Saturday, June 30, 2007

Sosok dan Pemikiran
Kaum Demokrat yang Dinantikan...

Imam Prihadiyoko

Sembilan tahun sudah reformasi bergulir. Sembilan tahun pula negeri ini berjalan tanpa pemerintahan totaliter. Tetapi, reformasi yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat ternyata tidak kunjung hadir.

Bahkan, Ketua Dewan Pimpinan Organisasi Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Siswono Yudo Husodo menilai tata kelola pemerintahan dan bernegara malah semakin tak membaik. Tidak heran jika keadilan sosial yang dicita-citakan itu kian menjauh. Pemerintah semakin tidak peduli pada penderitaan rakyat, atau paling tidak tetap membiarkan rakyat dalam kesengsaraan. Bahkan, hingga kini belum ada langkah konkret yang bisa diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah rakyat salah meletakkan harapannya pada reformasi atau memang pemerintahan yang hadir setelah reformasi tidak punya kemampuan. Salahkah jika masyarakat mengharapkan adanya desain sistem pemerintahan yang bisa menjamin kepentingan rakyat didahulukan secara efektif, sedangkan kepentingan pribadi mereka yang berada dalam pemerintahan bisa dikontrol melalui sistem yang ada.

Dosen filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Jakarta, Donny Gahral Adian, yang ditemui Kamis (28/6) malam, menilai kondisi itu sebagai akibat belum mapannya kaum demokrat. Bahkan, sesungguhnya kaum demokrat itu jumlahnya belum banyak. Berikut percakapan itu:

Reformasi yang digulirkan kok tidak tampak hasilnya....

Untuk mengatakan reformasi berhasil atau tidak, tentu kita harus tahu ukurannya. Namun, bagi saya kegagalan reformasi ini memang sudah bisa dilihat dari tidak adanya proses perbaikan yang sistemik untuk menuju masyarakat yang demokratis. Alih-alih demokrasi berjalan setelah jatuhnya Soeharto, ternyata yang terjadi justru penguatan totalitarianisme. Celakanya lagi, kalau pada masa Soeharto jelas totalitarianisme itu ada penguasaan yang kuat terhadap seluruh organisasi dan mendapat dukungan penuh dari militer maupun partai politik, tetapi sekarang totalitarianisme yang ada itu tersebar.

Yang menguat juga lobi korporasi. Seperti kasus lumpur panas Lapindo, suara rakyat tidak lagi dipedulikan. Tetapi, korporasi dan pimpinan politik bersinergi sedemikian rupa sehingga menjadi kekuatan yang tidak demokratis. Paling tidak, melupakan prinsip demokrasi.

Setelah reformasi, totalitarianisme muncul dalam beragam bentuk, mengapa begitu?

Secara teoretis, bisa saya katakan, transisi politik kita tahun 1966 dan 1998 tidak pernah menghasilkan perubahan fundamental karena tiga arena kekuasaan: masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sipil tidak melakukan otodekonstruksi secara sistemik. Bahkan, mereka saling bahu-membahu mengamankan kursi kekuasaan.

Otodekonstruksi adalah perubahan dari dalam yang membuka jalan pada artikulasi alternatif untuk muncul dan secara fundamental mampu mendorong perubahan ke arah masyarakat demokrasi yang sebenarbenarnya.

Secara teoretis pula, ada yang mengatakan karena tidak adanya keberlanjutan antarrezim. Artinya, rezim yang baru ternyata mindset-nya masih sama saja dengan rezim yang lama. Tidak banyak perubahan yang terjadi dibandingkan rezim terdahulu.

Orde Lama yang menerapkan demokrasi terpimpin, dan Orde Baru yang menerapkan demokrasi Pancasila, sebetulnya sama saja dengan ide demokrasi terpimpin, hanya kemasannya saja yang berbeda. Sekarang ini kita masih bingung bentuk apa yang ingin diambil untuk diterapkan. Kebingungan ini lantas diisi totalitarianisme korporat dan partai politik yang melupakan konstituennya.

Apa yang bisa kita lakukan?

Jalan paling mudah, kita harus mengisi ruang yang ditinggalkan agar tidak diisi totalitarianisme baru. Kita mengisi ruang kosong ini dengan memperbanyak kaum demokrat.

Mengapa kaum demokrat?

Sistem demokrasi membutuhkan kehadiran kaum demokrat. Cirinya, mereka mengusung prinsip demokrasi, seperti kebebasan, kesetaraan, dan toleransi. Sayangnya produksi kaum demokrat di negeri ini kurang.

Artinya, semua lembaga sosial yang ada hampir tidak memproduksi kaum demokrat. Partai politik, organisasi massa, bahkan lembaga pendidikan, termasuk universitas, pun tidak memproduksi kaum demokrat.

Kalau begitu, apa yang mereka hasilkan selama ini?

Partai politik hanya menghasilkan kader yang hanya paham bagaimana mengejar kekuasaan. Cara dan jalur seperti apa yang bisa dipakai untuk sampai pada posisi kekuasaan. Partai politik, misalnya, belum menanamkan secara sungguh-sungguh prinsip citizenship. Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali. Sementara organisasi kemasyarakatan hanya mengikuti jejak parpol yang cuma melahirkan kader yang tidak menjadi seorang demokrat. Begitu juga dengan universitas, hanya melahirkan intelektual atau akademisi yang sering kali juga menghasilkan koruptor.

