Tuesday, June 19, 2007

Keindonesiaan Mononutu

Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Republika

Tentu tidak banyak anak muda sekarang yang kenal dengan nama ini: Arnold Mononutu, tokoh pergerakan nasional kelahiran Sulawesi Utara. Sekalipun beragama Kristen, ia tidak menjadi bagian dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Ia salah seorang tokoh PNI. Pernah menjabat menteri penerangan tahun 1950-an sebagai wakil partainya dalam kabinet. Persahabatannya dengan Hatta dan tokoh-tokoh PI (Perhimpunan Indonesia) lainnya direkat saat mereka belajar di Eropa ketika usia mereka masih 20 tahunan.

Selain menjabat menteri, Mononutu pernah pula jadi anggota Majelis Konstituante (1956-1959) mewakili PNI. Saya masih ingat betapa ia dengan gigih membela Pancasila sebagai dasar negara dalam Majelis Konstituante ditinjau dari sudut ajaran Kristen berhadapan dengan kelompok Islam yang mengusung Islam sebagai dasar negara. Bagi Mononutu, Pancasila adalah pancaran nilai-nilai Kristen, suatu bentuk filsafat yang logis, bersifat religius monistis. Bagi Mononutu, dalam konstitusi Indonesia tidak ada tempat bagi sekularisme. Dalam hal ini terdapat titik temu antara golongan Islam dan Kristen pada waktu itu. Sebagai penganut Kristen, Mononutu tentu menentang jika Islam dijadikan dasar negara.

Resonansi ini tidak akan mengungkit lagi perdebatan Konstituante itu, karena bagi yang berminat, dapat mengikuti beberapa karya sarjana lain, di samping tidak banyak relevansinya dengan suasana kita sekarang. Tetapi, ada satu kejadian dalam hidup Mononutu yang cukup bermakna untuk diingat kembali. Suatu peristiwa yang menunjukkan betapa tingginya kesetiaan tokoh Kristen ini terhadap konsep Indonesia sebagai bangsa yang masih berusia bayi ketika itu, sekalipun ia harus menderita akibatnya.

Berdasarkan kesaksian Hatta dalam Memoir-nya (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm 172) ada episode penting tentang Mononutu ini. Pemerintah penjajah Belanda sangat cemas melihat radius pengaruh PI yang semakin meluas dan militan, dipelopori mereka yang mendapat pendidikan Barat. Semakin ilmu Barat mereka dalami, semakin terbelalak mata mereka tentang betapa kejamnya sistem penjajahan. Sebab itu, dibangun sebuah tekad yang padu untuk merebut kemerdekaan bangsa pada saatnya dengan segala risikonya.

Mononutu adalah salah seorang yang sudah 'demam' dengan Indonesia merdeka pada 1920-an itu. Pemerintah kolonial semakin gelap mata dalam membayangkan kemungkinan hilangnya tanah jajahan yang telah memberikan kemakmuran kepadanya sekian lama. Segala cara perlu ditempuh untuk menghadangnya, yang hina sekalipun. Anggota PI tidak seberapa jumlahnya, tetapi mereka punya otak dan hati untuk tidak bisa dianggap enteng. Mereka sadar betul betapa sakitnya hidup sebagai manusia terjajah.

Apa yang terjadi? Tahun 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan ancaman agar mahasiswa yang belajar di Negeri Belanda tidak boleh dikirimi belanja jika orang tuanya adalah pegawai di Hindia Belanda. Mononutu terkena ancaman ini, karena ayahnya adalah seorang komis di Manado. Tidak ada pilihan bagi ayahnya kecuali mematuhi ancaman itu. Sekarang Mononutu dihadapkan kepada dua pilihan: mundur dari PI agar kiriman tidak putus atau tetap dalam PI dengan akibat tidak ada lagi kiriman dari orang tua.

Terlihat di sini ketegaran karakter Mononutu yang tak dapat ditawar. Biarlah kiriman putus asal tidak berpisah dengan PI yang sudah menjadi keyakinannya. Kepada ayahnya ia memberikan maaf karena terputusnya kiriman itu. Kata Hatta, dengan adanya kasus Mononutu ini, rasa solidaritas PI malah semakin kuat dan meningkat. Dengan cara beriur anggota PI lainnya menggotong bersama ongkos hidup Mononutu, sekalipun tidak sebanyak kiriman orang tuanya. Inilah sebuah warisan sejarah PI yang tentu ada manfaatnya untuk dijadikan teladan dalam membangun karakter seseorang untuk mencapai sebuah tujuan besar.

Dalam Resonansi yang lalu, saya mengutip ungkapan: 'Manakala karakter yang hilang, semuanya menjadi musnah'. Mononutu memilih PI karena kesetiaan dan keyakinannya kepada cita-cita mulia berupa kemerdekaan Tanah Air yang sudah lama dirampas.

No comments:

A r s i p