Tuesday, June 26, 2007

Mengkritisi Amendemen UUD 1945
Oleh T. SUBARSYAH, S.H., S.Sos., C.N.


UPAYA keras menggolkan perubahan (amendemen) kelima UUD 1945 yang digalang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR, sepertinya masih harus menahan napas, setelah komponen anggota MPR dari unsur DPR beramai-ramai menarik dukungannya.

Amendemen UUD 1945 itu bertujuan tidak lain untuk memperkuat DPD guna menjawab persoalan rakyat di daerah. Penguatan DPD sekaligus mengutuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena memberikan kesempatan setiap daerah untuk tumbuh dan berkembang secara dinamis melalaui perwakilannya di DPD.

Memahami adanya kehendak kuat dari rakyat terhadap amendemen UU 1945, dibuktikan antara lain dengan munculnya dukungan gubernur, karena upaya tersebut dirasa sangat penting dan merupakan masalah fundamental yang memiliki implikasi luas, mengingat aspeknya bisa menjadi diskursus dalam kehidupan politik di Indonesia. Oleh karena itu, seyogyanya prinsip bahwa amendemen ini benar-benar harus mencerminkan aspirasi dan kehendak rakyat serta semuanya perlu dijaga bersama. Dengan demikian, sedianya agar lebih memiliki daya harus ada peninjauan lebih komprehenship, di samping harus sudah ditelaah dengan melibatkan lembaga kajian dan pihak lain, sehingga arah amendemen yang dikehendaki rakyat berjalan dengan benar dan tepat sasaran.

Oleh karenanya, boleh jadi proses untuk melakukan amendemen UUD 1945 seperti yang diusulkan DPD, masih membutuhkan waktu panjang karena masih ada aturan teknis yang perlu dipenuhi. Untuk itu, pengusul amendemen selayaknya berkonsentrasi juga untuk lebih memerhatikan situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat. Masalahnya, mengenai perlu tidaknya UUD 45 diamendemen tetap harus dikembalikan dan mengacu pada empat parameter sebagai penuntun perubahan, yakni pertama, semakin melindungi seluruh warga negara Indonesia, kedua, menyejahterakan rakyat di semua aspek, ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat, Indonesia tetap menjadi bahagian perdamaian dunia.

Jika demikian keadaannya, betapa pentingnya amendemen UUD 1945 dan khusus untuk DPD bila juga mampu berpegang pada empat paremater tadi, maka sangat mungkin eksistensi DPD pastinya sangat dibutuhkan terutama untuk mampu menjaga keutuhan negara dengan cara memberikan kesempatan kepada setiap daerah tanpa disertai potensi keinginan untuk berbeda arah, ekstremnya memberontak justru karena DPD refresentatif mewakili daerah, maka DPD pantas di posisi terdepan untuk melakukan pendidikan politik secara terus menerus dan aktual kepada rakyat di daerah. Terutama untuk memajukan daerah-daerah agar lebih memiliki posisi tawar yang sebanding. Itulah sebabnya inisiatif yang dinamis dan berkembang saat ini di dalam pemikiran anggaran DPD atau berbagai tindakannya yang aktual-substatif adalah bukti berfungsinya DPD yang patut diapresiasi secara penuh harapan oleh segenap daerah.

Pada sisi lain ada yang secara holistic harus diwaspadai memang, yakni ketika mengemas wacana amendemen kelima UUD 1945 yaitu bahwa amendemen harus mampu masuk pada orbit politis-yuridis yang lebih luas dan mendasar. Artinya bahwa amendemen tidak terbatas untuk sekadar manambah kewenangan DPD, tetapi lebih dari itu harus pula merupakan artikulasi kebutuhan berbangsa dan bernegara untuk perbaikan fungsi legislasi.

Dengan mengusung ide yang lebih luas dan mendasar itu, maka secara otomatis dan menjadi kemestian bahwa kewenangan DPD tentunya harus diformat ulang, termasuk dalam hal hubungannya dengan DPR. Harus diakui secara obyektif bahwa beberapa bagian dalam UUD 1945 memang harus disempurnakan. Contohnya, dalam fungi legislasi menyangkut, check and balances tentunya tidak akan pernah jalan optimal bila mana hubungan DPD dan DPR tidak seimbang apalagi secara sengaja diabsorpsi kepentingan di luar konstitusi.