Dosen filsafat yang beristrikan artis Rieke Dyah Pitaloka ini setiap Sabtu pagi selalu menyempatkan diri bermain tenis di lapangan belakang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Untuk menjaga kebugaran, ia juga berenang seminggu sekali, terkadang ke kampus dengan jalan kaki atau bersepeda. Jarak rumah dan tempatnya mengajar memang tidak terlalu jauh.

Meski kecil, mungkinkah muncul kaum demokrat di negeri ini?

Asal orang bisa mengambil jarak dengan pertaruhan politik dan tidak ikut dalam sistem dominan. Karena, dia tahu betul yang dipertaruhkannya lebih besar daripada yang akan hilang.

Insiden RMS
Atasi Separatisme,

Pendekatan Kesejahteraan Harus Lebih Ditonjolkan

Jakarta, Kompas - Pemerintah diharapkan lebih menonjolkan pendekatan kesejahteraan ketimbang pendekatan keamanan, dalam mengatasi gerakan separatisme, termasuk di Maluku.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengungkapkan itu, menanggapi insiden pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) oleh sejumlah penari saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada di Lapangan Merdeka, Ambon, Jumat (29/6).

"Masalah bangsa ini adalah kesejahteraan. Demokrasi itu harus melahirkan kesejahteraan. Reformasi belum menjawab itu," papar Irman. Ia menambahkan, "Kalau melihat Aceh dan Papua, masalah fundamental adalah kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan harus lebih ditonjolkan daripada pendekatan keamanan."

Irman juga mengingatkan, Maluku di abad ke-16 pernah menjadi pusat perekonomian dunia karena menjadi pusat rempah-rempah. Masyarakat Maluku akan membandingkan kondisi saat ini dengan masa lalu itu. Dia khawatir apabila kasus RMS ini disikapi dengan represif, suasana menjadi kembali tegang dan lebih memperburuk kesejahteraan masyarakat di sana. "Tentu pengibaran bendera RMS ini tidak bisa ditolerir karena Presiden itu simbol negara. Aparat yang harus dievaluasi," katanya.

Intelijen

Sementara anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Pareira, sependapat jika pendekatan kesejahteraan harus lebih dititikberatkan dalam menangani separatisme di Maluku. Tetapi, juga penting diperhatikan pemerintah adalah pengamanan yang bersifat preventif, yaitu kemampuan intelijen.

"Insiden di Ambon menunjukkan tidak berfungsinya intelijen dan pihak keamanan dalam menjaga kehormatan bangsa dan wibawa Presiden sebagai simbol negara," kata Andreas.

Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berharap Presiden menindak Kepala Badan Intelijen Negara, Kepala Polda Maluku, dan Panglima Komando Daerah Militer sebagai yang paling bertanggung jawab atas insiden itu. "Kita ingin lihat bisakah Presiden bersikap tegas," katanya lagi.

Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar juga menilai. pejabat intelijen dan kepolisian daerah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas insiden itu.

Secara terpisah, Makmur Keliat, pengamat intelijen dari Universitas Indonesia, Jakarta juga menilai kegagalan intelijen dalam kasus di Ambon itu. Semestinya peristiwa ini bisa dicegah jika ada koordinasi baik antarlembaga intelijen.

"Itu menandakan intelijen tidak mampu menjalankan fungsi peringatan dini. Bagaimana tidak jika masing-masing lembaga ini jalan sendiri-sendiri," ujarnya.(sut/jon)

RUU Bidang Politik
Pembahasan di DPR Jangan Bertele-tele

Jakarta, Kompas - Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, Jumat (29/6) di Jakarta, mengatakan, pemerintah dan DPR harus segera menyelesaikan pembahasan paket rancangan undang-undang bidang politik. Pembahasan empat RUU itu di DPR tak perlu terlalu ideal sehingga membutuhkan pembahasan yang panjang.

"DPR harus bekerja keras menyelesaikan paket RUU politik itu. Jangan urus gengsi dan adu otot mengenai siapa yang lebih hebat soal interpelasi, tetapi harus memprioritaskan paket RUU bidang Politik. Pembahasannya jangan bertele-tele atau berkutat di masalah itu-itu saja. Nanti malah tak segera selesai," katanya.

Berpihak pada rakyat

Sementara itu, dari pertemuan pemangku kepentingan atas paket RUU bidang politik di Yogyakarta, Jumat, terungkap revisi UU itu diharapkan lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Pengaturan Pemilu 2004 melalui paket UU politik dinilai masih memiliki banyak masalah sehingga perlu upaya perbaikan.

"Menuju Pemilu 2009, perubahan dan perbaikan harus dilakukan untuk memperoleh UU yang dapat mengakomodasi proses politik yang berpihak pada rakyat," papar fasilitator diskusi, Ronald Rofiandri, dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.

Badan Legislasi DPR menetapkan pembahasan perubahan paket UU politik menjadi prioritas. Perubahan itu, antara lain, pemberian izin supaya partai memiliki badan usaha dan pengetatan pendirian partai.

"Apa pun syaratnya, harus mengarah pada partai untuk lebih mandiri," ungkap Ronald. (sie/ab9)

Polisi dan Teroris

Sarlito Wirawan Sarwono

Beberapa waktu lalu, saya diminta Markas Besar Kepolisian RI atau Mabes Polri untuk mendampingi seorang remaja berumur 16 tahun, Muhammad Dlohir Khotib alias Isa Ansyori Muchairom atau yang biasa dipanggil Isa.

Isa diperiksa polisi sebagai saksi atas keterlibatan ayah kandungnya, Juyanto, alias Taufiq Masduki alias Taufiq Kondang alias Ruri alias Abu Khotib, dalam perkara tindak pidana terorisme.

