Friday, June 29, 2007

Mungkinkah Kedaulatan Dilepas?

F Djoko Poerwoko

Perjanjian ekstradisi dan kerja sama pertahanan yang lebih dikenal dengan Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura membuat kaget banyak pihak. Bahkan, perjanjian yang ditandatangani di Tampaksiring, Bali, 27 Maret 2007, itu juga membuat gusar para anggota DPR. Di antara mereka malah ada yang menuntut agar DCA ditinjau ulang atau dibatalkan mengingat sangat merugikan Indonesia, khususnya dalam kedaulatan negara.

Kedaulatan bukan hanya milik wakil rakyat. TNI sebagai institusi yang bertanggung jawab tentang kedaulatan negara lebih paham tentang hal itu. Untuk mempertahankan kedaulatan diperlukan prajurit-prajurit yang terlatih yang dibekali dengan peralatan modern serta sarana latihan yang memadai.

Salah satu sarana latihan tersebut berupa Air Combat Manuvering Range (ACMR) dan telah dibangun bersama antara Indonesia dan Singapura serta diresmikan tanggal 22 Maret 1994. Dalam acara tersebut Panglima ABRI Jenderal TNI Faisal Tanjung berkata: "Saya berharap pembangunan fasilitas ACMR ini mampu meningkatkan hubungan bilateral ABRI dan SAF khususnya dan kedua negara pada umumnya."

Kalimat Faisal Tanjung saat peresmian ACMR di Pekanbaru, Riau, langsung disambut Maj Gen Ng Jui Ping sebagai petinggi Angkatan Bersenjata Singapura: "… for MINDEF, to commit such an investment in Pekanbaru only reflects the importance we place on ABRI-SAF co-operation."

Pertemuan dua panglima

Kalimat bijak mengatakan, bila dua panglima perang bertemu, mereka (hanya) akan membicarakan perdamaian. Namun, bila para politisi bertemu, mereka (mesti) membicarakan perang.

Perdamaian yang diciptakan para petinggi militer kala itu bukan serta-merta setelah ACMR, AWR, MTA, dan OFTA, yang kesemuanya terletak di Pangkalan Udara (Lanud) Pekanbaru, Riau, dibuat dan dipakai bersama kedua angkatan udaranya. Jauh hari sebelumnya, tepatnya bulan Juni 1980, kedua angkatan udara telah menggelar latihan bersama yang diberi sandi Latma Elang Indopura 1/80 (Latihan Bersama antara Indonesia dan Singapura) dilaksanakan di Lanud Iswahyudi, Madiun.

Khusus dengan Singapura awalnya latihan hanya melibatkan dua skadron (tempur), tetapi lambat laun meningkat dengan jenis dan pola latihan yang lebih maju. Bila Elang Indopura I/80 hanya melibatkan F-86 Sabre dari TNI AU dan Hawker Hunter dari RSAF dalam satu kekuatan Combined Air Task Force (CATF)— konsep ini terus berkembang sehingga didapat kesepakatan membuat Combined Standard Operation Prosedure (CSOP)— pada Latma Indopura III/84 telah melibatkan 24 pesawat dari kedua negara tanpa hambatan.

Latihan terus berkembang, dari kekuatan yang tergabung dalam CATF sejak Indopura IV/86 setiap misi/penugasan dipimpin masing-masing negara serta dilibatkan pesawat terbaru, yaitu F-5 Tiger-II serta SA-330 Super Puma yang juga dimiliki kedua negara. Bahkan, mulai Latma Indopura VI/90 RSAF mulai melibatkan E-2E Hawkeye, sesuatu yang baru bagi para pilot TNI AU. Kala itu para pilot Hawk-200/ TNI AU mulai bergabung dan tidak mendapat kesulitan dalam mengadopsi panduan Hawkeye RSAF dalam menemukan sasaran di tengah laut.

