Thursday, June 14, 2007

Kapan UUD 1945 Sempurna?

Yohanes Usfunan

Wacana amandemen kelima UUD 1945 memunculkan kelompok pendapat yang "mendesak" secepatnya dilakukan, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sejumlah fungsionaris parpol. Sebaliknya, ada kelompok pendapat yang menghendaki amandemen tapi tak perlu tergesa-gesa, agar persiapan materi amandemen lebih matang.

Kelompok pendapat ketiga, yang diwakili Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, berharap UUD 1945 yang telah empat kali diubah dijalankan dahulu. Sebab, perubahan UUD membutuhkan banyak waktu dan tenaga (Kompas, 17/3). Ajakan Megawati dan pendapat kedua menarik ditelaah. Karenanya, diperlukan kejujuran untuk mengakui kemajuan-kemajuan pasca-amandemen UUD 1945 dan perlu konsensus MPR kapan materi UUD 1945 dinyatakan sempurna agar tidak diamandemen setiap saat.

Kemajuan

Pembatasan masa jabatan presiden hanya dalam dua kali, sistem multipartai, pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, kepala daerah dan otonomi daerah merupakan contoh kemajuan. Demikian juga penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem saling mengimbangi dan mengawasi antarlembaga negara (checks and balances), penggunaan HAM sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara leluasa oleh setiap warga negara.

Makanya, "desakan" DPD agar segera dilaksanakan amandemen kelima UUD 1945 memunculkan sejumlah kekhawatiran. Pertama, kendati keinginan DPD hanya sebatas mengamandemen Pasal 22D UUD 1945, hal itu pasti terkait pasal-pasal tentang wewenang Presiden dan DPR dalam bidang legislasi. Apalagi keinginan DPD agar berperan dalam pembentukan dan pelaksanaan UU sesuai Pasal 20 UUD 1945. Hal itu belum termasuk ke- mungkinan polemik seputar posisi DPD dan DPR. Apakah wewenang DPD harus sama dengan DPR atau sebagai lembaga legislatif yang spesifik mewakili kepentingan daerah. Sebaliknya, jika wewenang DPD sama dengan DPR, bagaimana membedakannya.

Kedua, jika amandemen kelima segera dilaksanakan, dikhawatirkan mengganggu persiapan penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, termasuk mengkaji ulang UU Pemilu, UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD, dan UU terkait lainnya. Akan tepat bila amandemen dilakukan seusai pemilu. Ketiga, dengan waktu panjang persiapan amandemen lebih mantap dalam menyusun naskah akademik, identifikasi materi amandemen, sosialisasi, penjaringan aspirasi dengan metode dan pendekatan yang tepat.

Keempat, diharapkan dalam amandemen itu menghasilkan konsensus mengenai UUD 1945 dinyatakan sempurna agar tidak diamandemen dalam kurun waktu tertentu. UUD 1945 mempunyai derajat tertinggi dan menjadi dasar bagi perundang-undangan lain sehingga kepastian hukumnya harus dijaga. Kelima, guna menjaga kredibilitas MPR perlu cermat dalam menerima usulan amandemen. Sebab, usulan amandemen tanpa pengkajian holistik dan mendalam hanya akan menghasilkan pasal-pasal bermasalah. Keenam, seyogianya masalah pengangguran, kemiskinan, dan kesengsaraan rakyat diprioritaskan anggota MPR, DPR, DPD, dan pengurus partai ketimbang hanya ngotot menguatkan posisi melalui amandemen UUD 1945.

Cita hukum

Ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan berkaitan dengan kepastian hukum dan keadilan yang harus diatur dalam UUD. Kepastian hukum dan keadilan terkandung dalam cita hukum Indonesia rechtsidee sesuai pembukaan UUD 1945. "Dari rechtsidee dibangun hukum dasar tertulis yang hanya memuat instruksi-instruksi pokok, sedangkan hukum dasar tidak tertulis untuk penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya" (disertasi penulis 1998:145).

Hukum dasar tidak tertulis tercermin dalam asas-asas hukum dan konvensi ketatanegaraan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan negara. Instruksi pokok dalam UUD 1945 terkait kedaulatan negara, pembagian kekuasaan pemerintahan negara, lembaga negara, HAM, perekonomian dan kesejahteraan rakyat, bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Karena itu, demi kepastian hukum dan keadilan materi dalam UUD 1945 tidak boleh detail sehingga fleksibel.

Dari perspektif perancangan perundang-undangan (legislative drafting), materi muatan UUD hanya menyangkut hal-hal pokok, sedangkan pengaturan detailnya didelegasikan dalam UU. Delegasi pengaturan dalam UU dapat ditempatkan dalam UU biasa, UU Pokok maupun UU tentang Pokok-Pokok. Manfaat pendelegasian wewenang pengaturan dalam UU, yakni mempertahankan UUD 1945 dalam waktu relatif lama dari amandemen, untuk efisiensi mengingat amandemen membutuhkan biaya mahal serta menjamin kepastian hukum UUD 1945 sebagai hukum dasar.

Kelemahan

Kelemahan UUD 1945, yakni masih terdapat norma kabur, seperti Pasal 24B Ayat 1 tentang wewenang Komisi Yudisial, Pasal 23A mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa. Penggunaan konsep inkonsisten terkait lembaga negara, seperti Kekuasaan Kehakiman bersifat merdeka, Komisi Yudisial bersifat mandiri, bank sentral mempunyai independensi, dan sejumlah pasal yang normanya kabur.

Demikian juga pengaturan HAM tumpang tindih dengan UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 28 A sama rumusannya dengan Pasal 9 Ayat 1 UU HAM, Pasal 28 B Ayat 1 sama dengan Pasal 10 Ayat 1 UU HAM. Ketentuan lain terkait HAM rumusannya masih membingungkan. Karenanya, amandemen kelima pengkajiannya harus cermat dengan metode yang tepat.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Bali; Mengikuti Comparative Study Legislative Drafting di San Francisco & Boston University di Las Vegas dan New York, AS, 2002

No comments:

A r s i p