Mengingat Isa masih di bawah umur, maka berdasarkan UU No 23/2004 tentang Perlindungan Anak, Isa harus didampingi pembela dan seorang ahli jiwa saat diperiksa polisi. Untuk itu saya dimintai bantuan oleh kepolisian.

Namun, ketika di Yogyakarta polisi sedang berusaha melindungi hak-hak Isa sebagai anak di bawah umur, di Jakarta anak seorang tersangka teroris lain, Abu Dujana (yang sudah tertangkap lebih dulu) dan ibunya, dibawa ke sana kemari untuk menghadap Komnas HAM Anak dan DPR. Anak yang bernama Yusuf Abdullah dan berumur 8,5 tahun itu pun harus bersaksi tentang pengalamannya melihat ayahnya tertembak saat hendak ditangkap.

Bahkan, seorang anak Agus Suryanto alias Munajib, tersangka teroris yang terbunuh saat penyergapan Maret lalu, juga dihadapkan ke DPR dan kamera infotainment untuk menjawab berbagai pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang harus di hafal lebih dulu.

Kedua anak itu jelas stres. Kepala Polri dan Panglima TNI pun stres saat dipanggil DPR, apalagi anak. Lalu, muncul tuduhan telah terjadi pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak. Tujuannya satu, mendiskreditkan Polri dalam upaya memberantas terorisme di Indonesia.

Hobi meledakkan bom

Menanggapi berbagai tuduhan itu, Kepala Divisi Humas Polri mengingatkan masyarakat bahwa para teroris itu telah melanggar hak asasi ratusan, mungkin ribuan, anak korban berbagai bom di masa lalu, dan ratusan, mungkin ribuan, anak lagi yang akan jadi korban bom di masa depan jika para teroris tidak ditangkap.

Upaya polisi telah membuahkan hasil. Bukti nyata, Indonesia telah bebas bom pascabom Bali II sampai hari ini (kecuali beberapa bom sporadis di Poso yang rata- rata tanpa korban). Jika para teroris tak ditangkapi, selama 2006, entah berapa bom yang meledak di Jakarta dan seluruh Indonesia (bahkan konon juga Singapura dan Malaysia).

Pasalnya, para teroris ini hobi meledakkan bom, yang bagi mereka cuma seperti mainan petasan. Intinya, teroris dirasa lebih berbahaya daripada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang hanya ada di Aceh atau GPM yang hanya berjuang di Papua.

Teroris juga manusia

Meskipun demikian, kita juga perlu memahami, para teroris juga manusia. Dan, polisi hanya bisa menangkapi mereka karena ada cukup barang bukti bahwa mereka melanggar hukum. Lalu, setelah mereka diadili dan dikirim ke lembaga pemasyarakatan (lapas), siapa yang akan mengurus mereka?

Saya belum pernah mendengar pihak lapas minta bantuan psikolog atau MUI untuk mengetahui cara pembinaan yang terbaik bagi para terpidana teroris. Ratusan orang yang sudah tertangkap, dan sebagian sudah bebas berkeliaran di luar, dan lapas belum punya pola untuk membina mereka agar tidak menjadi residivis teroris.

Pihak MUI pun belum terdengar upayanya mengatasi "ajaran sesat" yang diimani para teroris. Juga Departemen Sosial. Mereka sibuk dengan anak yatim, pekerja seks komersial, dan bencana alam, tanpa menyadari, anak- anak dan keluarga teroris serta mantan teroris juga merupakan ancaman sosial yang serius jika tidak ditangani dengan baik.

Depdagri, ke mana saja selama ini? Deplu, sejauh mana upaya mereka untuk mencegah terorisme melalui jalur-jalur diplomatik? Parpol? DPR/DPRD? Pemda? LSM? Mahasiswa? Pokoknya, semua unsur bangsa ini, ke mana saja kalian?

Mengatasi terorisme bukan hanya tugas polisi. Tanpa kesadaran dan upaya kita semua, ratusan eks-napi teroris akan kembali ke masyarakat sebagai teroris yang lebih heboh. Jangan anggap remeh nama-nama seperti Abu Rusdan dan Kital alias Adi Suryana yang sudah bebas maupun Adung yang masih di dalam penjara dan ratusan lain teman mereka yang cepat atau lambat akan bebas.

Hanya sebagian kecil dari mereka yang dikenai hukuman mati karena hakim hanya menghukum perbuatannya, bukan ideologi atau imannya. Padahal, ideologi atau iman yang sesat itulah yang paling berbahaya. Jika dididik dan dibina dengan baik, para mantan teroris ini tentu bisa diajak untuk bersama masyarakat lain membangun bangsa ini. Yang penting kita tidak mengabaikan mereka dan menyerahkan semua persoalan hanya kepada polisi saja. Dirgahayu Polri!

Sarlito W Sarwono Guru Besar Psikologi UI

POLITIKA

Teroris Bukan Pahlawan!

BUDIARTO SHAMBAZY

Sekali lagi selamat untuk Detasemen Khusus 88 Antiteror yang kembali menangkapi para tersangka teroris. Namun, di dalam demokrasi, wajar ada perbedaan pendapat tentang ancaman terhadap kemanusiaan ini.

Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai di harian ini edisi 28 Juni mengatakan pemberitaan media kerap kali memang menimbulkan "efek samping".

