Monday, June 25, 2007

Belitan dana pemilu

oleh : Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific

Pemilu 2009 tak lama lagi. Hal tersebut sangatlah strategis bagi bangsa dan negara kita. Bagi beberapa orang yang berminat mencalonkan diri menjadi presiden atau wapres, saat ini merupakan hari-hari yang sibuk.

Ada yang menggiatkan acara tebar pesona, atau kampanye terselubung dengan melakukan kegiatan yang menarik simpati publik. Tapi ada pula yang sudah berpikir bagaimana caranya mencari dana pemilu.

Maklum, pencalonan seseorang menjadi presiden membutuhkan biaya yang tak kecil. Caranya, bisa macam-macam, mulai dari mendekati beberapa BUMN, atau perusahaan swasta, yang potensial dijadikan sumber uang, hingga mengutak-atik dana nonbujeter departemen.

Misalnya aliran dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Uang yang seharusnya hak para nelayan miskin itu ternyata mengalir deras ke banyak pihak. Mulai para politisi di Senayan hingga tim sukses para capres/cawapres peserta Pemilu 2004.

Menurut kesaksian Kepala Bagian Umum Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP, Didi Sadili, di persidangan, hampir semua pasangan capres/cawapres (setidaknya tim suksesnya) menerima dana nonbujeter DKP. Nilainya bervariasi, mulai dari Rp50 juta sampai Rp500 juta.

Amien Rais misalnya, disebut menerima Rp400 juta (Tapi dia mengaku hanya menerima separuhnya). Mega Center sedikitnya Rp280 juta. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid Rp220 juta. Yang paling banyak adalah pasangan SBY-JK beserta tim suksesnya senilai hampir Rp500 juta.

Memang dana-dana itu tak diserahkan secara langsung ke pasangan capres/cawapres, tapi melalui pihak ketiga, baik melalui pribadi, lembaga pendukung, maupun tim suksesnya. Tak heran kalau hampir semua pasangan capres/cawapres itu akhirnya membantah kesaksian Didi Sadili.

Pilkada DKI

Jumlah uang yang terungkap di atas masih terbilang amat kecil. Bandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan cagub/cawagub dalam Pilkada DKI. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia, Syaiful Mujani, biaya pencalonan gubernur tak kurang dari Rp50 miliar. ''Yang termahal adalah biaya kampanye dan setoran ke partai politik.''

Sarwono Kusumaatmadja misalnya, pernah dimintai uang Rp400 miliar oleh sebuah partai besar. Tim Faisal Basri sempat menyetor Rp50 juta ke sebuah partai. ''Itu tarif resmi minimal untuk calon gubernur yang ingin masuk bursa,'' kata Saepul Tavip, koordinator tim sukses Faisal Basri.

Dana yang dihabiskan untuk bertarung menjadi orang nomor satu di DKI Jaya rumorsnya bisa mencapai angka Rp500 miliar! Weleh, weleh.

Namun, calon gubernur Adang Daradjatun mengaku tak memberi mahar apa pun, walau dia didukung PKS. ''Kami hanya mempunyai kesamaan visi,'' katanya. Namun santer beredar rumors bahwa setoran Adang ke PKS setidaknya mencapai Rp50 miliar. Belum lagi Fauzi Bowo yang didukung 20 partai yang tergabung dalam Aliansi Jakarta.

Fauzi Bowo dan Dadang setali tiga uang, sama saja. Mereka sejak jauh-jauh hari sudah mencuri start kampanye dengan memasang spanduk besar di sejumlah titik penting di Jakarta. Juga gencar memasang iklan dirinya di sejumlah koran, spot iklan di berbagai televisi lokal maupun nasional.

Hitung saja jumlah iklan-iklan tersebut dan kalikan dengan harga satuan iklan, maka kita akan menemukan angka yang luar biasa besarnya!

Mari kita berandai-andai. Andai saja dibutuhkan dana Rp500 miliar untuk partai-partai, kemudian ditambah Rp500 miliar lagi untuk berbagai kegiatan kampanye (iklan-iklan di koran, radio, televisi, dan spanduk), maka akan diperoleh angka Rp1 triliun untuk membiayai kampanye dan proses pencalonan.

Nah, andai saja modal Rp1 triliun tersebut harus kembali dalam lima tahun masa jabatan. Andai kita hitung kira-kira Rp1 triliun dibagi 5 tahun masa jabatan, kemudian dibagi 365 hari dalam setahun, maka pasangan tersebut harus mampu mendapatkan Rp547 juta per hari agar bisa balik modal.

Jumlah tersebut tentu akan membuat pasangan terpilih manapun setiap hari harus bekerja keras agar bisa balik modal.

Kita bisa bayangkan apakah usaha mereka itu tidak akan mengganggu kesibukan mereka sehari-hari dalam bekerja keras mensejahterakan rakyat? Apakah usaha tersebut tidak akan membuat potensi korupsi makin terbuka lebar? Apakah dengan investasi sebesar itu para sponsor tidak akan mengharapkan return on investment yang lebih besar?

Dengan situasi seperti ini, kita dapat memahami kalau setiap pemimpin yang terpilih dari produk logic of the game yang seperti ini. Baik itu di tingkat presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, sampai dengan yang terendah. Akan terbelit dana pemilu dan akan sangat kesulitan untuk bersikap tegas dalam mengambil keputusan. Dan nampak lebih pro kepada donatur atau sponsor dibanding pada rakyat.

Akibatnya, pelan tapi pasti, hancurlah sistem demokrasi di Indonesia. Dengan logika politik seperti itu, tak heran kalau Indonesia kini minim negarawan. Yang muncul tak lebih dari 'pedagang' dengan sekian investor politik di belakangnya. Adalah hal yang sangat strategis dan kritis bagi kita bangsa Indonesia, untuk berpikir ulang tentang logic of the game ini.

No comments:

A r s i p