Wednesday, August 8, 2007

Amandemen


M Yudhie Haryono

Amandemen kembali. Inilah jawaban dari kisruh konstitusi kita yang belum menemukan solusi terbaiknya. Ya, amandemen dengan cara menciptakan naskah akademik dan panitia yang berusaha memahami watak rakyat banyak, yang bila diperas dapat diistilahkan dengan "gotong royong" dan semangat "kekeluargaan".

Suatu semangat yang berasal dari, oleh, dan untuk kita semua. Sebagaimana dikatakan B Harry Priyono (2002), setiap konstitusi bukan sebuah dokumen hukum belaka. Ia adalah cita-cita bersama. Cita-cita yang berisi gagasan baik di masa lalu dan gagasan-gagasan perbaikan di masa depan. Karena itu, angan dan istilah "masa depan" harus menjadi variabel sentral dalam bangun konstitusi kita.

Pentingnya rumusan eksplisit tentang peran komunitas dan negara yang berlandaskan gotong royong dan kekeluargaan memang sulit diupayakan dalam konteks pertarungan kekuasaan di Indonesia. Keluhuran masa lalu dan keinginan kita agar lebih baik di masa depan sering kali dijebak oleh kepentingan jangka pendek. Merujuk pengalaman tersebut, maka amandemen konstitusi haruslah bervisi jauh ke masa lalu, sebagaimana ke masa depan.

Karena itu, konstitusi selaiknya bersifat dialektik dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Ia merupakan konsensus yang hidup dan menjadi pijakan kita bersama. Ia jadi perekat (grosste gemene deler), gugus kesatuan sejarah (historical bloc), norma-norma dasar (grundsnorm), falsafah negara (weltanschauung/philosophische gronsdshlag), konsensus bersama (consensus norm), bahkan ideologi (state ideology) yang dijaga sekaligus dijadikan "pedoman (leitlinie)" karena kemampuannya menjadi ’perekat-pembagi persekutuan terbesar’ (grooste gemene deler).

Singkatnya, semua konsepsi konstitusi harus bersumber dan terkait dengan Pancasila (pembukaan UUD 1945) yang merupakan hasil konsensus nasional. Konsensus dicapai oleh orang kebanyakan yang peduli dan perhatian. Konsensus juga merupakan solidaritas dalam hal perasaan dan keyakinan. Karena itu, jika terjadi kerugian maupun keuntungan karena konsensus akan ditanggung bersama.

Dari saya ke kami

Dalam literatur politik kita, menurut Abdulkadir Besar (1968), kata ini mulai digunakan untuk menjelaskan staatsidee kekeluargaan yang khas "budaya timur". Budaya yang menjalani hidup secara sosial-selaras-seimbang. Oleh karena itu, tradisi, semangat, dan nilai-nilai budaya konsensus lahir dari asas kegunaan, homo homini socius, kekeluargaan, kegotongroyongan, harmoni, dan usaha bersama yang melahirkan konsensus-sosial yang integral.

Wawasan integralistik ini bermakna pembagian kekuasaan yang setara guna menghasilkan kesalingtergantungan untuk mencapai kemandirian bangsa dalam usaha pencapaian cita-cita bersama. Istilah konsensus sosial adalah istilah yang berangkat dari individu [saya] menjadi "kami" lalu berujung menjadi "kita". Sebab, kata "kita"—menurut Fuad Hasan—adalah usaha transendensi yang melibatkan nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan integralistik.

Dalam pilihan integralistik ini, meminjam teori K Bertens, (1999:87) moral yang dibangun adalah shame culture (kebudayaan malu). Dalam budaya ini, moral yang dikembangkan adalah "rasa hormat, reputasi, nama baik, status dan gengsi". Itu artinya, jika subyek dalam salah satu lembaga kekuasaan publik bersalah, maka "malu dan mengundurkan diri" menjadi keniscayaan. Ini yang membedakannya dengan pilihan trias politicus. Dalam pilihan ini, moral yang dikembangkan adalah guilt culture (kebudayaan bersalah). Itu artinya, jika subyek dalam salah satu lembaga kekuasaan publik bersalah/invalid, maka ’pengadilan’ jadi keniscayaan.

Bila dilacak sejarahnya, konsepsi negara integralistik sebenarnya adalah penerjemahan dari fungsinya yang organik dan subyek yang bertanggung jawab terhadap cita-cita bersama seluruh rakyatnya. Fungsi negara organik muncul karena kedudukannya sebagai pengambil keputusan. Dalam hal-hal tertentu, negara kemudian diharuskan melakukan intervensi, terutama terhadap persoalan langsung yang dihadapi rakyat banyak: kemiskinan, pengangguran, kekerasan, pendidikan, dan kesehatan.