"Media tanpa sadar membingkai tersangka teroris yang ditangkap justru seperti jagoan atau pahlawan yang teraniaya oleh negara," kata Ansyaad. Maraknya protes dari sekelompok tertentu terhadap upaya Polri selama ini, menurut dia, merupakan anomali dalam upaya pemberantasan terorisme.

Pembaca di Jakarta, JS, mengirimkan surat elektronik ke rubrik ini, menceritakan obrolan makan malam memestakan anaknya yang lulus SMP. "Anak-anak menanyakan sikap DPR yang mempersoalkan penangkapan teroris," tulis JS.

"Kenapa tak membela korban bom? Bukankah di antara korban ada Muslim? Ini tidak fair. Ini pembodohan. Kita harus hargai polisi walau citranya kadang kurang baik," sambungnya.

Surat elektronik lain datang dari IJ yang bekerja di sebuah bank di Medan. "Saya ingat saat jenazah Azahari dimakamkan di Malaysia hanya diberitakan sekilas. Mereka paham tak ada nilai edukasi dari berita yang jadi aib bagi bangsa. Pers di sana lebih matang dan arif," kata IJ yang Muslim.

"Ada yang membantu teroris dengan alasan HAM, padahal banyak yatim piatu jadi korban terorisme," tambah IJ.

Ada berita menarik beberapa bulan lalu, yakni tentang rekrutmen mahasiswa secara rahasia oleh organisasi anti-RI yang bernama Negara Islam Indonesia (NII). Berita itu ditayangkan dalam format serial oleh Kantor Berita Radio (KBR) 68H.

Beberapa dosen FISIP UI menyampaikan hal yang sama kepada saya. Mereka mengadakan acara khusus mendengarkan kesaksian mahasiswa yang mbalelo dari organisasi itu supaya mahasiswa lain waspada.

Organisasi itu mengajarkan mahasiswa agar jangan toleran terhadap bangsa ini. Bukan rahasia pula bahwa mereka menghalalkan semua cara—termasuk kekerasan—untuk mencapai tujuan konyol itu.

Mahasiswa "dicuci otaknya" lewat pola rekrutmen yang serba rahasia, antara lain dengan menggunakan "sistem sel". Mereka dicekoki ideologi tertentu dan dipaksa membayar iuran yang jumlahnya tak masuk akal.

Sempat diberitakan beberapa media bahwa polisi Depok menemukan beberapa butir peluru di Kampus UI, Depok. Sampai kini tak ketahuan, peluru-peluru tajam itu untuk apa.

Anak saya yang mahasiswa menceritakan nasib temannya di kampus yang sebelumnya normal. Tiba-tiba direkrut ke organisasi itu.

Menurut pengakuannya, ia direkrut lewat beberapa kali pertemuan di tempat umum. Menurut anak saya, teman-teman mahasiswa yang diincar biasanya dalam kondisi jiwa yang kalut, misalnya putus hubungan dengan pacar atau baru saja kematian anggota keluarga.

Ia dan beberapa teman berusaha keras menginsafkan rekan yang terjebak itu, tetapi belum berhasil. Di KBR 68H seorang mahasiswa mengaku terpaksa melego laptop untuk membayar iuran ratusan ribu rupiah.

Ayah sang mahasiswa itu mengaku ditipu organisasi itu. Bisa dibayangkan sebuah keluarga terpukau dengan tujuan organisasi ini.

Saya tetap percaya dalil mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton yang mengatakan terorisme lahir akibat kemiskinan. Dan kemiskinan di negeri ini diakibatkan oleh korupsi.

Jangan berharap pemerintah sendirian mampu menghentikan terorisme. Apalagi salah satu modus operandi politik Orde Baru membuat organisasi-organisasi radikal gadungan yang berlanjut, misalnya, saat Pamswakarsa beroperasi 1998-1999.

Eksekutif dan legislatif malah menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Peranan mereka tak lagi penting karena malah menambah masalah menjadi banyak.

Korupsi mereka tak berhenti, mereka lebih banyak meminta daripada memberi, dan mereka mendominasi ruang publik dengan lenong atau sinetron politik. Jika diandaikan, mereka figuran tak penting yang tampil 5-10 detik tanpa mengucapkan dialog.

Justru orangtua yang jadi pemegang peranan utama. Hari Sabtu (23/6) banyak polisi mencegat mobil-mobil boks yang masuk ke Jakarta dari berbagai jurusan, termasuk Tangerang.

Banyak razia dilakukan polisi karena kecurigaan terhadap teroris membawa masuk bahan peledak ke Ibu Kota. Salut kepada para pengelola gedung, termasuk mal dan hotel, yang makin mengetatkan pemeriksaan.

Terorisme masih mengancam saat anak-anak kita menikmati liburan panjang. Terkutuklah mereka yang masih saja tega bersiasat untuk membunuh sesama dengan cara tak beradab.

Telah banyak pahlawan di negeri ini, di antaranya mendiang Cak Nur, Munir, rakyat Pasuruan yang tewas diterjang peluru, atau para mahasiswa yang tewas akibat kerusuhan Mei 1998. Para pelajar perebut medali Olimpiade Fisika, para korban lumpur Lapindo, dan Densus 88 juga pahlawan.

Teroris bukan pahlawan!

Friday, June 29, 2007

Mencari Sang Pendekar Antikorupsi

Vincentia Hanni

Mengisi masa pensiun, begitulah bayangan banyak pelamar yang telah berusia di atas 55 tahun saat ditanya wartawan mengenai motivasinya mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2007-2011.

