkewajiban "memaksimalkan" partisipasi segenap warga, keterbukaan terhadap berbagai kemungkinan perlu dilestarikan menilik pengakuan atas perbedaan dan keragaman selalu mengandaikan jauh lebih banyak artikulasi kepentingan yang tidak tertampung ketimbang sebaliknya.

Dalam pengertian inilah kita berbicara mengenai fungsi mediasi negara sebagai pengelola perbedaan, keragaman, dan bahkan konflik dalam memaksimalkan penampungan imajineri sosial mengenai perwujudan negara-bangsa yang ideal. Maka, tak mengherankan kalau pada sebuah negara demokrasi lanjut—setidaknya dalam arti usia—seperti AS sekalipun, masih muncul calon independen, seperti Ross Perot. Tak pelak lagi, keterceceran kepentingan juga masih mencolok di sana.

Politik asongan

Alih-alih, pro-kontra pengabsahan calon independen yang dipicu otak-atik politik taktis menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta belakangan ini cenderung lebih diwarnai penakaran kepantasan politik atas perwujudan kekecewaan terhadap kelakuan partai politik (parpol). Jadi, pembicaraan atas sifat ketaktertampungan politikalnya bukan berangkat dari pemahaman ketaktertampungan konstitutif yang akan senantiasa hadir dan memperbarui diri, melainkan sekadar kekecewaan politik sesaat.

Sungguh janggal generalisasi peremehan fenomena ini sebagai sekadar perwujudan kemalasan politisi kesiangan yang lebih suka main duit untuk beli pengaruh dan tak mau susah payah membangun karier kepemimpinannya lewat parpol. Susah payah macam apa yang dimaksud kalau kenyataannya kebanyakan parpol justru ikut dalam sebuah gerbong besar pencalonan bukan kader partainya sendiri.

Bahkan, kita menyaksikan banyak kegagalan pencalonan kader kuat sebuah partai yang sanggup mencalonkan sendiri bahkan berpeluang memenangi karena besaran penguasaan konstituen partainya, justru akibat partainya sibuk mendagangkan suaranya kepada calon parpol lain. Kecenderungan ini tampak lebih gamblang lagi pada periode transisi sebelumnya ketika pilkada masih bersandar pada mayoritas perwakilan.

Jadi, fenomena ini sebaliknya justru lebih baik dikenali sebagai luapan alternatif mengatasi kesenantiasaan ketaktertampungan politikal yang bersifat konstitutif dalam politik; betapapun salah satu penyebabnya boleh jadi bisa saja politik asongan parpol. Sementara musabab politik dagang perparpolan kita jelas mempunyai sejarah lebih jauh, yakni pada deideologisasi parpol sejak masa Orde Baru dengan massa mengambangnya, atau bahkan Orde Lama dengan demokrasi terpimpinnya.

Politik tanpa ideologi

Dinamika politik kepartaian bukanlah ditentukan banyaknya jumlah partai melainkan polaritas ideologisnya. Semakin ragam kutub-kutub ideologisnya dan semakin jauh jarak ideologis antarkutub-kutubnya, akan semakin riuh dinamika politiknya.

Tentu saja polaritas majemuk dan tajam akan menghadirkan pluralisme ekstrem yang mempunyai kerepotan tersendiri, seperti kenangan pahit sekaligus manis era demokrasi parlementer sebelum diberangus Bung Karno dengan demokrasi terpimpinnya. Betapapun, kita juga telah merasakan tidak produktif dan bahkan lebih berbahayanya perparpolan yang sunyi senyap pada masa totaliterisme Pak Harto dengan Golkarnya. Ketika itu, segenap kutub ideologis dilindas habis sampai diguraukan hanya menyisakan satu kutub, yakni... beruang kutub. Yang dimaksud, tentu bukan yang dipelihara di Taman Safari, walau di sana juga kebetulan hanya seekor dan kesepian.

Pasti kenangan pahit ini yang membuat Orde Reformasi membuka pintu pembatasan kepartaian. Kalau yang keguguran dan mati suri ikut dihitung, orde ini jelas telah menambah kerepotan luar biasa bagi sejarawan kepartaian dengan ratusan nama baru. Betapapun, psikososial totaliterisme era massa mengambang, ketika akar ideologis kepartaian dipangkas habis sampai ke serabutnya, rupanya telanjur berkerak. Karat paradigma kehadiran parpol sebagai sekadar formalitas supaya disebut demokratis dan bukan pertanda keterwakilan ideologis konstituennya, masih lekat mengerak.

