Friday, June 22, 2007


Menjaga Spirit Piagam Jakarta

Oleh : M Fuad Nasar

Anggota Badan Amil Zakat Nasional

Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.

Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat, 'negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Kalimat ini merupakan rumusan pertama lima prinsip falsafah negara yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan Pancasila.

Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani oleh panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, HA Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr Mohammad Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno selaku pimpinan rapat dengan segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.

Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), menulis, "Timbul sekarang satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah."

Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (diterbitkan 1969), Bung Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari 17 Agustus 1945 sebagai berikut. “Pada sore harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam untuk berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula semboyan yang selama ini didengung-dengungkan 'bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh', perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” ungkap Hatta.

Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, 'dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya', setelah kata 'ke-Tuhanan'. Ini merupakan cermin sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia.

Dalam perkembangan di kemudian hari, sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar. Pertanyaan yang mendasar diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) kepada pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD 1945. Jawaban resmi pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri Juanda adalah bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian perkataan 'Ketuhanan' dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti 'Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syari’at Islam'.

Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan historis tetap terpatri dalam konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali diamandemen UUD 1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan amandemen kelima, diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati sanubari para pemimpin dan segenap warga bangsa yang majemuk ini.

No comments:

A r s i p