Sarjono yang sudah tiga tahun menjalani masa pensiun dari Departemen Kehakiman salah satu di antaranya. Jabatan terakhir Sarjono adalah Kepala Seksi Perusahaan Terbuka Tertutup Departemen Kehakiman.

Pascapensiun, Sarjono mengaku punya kesibukan baru, yakni belajar berdakwah dan kursus membaca Al Quran. Soal strategi memberantas korupsi, Sarjono dengan lugas menjawab, "Membersihkan kotoran, yah mulai dari kotoran-kotoran yang besar seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Tetapi, yah semampunyalah."

Sani Alamsyah pun mengungkapkan niat yang sama. Mantan calon bupati Majalengka ini mengatakan, ia ingin di masa tuanya bisa berbakti bagi negara. "Saya suka tantangan. Saya juga pernah melamar sebagai hakim ad hoc perikanan dan Komisi Kepolisian Nasional," ungkap Sani Alamsyah.

Lain lagi dengan Nursal Baharuddin. Kepala Bagian Akuntansi dan Informasi Kekayaan Milik Negara Departemen Perdagangan Nursal Baharuddin begitu antusias ingin mendaftar saat ia mendengar dari sebuah radio swasta.

Namun, sesampainya di ruang pendaftaran di Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg PAN), Nursal terkejut dengan begitu banyak prasyarat yang harus ia lengkapi. Di antaranya adalah prasyarat tes kesehatan jasmani, tes rohani, tes narkoba, dan surat kelakuan baik dari kepolisian. Tes-tes tersebut bukan saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi juga memerlukan waktu untuk mengurusnya.

"Saya tertarik karena KPK itu namanya gede. Saya jadi ingin tahu kenapa orang-orang kok pada takut sama KPK. Saya pengin tahu. Ternyata setelah sampai sini, persyaratannya banyak juga, saya enggak tahu deh apa saya punya waktu atau enggak untuk mengurusnya," ujar Nursal.

Motivasi pelamar memang bervariasi. Namun, dari sejumlah wawancara yang dilakukan Kompas kepada para pelamar, motivasi mengisi masa pensiun merupakan motivasi yang dilontarkan oleh para pelamar yang mayoritas adalah para pensiunan.

Meski berbagai latar belakang yang mereka miliki, para pelamar yang usianya sudah memasuki masa pensiun melontarkan motivasi itu sebagai dasar ketertarikan mereka melamar menjadi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lainnya mengungkapkan, motivasinya berangkat dari rasa geregetan melihat praktik korupsi yang sudah menggurita di setiap lini.

Ketika coba ditanya lebih lanjut bagaimana strategi mereka untuk memberantas korupsi, beberapa di antaranya menyatakan akan mengusut kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus korupsi mantan Presiden RI Soeharto dan kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Jawaban-jawaban para pelamar ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar, benarkah KPK yang dinilai sebagai komisi strategis untuk memberantas korupsi cukup dijabat oleh orang-orang yang hanya ingin mengisi hari-hari tua mereka? Benarkah komisi ini cukup diisi oleh orang-orang yang hanya merasa geregetan melihat praktik-praktik korupsi yang sudah menggurita di semua lini? Cukupkah motivasi hanya sekadar mengisi waktu atau hanya sekadar geregetan itu?

Belajar dari pengalaman pimpinan KPK periode pertama (2004-2007), problem yang dihadapi KPK dalam memberantas korupsi tidaklah semudah membalik telapak tangan. Terlebih ketika KPK dibiarkan berjalan sendiri, tanpa dukungan maksimal dari pemerintah dan DPR.

Banyak fakta telah ditunjukkan dalam perjalanan waktu empat tahun ini. Pemberantasan korupsi memang mudah untuk diucapkan, tetapi ternyata sulit dilakukan, terlebih jika kawan satu partai, atau kawan satu departemen, atau diri mereka sendiri tersangkut kasus korupsi. Teriakan dan hujatan, bahkan aksi mengerahkan massa untuk demonstrasi, pun dilakukan.

Tak heran jika empat pemimpin KPK enggan menjabat lagi. Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki dalam jumpa pers dengan wartawan dengan nada diplomatis menjawab, "Saya harap ada yang lebih muda, lebih cerdas, lebih pandai, lebih berani, dan lebih bernyali." Jawaban serupa juga diungkapkan oleh Erry Rijana Hardjapamekas, Sjahruddin Rasul, dan Tumpak Hatorangan Panggabean. "Saya rasa yang muda-muda saja yang tampil menggantikan kami yang sudah ompreng ini. Saya kan sudah opung-opung," ujar Panggabean.

Publik tak pernah tahu apa alasan di balik keengganan empat pemimpin KPK ini untuk menjabat lagi. Hanya Taufik, Erry, Sjahruddin, dan Tumpak Hatorangan yang punya jawaban mengapa mereka kelelahan dan enggan menjabat lagi.

Tiga problem

Menginjak hari ke-11 ini, jumlah pelamar yang sudah mendaftarkan diri mencapai 142 orang. Dari 142 orang ini, bisa dikelompokkan dalam beberapa kelompok profesi, yakni kelompok pensiunan (pensiunan tentara, pensiunan penegak hukum, pensiunan PNS, dan pensiunan bank), kelompok perbankan, kelompok yang mengaku aktif di LSM, kelompok profesi hukum yang masih aktif, dan kelompok akademisi.

Jumlah yang masih jauh di bawah target panitia seleksi, 1.000 orang, atau jauh lebih sedikit dari jumlah pelamar pada pendaftaran untuk calon pimpinan KPK periode pertama (2004-2007) yang saat itu ditutup dengan jumlah pelamar 500 orang. Diharapkan jumlah pelamar ini di hari ke-12, 13, dan 14 akan melonjak signifikan. Semoga!

