Saturday, June 23, 2007

Koalisi Kebangsaan Jilid II?

Syamsuddin Haris

Ketika arah usul interpelasi DPR atas dukungan pemerintah terhadap Resolusi PBB tentang nuklir Iran dan interpelasi kasus lumpur panas Lapindo belum begitu jelas, Partai Golkar dan PDI Perjuangan merapatkan barisan di Medan. Para tokoh kedua partai besar itu tumpah ruah di ibu kota Sumatera Utara menggelar "silaturahmi nasional" dan merancang pola relasi baru. Ke mana arahnya, dan bagaimana kita menafsirkannya?

Setelah Koalisi Kebangsaan bubar pada akhir 2004, menyusul terpilihnya Wapres Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Golkar menggantikan Akbar Tandjung, PDI-P dan Golkar memilih jalan sendiri-sendiri. Gagal memenangkan Megawati sebagai presiden, PDI-P memproklamasikan diri sebagai partai oposisi, sedangkan Golkar yang merupakan mitra utama partai banteng dalam mengusung Megawati memilih sebagai partai pendukung pemerintah. Tak mengherankan jika di DPR dua partai ini saling berhadapan seperti tampak dalam usul interpelasi DPR tentang kenaikan harga BBM pertama, kenaikan harga BBM kedua, dan kasus kebijakan impor beras.

Oleh karena itu, wajar apabila "silaturahmi nasional" Golkar dan PDI-P menimbulkan pertanyaan besar bagi partai-partai menengah dan kecil yang selama ini "menggenapi" penyikapan DPR terhadap berbagai kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bagi Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono, silaturahmi Golkar dan PDI-P tentu dicermati secara sungguh-sungguh karena bisa membuyarkan kalkulasi politik menghadapi Pemilu 2009. Adapun bagi PPP, PKB, PAN, dan PKS, silaturahmi Medan jelas mengisyaratkan perlunya pembacaan kembali atas pilihan-pilihan politik mereka selama ini yang cenderung "mengekor" dua partai besar tersebut.

Tradisi konsensus

Terlepas dari berbagai spekulasi politik mengenai arah silaturahmi Medan, pendekatan antarpartai dalam rangka kerja sama dan koalisi sebenarnya merupakan peristiwa politik yang biasa-biasa saja dalam sistem demokrasi. Kerja sama dan koalisi antarpartai bahkan diperlukan, bukan hanya untuk menjembatani perbedaan tafsir para elite partai tentang masa depan bangsa yang lebih baik, melainkan juga dibutuhkan untuk membangun dan melembagakan tradisi konsensus di antara para pemimpin partai. Kerja sama dan koalisi antarpartai bahkan perlu didorong untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dan produktivitas demokrasi.

Hanya saja persoalannya bisa menjadi lain jika salah satu pihak yang bersilaturahmi memiliki agenda tersembunyi yang bersifat jangka pendek. Misalnya saja, silaturahmi lebih diperlukan oleh Golkar untuk meredam sikap kritis dan oposisi PDI-P terhadap pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Namun apakah benar demikian, tentu hanya tokoh-tokoh Golkar yang dapat menjawabnya. Sebaliknya, dengan pengalaman mereka selama ini, apakah para elite politik PDI-P mau terperangkap ke dalam skenario politik Golkar, saya kira tidak juga. Terlalu mahal ongkos politik yang harus dibayar PDI-P jika harus terperangkap lagi ke dalam skenario dan agenda tersembunyi demikian.

Oleh karena itu, perlu pula dicermati bahwa Golkar dewasa ini bukan lagi partai dengan tokoh dan kepemimpinan tunggal seperti era Orde Baru. Spektrum elite Golkar sangat beragam sehingga silaturahmi Medan tak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan kepentingan "pengamanan" pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Begitu pula jika pertemuan kedua partai di Medan itu dihubungkan dengan spekulasi pencalonan Megawati dan Kalla dalam Pemilu 2009 melalui Koalisi Kebangsaan jilid kedua, mungkin tidak seluruhnya tepat.

Koalisi ideologis?

Penafsiran yang lebih mungkin barangkali adalah bahwa kedua partai, Golkar dan PDI-P, tampaknya menyadari ada kesamaan platform politik dan ideologis di antara mereka. Kesamaan pandangan tentang format negara nasional dengan dasar Pancasila—bukan negara agama, negara kesatuan (baca: NKRI) yang bersifat final, dan kekhawatiran terhadap kelangsungan pluralitas bangsa, mungkin merupakan beberapa isu sentral yang mendekatkan kedua partai. Koalisi Golkar dan PDI-P (beserta partai-partai) dalam pilkada di Provinsi Banten dan DKI Jakarta barangkali bisa dirujuk sebagai cermin kekhawatiran itu.

Dalam bahasa yang lain, di DPR Golkar dan PDI-P bisa saja berbeda dalam menilai dan merespons suatu kebijakan pemerintah, tetapi selama kebijakan tersebut tidak mengancam prinsip-prinsip ideologis yang dianut, tentu sikap kompromistis akhirnya menjadi pilihan. Apabila silaturahmi nasional Golkar dan PDI-P lebih mendekati tafsir optimistik demikian, kedua partai tampaknya merasa saling diuntungkan dalam menjalin kerja sama dan koalisi.

Akan tetapi, pertanyaannya, apakah memang ada partai politik kita yang memiliki agenda tersembunyi "lain" di luar format Republik yang disepakati bangsa ini pada 1945 sehingga ada pembenaran bagi kekhawatiran Golkar dan PDI-P? Rasanya tidak juga jika kita melihat kecenderungan bahwa PKS yang sering dianggap sebagai partai Islam paling ideologis pun akhirnya cenderung sama saja dengan performance partai-partai lainnya.

Tidak relevan

Kerja sama dan koalisi tentu menjadi hak dan kebebasan setiap partai politik, begitu pula agenda dan fondasi kerja sama itu. Namun barangkali di luar urgensi ke- sepakatan mengenai isu sentral dan besar seperti disebut di atas, penting pula bagi partai-partai menjalin koalisi dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan nyata bangsa ini, seperti kemiskinan, pengangguran, kemerosotan pendidikan, kesehatan, serta nasib para guru, petani, dan nelayan yang kualitas hidupnya masih buruk. Mengapa energi silaturahmi antarpartai tidak diarahkan pada agenda-agenda yang lebih realistis yang dihadapi bangsa kita?

Karena itu, di balik optimisme terba- ngunnya kerja sama antarpartai, tetap saja tertinggal pertanyaan besar bagi mayoritas rakyat kita yang masih menderita dan didera kemiskinan. Bagi rakyat yang sepanjang hidupnya didera penderitaan, soal-soal besar seperti format negara dan seterusnya, bukan saja tidak relevan, melainkan juga tidak ada gunanya jika gagal mengentaskan mereka dari keterpurukan. Apalagi jika koalisi-koalisi tersebut pada akhirnya hanya menjadi tangga bagi para elite politik untuk mencapai puncak kekuasaan.

Yang lebih diperlukan bangsa kita dewasa ini bukanlah koalisi kepentingan dengan baju ideologis, melainkan suatu koalisi politik dengan komitmen perubahan yang jelas, terukur, dan benar-benar berorientasi pada pengentasan rakyat dari kemiskinan dan penderitaan mereka. Sudah terlalu banyak janji politik diucapkan, begitu lama rakyat kita menanti hadirnya perubahan.

Lalu, apakah cukup etis kesabaran rakyat kita hanya dijawab dengan koalisi pepesan kosong?

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

No comments:

A r s i p