MPR sendiri, sebenarnya telah berusaha maksimal menuntaskan amendemen yang dilandasi dengan lima kesepakatan fraksi-fraksi, Pertama pembukaan dipertahankan, kedua mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketiga mempertahankan sistem presidensial, keempat amendemen sebagai adendum, dan kelima norma dalam penyelarasan dimasukkan dalam pasal.

Bertolak dari lima dasar kesepakatan itu, mudah dipahami bahwa yang diinginkan arahnya sudah sangat jelas yakni bukan untuk terjadinya konstitusi baru, di samping juga tentu tak diharapkan sejarah kembali berulang bahwa amendemen UUD 1945 mengalami kegagalan seperti yang pernah terjadi tahun 1955 yang lalu. Dari situlah, kemudian disetujui Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR RI/I/ 2002 yang berfungsi sebagai panglima pengawalnya.

Namun begitu, patut diwaspadai bersama tentang pernyataan politisi senior Partai Golongan Karya (Golkar), Pinantun Hutasoit, yang menyatakan bahwa amendemen UUD 45 yang dilakukan secara terus-menerus bukan tidak mungkin sasarannya untuk mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Konkretnya, soal hasil amendemen sejak dari dari amendemen pertama hingga amendemen keempat, sesungguhnya digulirkan dan bergulir atas dasar tuntutan reformasi yang berkaitan pemberesan sistem ketatanegaraan yang belum sempurna, nyatanya itu pun masih bisa mengundang ragam interpretasi di dalam pelaksanaannya. Contohnya, pelaksanaan hasil amendemen berkaitan dengan perbaikan sistem ketatanegaraan untuk melakukan pemisahan kekuatan/kekuasaan (eksekutif, yudikatif, legislatif), dengan adanya perimbangan kekuasaan (check and balances system), tentunya menuntut diikuti dengan perbaikan dan pembuatan undang-undang di tataran operasional hasil amendemen UUD 1945 (antara lain UU parpol, pemilu, otonomi daerah, dan Mahkamah Agung, kepresidenan di mana presiden akan dipilih secara langsung).

Demikian juga menyangkut prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia, ditengarai tidak bisa secara apriori mengambil oper teori pemisahan kekuasaan secara murni, Indonesia menganut sistem pendelegasian kekuasaan. Ia menggambarkan, kedaulatan rakyat itu didelegasikan ke berbagai lembaga negara, dalam hal ini MPR dengan sistem dua kamar (Bikameral), yakni DPR dan DPD, Mahkamah Agung (MA), termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), lalu BPK, dan presiden. Jadi, seperti itulah sistem pendelegasian secara konstitusi setelah amendemen UUD 1945.

Demikian halnya apakah dengan banyaknya amademen begitu yakin tidak membawa serta "goncangan" yang bisa saja bakal merugikan, ditambah lagi munculnya bencana yang silih berganti. Salah satu contoh yakni mengenenai ekonomi negara yaitu pasal 33 dari UUD 1945 Asli yang berbunyi :(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hasil revisi amendemen menyangkut pasal 33 tersebut sesuai ketetapan 10 Agustus 2002, adalah perekonomian nasional diselengagarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandiran, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Faktanya, regulasi tentang sistem ekonomi dimaksud sejauh ini tetap belum mampu membawa keluar dari berbagai persoalan yang begitu berat menimpa bangsa kita.

Fakta lainnya kemudian sebelum perubahan, UUD 1945 terdiri dari pembukaan, 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, dua pasal peralihan, dua aturan tambahan, dan penjelasan. Setelah diamendemen, UUD 1945 terdiri atas pembukaan, 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, tiga pasal aturan peralihan, dua pasal aturan tambahan, dan penjelasan. Namun, ternyata empat kali amendemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 1999, 2000, 2001, dan 2002, masih tetap dianggap belum cukup mampu mengakomodasi dinamika bangsa dan negara sekaligus sudah dicoba diurai kembangkan hingga 4 (empat) kali amendemen. Oleh karena itu, wajar jika kemudian muncul pandangan lain tentang perlunya kembali ke UUD 1945.