Mengapa jumlah pelamar calon pimpinan KPK pada periode ini boleh dibilang minim? Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen menilai ada tiga problem yang membuat jumlah pelamar calon pimpinan KPK sangat sedikit.

"Problem pertama adalah pembatasan usia 40 tahun yang mengakibatkan generasi reformasi 1998 yang umurnya di bawah 40 tahun, tetapi kualitasnya bagus, tidak bisa ikut mendaftar. Coba lihat Komnas HAM, karena tidak ada batasan umur, maka orang-orang muda bisa masuk jadi komisioner Komnas HAM," jelas Patra.

Problem kedua yang signifikan, kata Patra, adalah metode dan strategi Panitia Seleksi sejak awal sudah keliru. Panitia Seleksi di awal dinilai terlalu pasif dan baru menggeliat ketika digugat beberapa kalangan.

Problem ketiga, khususnya orang-orang yang dinilai berkualitas enggan mendaftar karena ada kekhawatiran dengan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

"Beberapa yang kami temui untuk didorong khawatir dengan proses di DPR. Sebab, banyak desas-desus kalau anggota-anggota DPR sebenarnya sudah mengantongi nama-nama yang akan diloloskan sebelum proses fit and proper test. Saya dengar DPR sudah kantongi nama yang lolos Komnas HAM sebelum fit and proper. Dan kami dengar juga, calon yang akan lolos seleksi hakim agung juga sudah dikantongi DPR," ujar Patra.

Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia Agung Hendarto menjelaskan, panitia seleksi seharusnya didampingi oleh tim teknis yang kuat. Tim teknis inilah yang bekerja keras membuat sistem dan standar-standar penilaian serta publikasi.

Kini, tinggal Panitia Seleksi yang membuktikan, benarkah mereka mampu mendapat sang pendekar antikorupsi dengan nyali baja dan berkualitas? Ataukah hanya mampu mendapat para pencari kerja atau ingin mengisi hari tua? Yah, mari kita tunggu hasilnya!

Mungkinkah Kedaulatan Dilepas?

F Djoko Poerwoko

Perjanjian ekstradisi dan kerja sama pertahanan yang lebih dikenal dengan Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura membuat kaget banyak pihak. Bahkan, perjanjian yang ditandatangani di Tampaksiring, Bali, 27 Maret 2007, itu juga membuat gusar para anggota DPR. Di antara mereka malah ada yang menuntut agar DCA ditinjau ulang atau dibatalkan mengingat sangat merugikan Indonesia, khususnya dalam kedaulatan negara.

Kedaulatan bukan hanya milik wakil rakyat. TNI sebagai institusi yang bertanggung jawab tentang kedaulatan negara lebih paham tentang hal itu. Untuk mempertahankan kedaulatan diperlukan prajurit-prajurit yang terlatih yang dibekali dengan peralatan modern serta sarana latihan yang memadai.

Salah satu sarana latihan tersebut berupa Air Combat Manuvering Range (ACMR) dan telah dibangun bersama antara Indonesia dan Singapura serta diresmikan tanggal 22 Maret 1994. Dalam acara tersebut Panglima ABRI Jenderal TNI Faisal Tanjung berkata: "Saya berharap pembangunan fasilitas ACMR ini mampu meningkatkan hubungan bilateral ABRI dan SAF khususnya dan kedua negara pada umumnya."

Kalimat Faisal Tanjung saat peresmian ACMR di Pekanbaru, Riau, langsung disambut Maj Gen Ng Jui Ping sebagai petinggi Angkatan Bersenjata Singapura: "… for MINDEF, to commit such an investment in Pekanbaru only reflects the importance we place on ABRI-SAF co-operation."

Pertemuan dua panglima

Kalimat bijak mengatakan, bila dua panglima perang bertemu, mereka (hanya) akan membicarakan perdamaian. Namun, bila para politisi bertemu, mereka (mesti) membicarakan perang.

Perdamaian yang diciptakan para petinggi militer kala itu bukan serta-merta setelah ACMR, AWR, MTA, dan OFTA, yang kesemuanya terletak di Pangkalan Udara (Lanud) Pekanbaru, Riau, dibuat dan dipakai bersama kedua angkatan udaranya. Jauh hari sebelumnya, tepatnya bulan Juni 1980, kedua angkatan udara telah menggelar latihan bersama yang diberi sandi Latma Elang Indopura 1/80 (Latihan Bersama antara Indonesia dan Singapura) dilaksanakan di Lanud Iswahyudi, Madiun.

Khusus dengan Singapura awalnya latihan hanya melibatkan dua skadron (tempur), tetapi lambat laun meningkat dengan jenis dan pola latihan yang lebih maju. Bila Elang Indopura I/80 hanya melibatkan F-86 Sabre dari TNI AU dan Hawker Hunter dari RSAF dalam satu kekuatan Combined Air Task Force (CATF)— konsep ini terus berkembang sehingga didapat kesepakatan membuat Combined Standard Operation Prosedure (CSOP)— pada Latma Indopura III/84 telah melibatkan 24 pesawat dari kedua negara tanpa hambatan.

