Saturday, June 30, 2007

Polisi dan Teroris

Sarlito Wirawan Sarwono

Beberapa waktu lalu, saya diminta Markas Besar Kepolisian RI atau Mabes Polri untuk mendampingi seorang remaja berumur 16 tahun, Muhammad Dlohir Khotib alias Isa Ansyori Muchairom atau yang biasa dipanggil Isa.

Isa diperiksa polisi sebagai saksi atas keterlibatan ayah kandungnya, Juyanto, alias Taufiq Masduki alias Taufiq Kondang alias Ruri alias Abu Khotib, dalam perkara tindak pidana terorisme.

Mengingat Isa masih di bawah umur, maka berdasarkan UU No 23/2004 tentang Perlindungan Anak, Isa harus didampingi pembela dan seorang ahli jiwa saat diperiksa polisi. Untuk itu saya dimintai bantuan oleh kepolisian.

Namun, ketika di Yogyakarta polisi sedang berusaha melindungi hak-hak Isa sebagai anak di bawah umur, di Jakarta anak seorang tersangka teroris lain, Abu Dujana (yang sudah tertangkap lebih dulu) dan ibunya, dibawa ke sana kemari untuk menghadap Komnas HAM Anak dan DPR. Anak yang bernama Yusuf Abdullah dan berumur 8,5 tahun itu pun harus bersaksi tentang pengalamannya melihat ayahnya tertembak saat hendak ditangkap.

Bahkan, seorang anak Agus Suryanto alias Munajib, tersangka teroris yang terbunuh saat penyergapan Maret lalu, juga dihadapkan ke DPR dan kamera infotainment untuk menjawab berbagai pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang harus di hafal lebih dulu.

Kedua anak itu jelas stres. Kepala Polri dan Panglima TNI pun stres saat dipanggil DPR, apalagi anak. Lalu, muncul tuduhan telah terjadi pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak. Tujuannya satu, mendiskreditkan Polri dalam upaya memberantas terorisme di Indonesia.

Hobi meledakkan bom

Menanggapi berbagai tuduhan itu, Kepala Divisi Humas Polri mengingatkan masyarakat bahwa para teroris itu telah melanggar hak asasi ratusan, mungkin ribuan, anak korban berbagai bom di masa lalu, dan ratusan, mungkin ribuan, anak lagi yang akan jadi korban bom di masa depan jika para teroris tidak ditangkap.

Upaya polisi telah membuahkan hasil. Bukti nyata, Indonesia telah bebas bom pascabom Bali II sampai hari ini (kecuali beberapa bom sporadis di Poso yang rata- rata tanpa korban). Jika para teroris tak ditangkapi, selama 2006, entah berapa bom yang meledak di Jakarta dan seluruh Indonesia (bahkan konon juga Singapura dan Malaysia).

Pasalnya, para teroris ini hobi meledakkan bom, yang bagi mereka cuma seperti mainan petasan. Intinya, teroris dirasa lebih berbahaya daripada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang hanya ada di Aceh atau GPM yang hanya berjuang di Papua.

Teroris juga manusia

Meskipun demikian, kita juga perlu memahami, para teroris juga manusia. Dan, polisi hanya bisa menangkapi mereka karena ada cukup barang bukti bahwa mereka melanggar hukum. Lalu, setelah mereka diadili dan dikirim ke lembaga pemasyarakatan (lapas), siapa yang akan mengurus mereka?

Saya belum pernah mendengar pihak lapas minta bantuan psikolog atau MUI untuk mengetahui cara pembinaan yang terbaik bagi para terpidana teroris. Ratusan orang yang sudah tertangkap, dan sebagian sudah bebas berkeliaran di luar, dan lapas belum punya pola untuk membina mereka agar tidak menjadi residivis teroris.

Pihak MUI pun belum terdengar upayanya mengatasi "ajaran sesat" yang diimani para teroris. Juga Departemen Sosial. Mereka sibuk dengan anak yatim, pekerja seks komersial, dan bencana alam, tanpa menyadari, anak- anak dan keluarga teroris serta mantan teroris juga merupakan ancaman sosial yang serius jika tidak ditangani dengan baik.

Depdagri, ke mana saja selama ini? Deplu, sejauh mana upaya mereka untuk mencegah terorisme melalui jalur-jalur diplomatik? Parpol? DPR/DPRD? Pemda? LSM? Mahasiswa? Pokoknya, semua unsur bangsa ini, ke mana saja kalian?

Mengatasi terorisme bukan hanya tugas polisi. Tanpa kesadaran dan upaya kita semua, ratusan eks-napi teroris akan kembali ke masyarakat sebagai teroris yang lebih heboh. Jangan anggap remeh nama-nama seperti Abu Rusdan dan Kital alias Adi Suryana yang sudah bebas maupun Adung yang masih di dalam penjara dan ratusan lain teman mereka yang cepat atau lambat akan bebas.

Hanya sebagian kecil dari mereka yang dikenai hukuman mati karena hakim hanya menghukum perbuatannya, bukan ideologi atau imannya. Padahal, ideologi atau iman yang sesat itulah yang paling berbahaya. Jika dididik dan dibina dengan baik, para mantan teroris ini tentu bisa diajak untuk bersama masyarakat lain membangun bangsa ini. Yang penting kita tidak mengabaikan mereka dan menyerahkan semua persoalan hanya kepada polisi saja. Dirgahayu Polri!

Sarlito W Sarwono Guru Besar Psikologi UI

No comments:

A r s i p