Wednesday, June 20, 2007

kebangsaan

Menanti Lagi Kiprah Kaum Muda

Toto Suryaningtyas

Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur.

Tampaknya, semangat yang tercermin dalam sanjak Wiji Thukul, yang dimuat dalam buku Deklarasi Partai Rakyat Demokratik tahun 1996, itu telah kehilangan sebagian maknanya. Saat rezim lama hancur, saat pintu reformasi terbuka, kaum muda tak juga beranjak meraih kekuasaan.

Tak heran jika berbagai pihak menyuarakan kritisnya kondisi alih generasi kepemimpinan nasional saat ini. Meski reformasi sudah delapan tahun, tidak muncul sosok baru untuk mengimbangi elite politik yang telah mapan. Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia dan jajak pendapat Litbang Kompas mengungkapkan, hingga Pemilu 2009 diperkirakan belum muncul tokoh baru yang bisa bertanding sejajar dengan Susilo Bambang Yudhoyono atau Megawati Soekarnoputri.

Peralihan generasi tokoh politik bangsa pada generasi yang lebih muda mendesak dilakukan karena proses reformasi hingga kini belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Selain keberhasilan melengserkan Soeharto dan membuka sumbat demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar. Kultur birokrasi lama yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme masih kuat tertanam. Popularitas pemimpin politik kerap kali hanya membersitkan optimisme jangka pendek, satu-dua tahun, setelah itu menurun dan kandas.

Dalam praktiknya, sosok muda yang diharapkan menjadi tulang punggung transfer generasi, jika ditelusuri, terpilah dalam dua kategori besar. Pertama adalah kelompok mahasiswa secara umum, yang memiliki pengalaman sebagai aktivis lapangan. Kiprah kelompok ini dalam perjuangan reformasi muncul dengan kemampuannya mengubah sebuah ide pembaruan sosial melalui aksi massa. Sering kali kelompok ini di kemudian hari menjadi politisi dengan masuk dalam partai untuk merebut kekuasaan. Kedua adalah kepanjangan dari sikap kritis mahasiswa, yakni kelompok cendekiawan, khususnya yang tidak masuk dalam struktur politik legislatif ataupun eksekutif.

Dalam terminologi Antonio Gramsci, cendekiawan dipahami sebagai suatu kategori kelas sosial dalam hubungannya dengan relasi sosial. Lebih terang lagi, dalam bahasa Ron Eyerman, cendekiawan adalah sebuah gerakan sosial yang memberikan kekuatan kolektif bagi terwujudnya perubahan sosial. Ruang politik baru saat ini memungkinkan cendekiawan, lebih-lebih yang berorganisasi, memperoleh legitimasi dalam membentuk opini publik. Dialektika negara dan gerakan sosial, yang biasanya lebih bersifat patron-klien ketimbang bersifat sebagai partner, tak memberi banyak ruang gerak aksi jalanan. Pada saat situasi politik relatif stabil dan kekuatan gerakan sosial terpecah, aksi intelektual lebih menonjol.

Terjadinya kesenjangan sosok muda dalam politik, sebagaimana dinyatakan hasil survei, boleh jadi karena ruang partisipasi politik tidak mudah ditembus. Sebagian publik masih terpatri dalam gagasan primordial atau tradisional yang memandang sosok tertentu lengkap dengan nuansa romantisme mitologis. Sistem kaderisasi di tubuh parpol pun masih ketat menyaring gagasan dan independensi kaum muda untuk menjadi elite. Lapis tertinggi pimpinan parpol pun masih terlalu sakral dimasuki wajah baru tanpa bayang-bayang tokoh lama atau "gizi" (upeti) parpol.

Seperti proses metamorfosa, saat negara dalam kondisi stabil, gerakan sosial muncul dalam rupa pertukaran gagasan dan ide. Kiprah cendekiawan terlihat mendominasi ruang publik. Mereka menajamkan teori, kemampuan intelektual, berpolemik di media. Tengok saja misalnya Yudi Latif, Vedi Hadiz, Ulil Abshar Abdalla, atau Donny Gahral Adian yang memenuhi wacana pemikiran tentang bentuk baru pemahaman filsafat dan masyarakat madani. Atau, di bidang hukum muncul antara lain Denny Indrayana, Patra M Zen, Benny K Harman, dan Emerson W Juntho. Pemikiran mereka mendominasi wacana kontemporer.

Yudi, misalnya, aktif memperkuat gagasan mengenai pemikiran plural yang dimajukan Nurcholish Madjid tentang Islam dan Indonesia, dengan penempatan sebuah "batas yang tepat" antara agama dan negara, antara sekularisme dan tarikan agama.

Lihat pula pemikiran Islam dan masyarakat madani versi Ulil. Ia memperkenalkan pemahaman yang acapkali dinilai menentang arus utama keislaman dengan gagasan Islam liberal.

Di bidang hukum, tampil kelompok kaum muda berpendidikan tinggi yang melakukan kajian kritis dan aksi terhadap kondisi hukum saat ini. Mereka juga menyuarakan telaah kritis terhadap peradilan.

Dalam konteks metamorfosa gerakan sosial menjadi gerakan politik, fenomena Freedom Institute memberi gambaran lebih jelas. Lembaga yang dipimpin Rizal Mallarangeng ini memiliki kemampuan menjangkau opini publik dan akses menjabarkan konsep dalam kebijakan politik negara. Kedudukan Rizal sebagai penasihat salah satu menteri memiliki nilai lebih mendekatkan gagasan kalangan cendekiawan dengan strategi politik.

Konteks seperti ini pernah terjadi pada tahun 1970-an ketika sekelompok cendekiawan yang tergabung di Center for Strategic and International Studies menjadi mitra penting pemerintah. Mereka memengaruhi kebijakan dan strategi pembangunan pada awal Orde Baru.

Intelektual muda memakai berbagai cara untuk mengenalkan gagasannya, baik memanfaatkan jalur kampus, organisasi massa, aksi jalanan, maupun pendampingan rakyat. Kiprah mereka lebih lanjut masih dinantikan. (Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p