Bukan hanya partai-partai lama tetap mendominasi dengan ketidakjelasan ideologisnya, namun juga kebiasaan lama tak menyangkutpautkan parpol dengan tawaran ideologis tertentu untuk ikut mewarnai sosok negara-bangsa ini. Dinamika politik kepartaian macet karena salah memahami Pancasila dari sebuah "ideologi" bangsa, yakni sebuah konsensus yang mencakup (overlaping consensus) segenap keragaman doktrin komprehensif yang hidup dalam ranah publik bernama Indonesia, menjadi satu-satunya ideologi bagi segenap parpol.

Lebih dari ketaktertampungan politikal, fenomena ini juga jelas menggejalakan ketakterwakilan konstituen pada tataran praksis politik. Fenomena ini tampak jelas lewat paradoks politik perparpolan kita belakangan ini, yakni di satu sisi memperlihatkan terus bertumbuhnya parpol baru sementara di sisi lain ketidakpuasan terhadap parpol justru mewacana dan masyarakat luas bahkan cenderung lebih memercayakan aspirasi politiknya lewat jalur nonparpol, baik media massa, LSM, aksi protes dan demonstrasi, maupun pengadilan.

Kebutuhan reideologisasi politik

Trauma historis akan ideologi tertentu membuat kita menutup mata betapa banyak alternatif ideologis lain yang boleh jadi bisa ikut memperkaya khazanah perjuangan nilai kita menuju kesejahteraan tanpa harus mengabaikan kemajemukan kita. Kita melupakan betapa ideologi pada dasarnya merupakan perwujudan perjuangan nilai untuk ikut memberi warna terhadap bangunan imajiner sebuah bangsa; jadi, konsekuensi artikulatif perbedaan dan keragaman (kepentingan) di dalamnya.

Tak mengherankan kalau dalam iklim politik semacam ini hanya parpol pragmatis dan parpol kepentingan yang bermunculan dan bertahan hidup. Ketika doktrin komprehensif tak ada atau tak memadai sebagai orientasi perjuangan nilai, tak mengherankan kalau strategi politik didegradasikan derajatnya menjadi sekadar taktik merebut dan berbagi kekuasaan, memperjuangkan kepentingan sempit golongan, dan bahkan mengeruk uang. Ketika politik bukanlah ajang perebutan aksentuasi mewarnai imajineri sosial mengejewantahkan negara-bangsa ideal, maka bertiwikramalah menjadi ajang pengkaplingan kabinet, pengukuhan politik identitas, dan penggemukan kocek belaka.

Tanpa ideologi yang sanggup memberi orientasi perjuangan nilai yang jelas lewat doktrin komprehensifnya, politik berkembang menjadi sekadar ajang bancakan kalangan oportunis yang tak tahu cara berpolitik lain selain membeli kekuasaan dan menjual kewenangan. Tudingan tak mau repot membangun karier kepemimpinan lewat partai dan lebih suka main duit membeli kekuasaan yang ditimpakan pada calon independen, sesungguhnya justru simptoma yang mudah dikenali pada calon jalur parpol. Seperti santer diberitakan belakangan ini, perdagangan kursi pencalonan tersebut bahkan sampai menjurus pada modus penipuan karena secara serentak dijual kepada sekian calon sehingga menimbulkan keributan berdarah yang memalukan.

Dalam konteks ini, persoalan kejumbuhan kepentingan ekonomi dan politik, atau lebih gamblangnya antara kepentingan saudagar dan politikus, yang belakangan ini kerap dipergunjingkan, tidaklah tepat didekati dengan pertanyaan mengapa seorang saudagar tidak boleh berpolitik seperti pernah dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Persoalannya, dalam iklim politik oportunistis semacam ini privilese ekonomis dengan mudah ditransfer menjadi privilese politis, demikian pula sebaliknya. Inilah yang harus lebih dipersoalkan dan dikoridori karena lalu menyangkut pelanggaran prinsip keadilan dan kepantasan politik.

Pada titik inilah kita berbicara pentingnya reideologisasi politik. Kehidupan politik yang sehat tak mungkin mewujud tanpa dinamika ideologis. Para pendiri bangsa ini telah jauh-jauh hari menempatkan bhinneka tunggal ika sebagai koridor ideologis bangsa ini; sayang, rekam jejak sejarah memperlihatkan kita belum terlalu menginsafi kandungan makna pluralitasnya.

BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Departemen Filsafat FIB-UI

No comments:

A r s i p