Wednesday, June 20, 2007



Lagi, Demokrasi dan Kemiskinan

Tata Mustasya

Ada yang menarik dari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika berkunjung ke China pada awal Juni: demokratisasi, desentralisasi, dan kebebasan pers tak bisa ditarik kembali. Persoalannya, bagaimana membuat ketiga hal tersebut bekerja efektif bagi perbaikan kehidupan bangsa.

Pernyataan Kalla, lebih kurang, sejalan dengan pesan kunci Fareed Zakaria dalam bukunya The Future of Freedom, Illiberal Democracy at Home and Abroad mengenai tantangan abad ke-21: membuat demokrasi yang aman bagi dunia. Ini terkait realitas banyak negara di mana, alih-alih memperbaiki kesejahteraan, demokrasi justru membuat perekonomian dan kehidupan sosial- politik kian terpuruk. Situasinya berlainan dibandingkan tantangan abad ke-20 yang pernah disampaikan Woodrow Wilson: membuat dunia aman bagi demokrasi.

Bagi Indonesia dengan persoalan kemiskinan kompleks, prioritasnya adalah membangun demokrasi yang aman dan bermanfaat bagi kaum miskin. Mengapa pemerintahan yang dipilih langsung—baik di tingkat nasional maupun di daerah—gagal memberikan manfaat bagi kaum miskin, paling tidak berdasarkan pertambahan kaum miskin tahun 2005-2006 dari 35,1 juta menjadi 39,05 juta?

Politik dan kemiskinan

Banyak teori yang percaya bahwa tekanan politik dan kebebasan pers dalam demokrasi bermanfaat bagi pengentasan kaum miskin, di antaranya Amartya Sen (1999). Beberapa teori juga meyakini bahwa demokrasi memperkuat akuntabilitas dan transparansi tata kelola pemerintah, dan selanjutnya akan berfaedah dalam perang terhadap kemiskinan. Berbagai teori tersebut, sejauh ini, tidak menemukan implementasi memadai dalam praktik demokrasi Indonesia pascareformasi tahun 1998.

Dalam The Future of Freedom, Fareed Zakaria menyampaikan gagasan penting: tekanan politik dalam demokrasi justru kerap menyebabkan gagalnya kebijakan pemerintah. Alih-alih menjadi pemicu solusi, dia merupakan persoalan. Konteks Indonesia saat ini, demokrasi yang semakin "terderegulasi" menciptakan potensi lahirnya kebijakan yang mengabaikan kaum miskin.

Penyebab utamanya, tekanan politik dalam demokrasi bukan merupakan sesuatu yang "tulus" untuk kepentingan publik atau netral. Dia merupakan representasi kepentingan kelompok atau instrumen elite politik untuk mendelegitimasi lawan politik yang sedang menjadi pemerintah. Dalam proses interaksi tersebut, kepentingan kaum miskin tereksklusi walaupun kerap dijadikan selubung isu sebenarnya.

Untuk kasus Indonesia sekarang, persoalannya semakin rumit dengan lemahnya posisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) vis a vis kekuatan politik, kepentingan bisnis, dan negara-negara asing. Hal serupa dialami para kepala daerah. Konsekuensinya, aneka kepentingan kelompok elite dan agenda jangka pendek dengan mudah menginterupsi rencana-rencana jangka menengah dan panjang pemerintah. Energi pemerintah juga terkuras untuk bernegosiasi dengan elite dan memuaskan publik dengan program-program yang eyecacthing dan "tebar pesona" tetapi tidak menyelesaikan masalahnya secara fundamental. Selain itu, pembuatan suatu kebijakan memerlukan waktu lebih lama dengan ongkos politik lebih mahal.

Mengawal demokrasi

Seperti yang dikatakan JK di China, demokratisasi merupakan hal yang given bagi bangsa Indonesia. Lagipula, demokrasi bukan cuma alat untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga hak dasar warga negara. Yang penting dikoreksi adalah pemahaman keliru bahwa: (1) demokrasi akan memperbaiki segalanya secara otomatis, termasuk usaha mengatasi kemiskinan; (2) perbaikan demokrasi adalah perluasan atau "deregulasi" demokrasi lebih lanjut.

Kebutuhan mendesak saat ini adalah sistem dan peraturan perundang-undangan yang "mengisolasi" dan membuat jarak kebijakan utama dan jangka panjang dari kepentingan politik jangka pendek.

Kebijakan pemberantasan kemiskinan, misalnya, dapat dirancang dan diimplementasikan dalam sebuah "kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang terintegrasi" karena sekitar 80 persen kaum miskin tinggal di pedesaan. Faktanya, kebijakan besar seperti ini mustahil berjalan dalam tarik-menarik kekuatan politik seperti saat ini.

Jalan keluarnya, DPR bersama presiden dapat menyusun undang-undang mengenai "kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang terintegrasi" ini beserta sebuah lembaga pelaksananya yang independen, mirip seperti Federal Reserve dan MA di AS.

Menyerahkan persoalan ini kepada institusi yang terkait kepentingan dan godaan politik merupakan kekeliruan besar karena hanya akan mereproduksi kebijakan populis yang tidak menyelesaikan masalah sebenarnya. DPR berhak menolak atau menerima usulan kebijakan lembaga tersebut, tetapi tidak berhak mengamandemennya.

Banyak hal lagi yang mesti didiskusikan mengenai bagaimana supaya demokrasi bekerja efektif dalam mengatasi kemiskinan. Tidak hanya berdasarkan kepedulian terhadap nasib kaum miskin, tetapi juga demi masa depan demokrasi itu sendiri./kompas 20/06/07

Tata Mustasya Analis Ekonomi-Politik dan Kebijakan Publik

No comments:

A r s i p