Latihan terus berkembang, dari kekuatan yang tergabung dalam CATF sejak Indopura IV/86 setiap misi/penugasan dipimpin masing-masing negara serta dilibatkan pesawat terbaru, yaitu F-5 Tiger-II serta SA-330 Super Puma yang juga dimiliki kedua negara. Bahkan, mulai Latma Indopura VI/90 RSAF mulai melibatkan E-2E Hawkeye, sesuatu yang baru bagi para pilot TNI AU. Kala itu para pilot Hawk-200/ TNI AU mulai bergabung dan tidak mendapat kesulitan dalam mengadopsi panduan Hawkeye RSAF dalam menemukan sasaran di tengah laut.

Sejalan dengan kemajuan di bidang latihan, prasarana latihan juga mulai dibangun. Diawali pembangunan Air Weapon Range (AWR) tahun 1989, Air Combat Manuvering Range (AWR) tahun 1991, serta penetapan Overland Flying Training Area (OFTA), kesemuanya dibangun di Lanud Pekanbaru dan juga kantor Detachment Squadron serta Joint Shelter.

Disepakati pula bahwa penggunaan area latihan itu full control oleh Indonesia. Untuk itu, siapa pun yang akan memakai daerah latihan harus berangkat dan mendarat dari Lanud Pekanbaru. Ketentuan ini secara "sepihak" menguntungkan Indonesia dilihat dari fuel charge, leaving allowance ataupun services and navigational charge bila mereka lembur, dan tentunya hasil ini langsung masuk ke kas negara.

Sejak saat itu setiap kali pesawat RSAF akan memakai daerah latihan yang belakangan disebut Military Training Area (MTA), lantas disebut Alpa-1 dan Alpa-2, pasti mengajukan permohonan izin kepada Indonesia. Mencermati faham presidetis juris yang dianut Indonesia dalam menentukan batas wilayah kedaulatan, pengakuan Singapura ini mempunyai dampak politis yang besar di mata dunia internasional.

Kerja sama lainnya

Dengan meningkatnya latihan bersama serta dibangunnya AWR di Siabu yang memakai lahan seluas 10.850 hektar, terdiri atas academic range dan tactical range, menjadikan latihan lebih intensif. Sarana latihan ini merupakan satu-satunya daerah latihan penembakan udara di mana terdapat simulasi pangkalan udara serta electronic scoring system sehingga para pilot dapat mengembangkan kemampuan dalam ground attack. Sementara untuk air tactic dapat dipergunakan ACMR dengan tingkat risiko yang kecil karena tidak mempergunakan peluru tajam.

Sebelum mempunyai lahan latihan seperti ini, para pilot TNI AU "terpaksa" harus berlatih di Pangkalan Udara Korat, Thailand, dengan biaya yang cukup mahal. Saking mahalnya, hanya pilot senior yang diberi kesempatan. Kali ini siapa pun pilot TNI AU dapat menggunakan sarana ini dengan slot pemakaian sebanyak 40 persen, RSAF 40 persen, dan 20 persen dicadangkan untuk perawatan. Alat yang dibangun dan dirawat bersama dengan modal fifty-fifty ini berubah menjadi format 75 persen Singapura dan 25 persen Indonesia sejak tahun 1995.

Puncak kerja sama tercapai manakala kedua negara sepakat mendidik para pilot tempur dalam satu wadah yang disebut Fighter Weapon Instructor Course (FWIC) pada bulan September 1999. Pendidikan Instruktur Penerbang Tempur ini memanfaatkan lahan latihan yang telah dibangun bersama, dengan siswa dan instructur pilot kedua negara. Pendidikan ini merupakan konsep baru dan menghasilkan anak didik setara top gun milik USAF di Amerika.

Lalu, haruskah prasarana serta kerja sama selama ini dianulir sepihak dikaitkan dengan Defence Cooperation Agreement yang ditandatangani tanggal 7 Maret 2007 di Bali. DCA dibuat sebagai payung hukum tanpa mengubah makna serta arti perjanjian sejak latihan pertama digelar tahun 1980. Ruang udara yang dipakai oleh Singapura, baik di Area, Alpa-1/2, OFTA, AWR, maupun ACMR, tidak terlihat dari balik meja wakil rakyat di Senayan. Militer Indonesia cukup paham dan tidak akan menjual negaranya, bahkan dia lebih paham apa arti kedaulatan negara dan apa itu arti sebuah latihan.

Memang lebih baik panglima antarnegara bertemu daripada para politisi melakukan hal sama. Ini kalau kita memang mau damai.

F Djoko Poerwoko Pengamat Militer

Memimpin dengan Menyelamatkan

Yudi Latif

Namanya Ceriyati. Tetapi, peruntungannya jauh dari ceria. Tersampahkan di negeri sendiri, ia pun mengundi nasib di negeri jiran. Apa daya, yang ia alami penganiayaan.

Luka Ceriyati adalah luka bangsa. Penistaan TKI di luar negeri sebanding dengan derajat bangsa di mata dunia. Para pemimpin harus menghayati derita dan aib ini. Mereka pantas "bunuh diri" karena kepemimpinan disibukkan hasrat mempersolek dan memperkaya diri, mengabaikan nasib rakyat dan harkat bangsa.

Ceriyati yang miskin, tidak datang dari Etiopia yang tandus, tetapi dari Indonesia yang subur. Kemalangan nasibnya bukan karena kegagalan alam, tetapi akibat kegagalan kepemimpinan di segala ranah.

Kepemimpinan negara, yang bersifat patrimonial, gagal melindungi kaum miskin dan telantar. Kepemimpinan pasar, yang bersifat predatory, gagal mengembangkan kesempatan kerja. Kepemimpinan komunitas, yang bersifat komunalistik, gagal merajut solidaritas sosial.