Sejalan dengan kemajuan di bidang latihan, prasarana latihan juga mulai dibangun. Diawali pembangunan Air Weapon Range (AWR) tahun 1989, Air Combat Manuvering Range (AWR) tahun 1991, serta penetapan Overland Flying Training Area (OFTA), kesemuanya dibangun di Lanud Pekanbaru dan juga kantor Detachment Squadron serta Joint Shelter.

Disepakati pula bahwa penggunaan area latihan itu full control oleh Indonesia. Untuk itu, siapa pun yang akan memakai daerah latihan harus berangkat dan mendarat dari Lanud Pekanbaru. Ketentuan ini secara "sepihak" menguntungkan Indonesia dilihat dari fuel charge, leaving allowance ataupun services and navigational charge bila mereka lembur, dan tentunya hasil ini langsung masuk ke kas negara.

Sejak saat itu setiap kali pesawat RSAF akan memakai daerah latihan yang belakangan disebut Military Training Area (MTA), lantas disebut Alpa-1 dan Alpa-2, pasti mengajukan permohonan izin kepada Indonesia. Mencermati faham presidetis juris yang dianut Indonesia dalam menentukan batas wilayah kedaulatan, pengakuan Singapura ini mempunyai dampak politis yang besar di mata dunia internasional.

Kerja sama lainnya

Dengan meningkatnya latihan bersama serta dibangunnya AWR di Siabu yang memakai lahan seluas 10.850 hektar, terdiri atas academic range dan tactical range, menjadikan latihan lebih intensif. Sarana latihan ini merupakan satu-satunya daerah latihan penembakan udara di mana terdapat simulasi pangkalan udara serta electronic scoring system sehingga para pilot dapat mengembangkan kemampuan dalam ground attack. Sementara untuk air tactic dapat dipergunakan ACMR dengan tingkat risiko yang kecil karena tidak mempergunakan peluru tajam.

Sebelum mempunyai lahan latihan seperti ini, para pilot TNI AU "terpaksa" harus berlatih di Pangkalan Udara Korat, Thailand, dengan biaya yang cukup mahal. Saking mahalnya, hanya pilot senior yang diberi kesempatan. Kali ini siapa pun pilot TNI AU dapat menggunakan sarana ini dengan slot pemakaian sebanyak 40 persen, RSAF 40 persen, dan 20 persen dicadangkan untuk perawatan. Alat yang dibangun dan dirawat bersama dengan modal fifty-fifty ini berubah menjadi format 75 persen Singapura dan 25 persen Indonesia sejak tahun 1995.

Puncak kerja sama tercapai manakala kedua negara sepakat mendidik para pilot tempur dalam satu wadah yang disebut Fighter Weapon Instructor Course (FWIC) pada bulan September 1999. Pendidikan Instruktur Penerbang Tempur ini memanfaatkan lahan latihan yang telah dibangun bersama, dengan siswa dan instructur pilot kedua negara. Pendidikan ini merupakan konsep baru dan menghasilkan anak didik setara top gun milik USAF di Amerika.

Lalu, haruskah prasarana serta kerja sama selama ini dianulir sepihak dikaitkan dengan Defence Cooperation Agreement yang ditandatangani tanggal 7 Maret 2007 di Bali. DCA dibuat sebagai payung hukum tanpa mengubah makna serta arti perjanjian sejak latihan pertama digelar tahun 1980. Ruang udara yang dipakai oleh Singapura, baik di Area, Alpa-1/2, OFTA, AWR, maupun ACMR, tidak terlihat dari balik meja wakil rakyat di Senayan. Militer Indonesia cukup paham dan tidak akan menjual negaranya, bahkan dia lebih paham apa arti kedaulatan negara dan apa itu arti sebuah latihan.

Memang lebih baik panglima antarnegara bertemu daripada para politisi melakukan hal sama. Ini kalau kita memang mau damai.

F Djoko Poerwoko Pengamat Militer

No comments:

A r s i p