Konsep organik, dalam tesis Hans Kelsen (1961:192), dapat ditilik dari tugasnya untuk menciptakan norma (norm creating), menjalankan norma (norm applying), dan menjaga/mentradisikan norma (norm living) yang sesuai dengan norma-norma dasar dan watak rakyat banyak.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, hal tersebut karena mereka cenderung hidup dalam partisipasi sambil mencari persamaan dan persatuan, bukan perbedaan dan perceraian. Itulah mengapa mereka suka musyawarah-mufakat dan berbagi dalam ungkapan—satu untuk semua, semua untuk satu—guna menghasilkan rasa adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Semangat konsensus politik mengangankan diembannya secara bersama hal-hal terburuk yang menimpa bangsa ini apabila sampai terjadi sesuatu yang di luar kehendak bersama. Suatu semangat antisipatif dengan mengambil nilai terendah dari tindakan. Artinya, kesuksesan memang tujuan, tetapi ketidaksuksesan juga harus ditanggung bersama (baca: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul).

"Nations in nation"

Secara sosiologis, hal ini mudah dimengerti karena tradisi konsensus berasal dari masyarakat patembayan (tradisional) yang bersuku-suku atau berbangsa-bangsa. Karena itu, pada awal pembentukan negara (Indonesia), mereka mewakili suku-sukunya (nations), bukan mewakili individu-individu. Akibatnya, mereka bernegara dahulu, baru lainnya; berekonomi, bersosial, pendidikan, bela negara, dan sebagainya.

Maka dari itu, Indonesia adalah kumpulan suku-suku (nations), yang memilih nations-state: bukan nation saja, bukan state saja. Lebih tepatnya, Indonesia adalah nations in nation (kumpulan suku-suku yang membentuk suku baru—secara hibridasi: Indonesia—dan kemudian menyelenggarakan negara).

Konsep tersebut membedakannya dengan negara-negara yang berangkat dari logika kontrak nasional. Kontrak berasal dari bahasa Latin, contractus, yaitu persetujuan yang mengikat secara hukum antara individu dan individu lainnya. Dalam Merriem-Webster (2007), kontrak pada awalnya adalah ikatan dalam bisnis agar ada kepastian.

Dalam literatur politik, menurut Jean-Jacques Rousseu (1989), kata ini khas Perancis (Eropa), yang berangkat dari istilah ekonomi, kemudian memengaruhi hukum dan politik. Hal ini karena masyarakat Perancis bersikap kapitalisme, bahkan kolonialisme, dan berfilsafat individualisme-utilitarianisme. Tradisi, semangat, dan nilai-nilai kontrak berangkat dari asas manfaat, kepemilikan pribadi, voting, pembenaran, kalah-menang, dan homo homini economicus yang melahirkan kontrak sosial.

Dalam konteks masyarakat Eropa, hal tersebut karena mereka cenderung hidup dalam kontestasi, persaingan, bahkan chaos. Itulah mengapa mereka memiliki konsepsi tesis, antitesis, dan sintesisis.

Secara politik ia bermakna perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang berseteru untuk menikmati keuntungan bersama. Namun, kerugian akan ditanggung masing-masing. Di sini logikanya adalah logika kepentingan dagang; untung-rugi.

Kontrak politik mengangankan pada kesuksesan bersama tanpa ragu. Artinya, kesuksesan sebagai tujuan dan tidak memikirkan kekalahan. Nilai kontrak politik berangkat dari nilai tertinggi, positivis dan tidak ada ruang untuk kesalahan-kekalahan.

Kontrak politik di Eropa mudah dimengerti jika kita memahami bahwa ia berasal dari kontrak ekonomi. Artinya, ekonomi memengaruhi politik. Mereka berekonomi dahulu, baru bernegara. Karena itu, keterwakilan politik pada awal pembentukan negara mereka adalah keterwakilan ekonomi.

Dan, dalam sejarah bangsa Eropa, keterwakilan politik pada awal pembentukan negara adalah keterwakilan individu, bukan keterwakilan dari suku-suku (nations). Hal ini karena suku di negara-negara Eropa bersifat homogen/majemuk. Hasilnya, mereka mudah membentuk negara dikarenakan kumpulan individu-individu yang mewakili diri dan kepentingannya. Akan tetapi, di atas segalanya, bukankah negara sendiri merupakan produk Eropa?

M Yudhie Haryono Direktur Eksekutif NusantaraCentre, Menetap di Jakarta

No comments:

A r s i p