Bila memerhatikan dan mencermati perkembangan pembahasan amendemen UUD 1945 yang terjadi dalam proses di MPR, kita akan mendapatkan suguhan sajian yang bertendensi kontroversi dan fokus sebagai bagian dari enam visi reformasi. Padahal, proses amendemen merupakan hal yang sangat urgen dan mendasar, sebab konstitusi merupakan norma fundamental negara (staats fundamental norm) yang merupakan rujukan bagi semua aturan hukum dibawahnya dan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang di dalamnya mengandung keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang mengatur, membentuk dan memerintah dalam pemerintahan negara (Slamet Efendi Yusuf dan Umar Basalim, 2000).

Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., mengibaratkan konstitusi sebagai "syariat" atau "kepala negara simbolik" atau "kitab suci simbolik" dalam civil religion yang di dalamnya menjadi dasar bagi tegaknya negara hukum Indonesia, yang mengandung fungsi sebagai simbol pemersatu (symbol of unity), ungkapan dan keagungan kebangsaan (identity of nation), dan pusat upacara keagamaan (centre of ceremony) (Jimly Asshsiddiqie, 2002).

Bertolak dari pemahaman itu, secara umum bila dikaji lebih kritis dan mengacu pada maenstream amendemen konstitusi yang lazim di dunia sepertinya terdapat kekeliruan, bahkan mungkin bisa jadi kesesatan berpikir (fallacies) MPR. Sebab, amendemen yang dilakukan sejak awal menggunakan "pola berpikir terbalik", silakan cermati secara seksama tentang segenap prosesnya, misalnya terbukti bahwa amendemen yang bergulir tak mendasar orientasinya pada kepastian konsep negara dan pemerintahan apa yang akan diletakkan sebagai dasar bagi Indonesia Baru pascareformasi. Namun anehnya, tetap mencoba untuk membuat rambu-rambu tentang hal-hal apa saja yang boleh diamendemen, serta hal-hal apa saja yang tak boleh diutak-atik.

Akibatnya, memang belum terlihat ketika amendemen I dan II dilakukan, namun segera disadari pada ketika amendemen III dan kemudian IV akan diselesaikan. Muncul kesenjangan dan kerancuan antarpasal dan bab, di mana bila kerancuan itu tak segera dilakukan "sinkronisasi", bukan mustahil malah justru akan menghasilkan konsep pemerintahan yang rancu dan problematic permanen sifatnya hingga pada gilirannya sangat mungkin bakal menimbulkan peluang besar untuk terjadinya bentrokan atau konflik antarlembaga negara secara berkepanjangaan.

UUD hasil amendemen terakhir saja sedikitnya memerlukan lebih dari 30-an UU organik yang untuk bisa berjalannya. Hal ini tentu tak mudah diwujudkan dalam praktiknya. Maka akibatnya mudah diduga yakni memunculkan kekuatiran akan terjadi porakporandanya (destruction) tatanan ketatanegaraan Indonesia di masa mendatang, tentang ini bisa saja terbukti, sebab sinyalemen awal sepertinya telah tampak di depan mata. Dengan demikian, potensi untuk terjadinya krisis konstitusi dan problem ketatanegaraan ke depan, sangat serius menuntut untuk segera di atasi untuk mendaptkan solusinya. Boleh jadi malah akan menghancurkan tatanan bernegara secara sistemis yang berproses terus. Pada akhirnya, reformasi yang diharapkan dan dibanggakan oleh segenap harapan kehidupan yang lebih baik selama ini, nantinya malah hanya akan menghasilkan "deformasi" dan krisis ketatanegaraan yang lebih meluas, yang tertinggal pada akhirnya hanyalah catatan sejarah telah terbukti melangkah namun tak sempat berubah.***

Penulis, dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Mahasiswa Program Doktor Unisba, dan Ketua Umum "SIJALAK", tinggal di Bandung.

No comments:

A r s i p