Dua prasyarat mendasar bagi suatu masyarakat guna menjawab aneka masalah sosial, tak memiliki fondasi kuat di negeri ini: kekuatan otonomi individu berdasar jaminan peraturan (rules), hak-hak asasi (rights), kekuatan solidaritas sosial berbasis kemaslahatan, dan tujuan bersama.

Dalam ketiadaan kepastian hukum serta jaminan hak asasi bagi tiap warga, masing-masing individu hanya memedulikan pencapaian kepentingan tanpa mengindahkan peraturan dan hak orang lain. Dalam mengutamakan haknya sendiri, prinsip "siapa yang kuat dapat bertahan" menjadi dasar moralitas. Dalam kondisi seperti itu, otonomi individu untuk bertahan hidup dan menjawab masalah-masalah sosialnya menjadi lumpuh.

Dihadapkan pada penetrasi globalisasi dan kapitalisme, individu- individu ini tidak memiliki kekuatan kepribadian untuk bisa menyeleksi asupan ide-ide dan nilai baru. Kebanyakan tumbuh sebagai obyek perubahan yang reseptif dan konsumtif, bukan sebagai subyek kreatif yang berdaulat dan produktif.

Sosialitas-individualitas

Pelemahan otonomi individu tak membantu penguatan solidaritas sosial. Individu yang lemah mudah menyerah pada kekuatan-kekuatan tribus (premanisme, koncoisme, etnosentrisme, dan fundamentalisme). Dalam pemujaan terhadap kepentingan komunal, bukan komunitarian, masyarakat secara keseluruhan kehilangan kemampuan untuk menegakkan prinsip kemaslahatan bersama.

Tak ada kebajikan bersama di luar kepentingan kelompok tribus-nya. Tiap kelompok berlomba menyalahgunakan kekuasaan dan penjarahan terhadap sumber daya negara. Konflik horizontal dan vertikal sesama warga mudah meledak, menimbulkan perasaan terancam yang mencekam. Kohesivitas bangsa sebagai unit solidaritas lebih luas tak menemukan pijakan. Akibatnya, ketahanan nasional dalam merespons perubahan dan menghadapi tantangan global menjadi rapuh.

Untuk masa yang panjang, ruang otonomi individu dipersempit keharusan keguyuban. Sosialitas dihadapkan individualitas. Ekspresi dan kreativitas individual terbentur hambatan sosial. Hak asasi individu dikorbankan demi pemujaan terhadap kerukunan. Tanpa terjaminnya hak asasi, individu warga tak memiliki kesadaran akan kewajiban asasinya.

Untuk masa yang panjang pula, pluralitas kebangsaan Indonesia didakwa sebagai pangkal masalah. Upaya menyerukan persatuan nasional sering ditempuh dengan mempersempit ekspresi kemajemukan. Tawaran solusi atas bentrokan kewargaan sekadar menyerukan imbauan normatif berupa penggalangan rasa persatuan dan kesatuan nasional.

Pendekatan seperti ini melupakan persoalan hakiki bahwa konflik dan kerapuhan nasional tidak harus bermula dari pluralitas kebangsaan itu sendiri, tetapi lebih sering melupakan limbah kelemahan tata kelola kenegaraan dan kemasyarakatan. Reformasi pranata dan kebijakan publik diperlukan sebagai bantalan vital bagi keberhasilan proyek demokratisasi.

Usaha reformasi ini harus mencari keseimbangan antara penguatan otonomi individu dan solidaritas sosial. Untuk itu, institusi dan kebijakan publik, seperti dianjurkan Anthony Giddens (1998), harus mendorong perwujudan negara dan pasar kesejahteraan yang menjamin kesetaraan, perlindungan yang lemah, kebebasan individual, keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban, pemerintahan demokratis yang responsif, pluralisme kosmopolitan, serta pemenuhan kesejahteraan jasmani dan rohani.

Persyaratan

Solidaritas sosial diperkuat melalui perbaikan arena belajar-sosial kolektif. Afinitas sosial warga perlahan-lahan ditransformasi dari ikatan-ikatan komunal yang tertutup menuju asosiasi-asosiasi yang terbuka. Perubahan pada proses belajar sosial ini akan menciptakan universum simbolik baru yang dilahirkan oleh proses komunikasi diskursif dengan derajat rasionalitas yang tinggi. Dengan itu, fanatisme komunal akan bergeser menjadi solidaritas komunitarian, yang memiliki daya-daya kreatif, selektif, responsif, dan produktif.

Semua itu ada prasyaratnya. Prasyarat terpenting adalah kepemimpinan yang mampu menisbikan kepentingan pribadi demi memberi jalan perubahan dalam tata kelola negara. Alhasil, perlu pemimpin dengan komitmen penyelamatan.

Untuk itu, Imam Ali menasihatkan, "Jadikan kesukaanmu yang amat dekat pada segala sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling meliputi kepuasan rakyat banyak. Sebab, kemarahan rakyat banyak mampu mengalahkan kepuasan kaum elite. Kemarahan kaum elite dapat diabaikan dengan adanya kepuasan rakyat banyak."

Saatnya membangun politik pencitraan lewat kesungguhan berbakti kepada rakyat.

YUDI LATIF Direktur Eksekutif Reform Institute; Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

TAJUK RENCANA
Menggugat Reformasi

Tepat waktu apabila kita menggugat reformasi. Bukan untuk membuyarkan, tetapi melakukan refleksi agar kita kemudian sama-sama lalu mengawalnya.

Mengapa kita katakan tepat waktu? Karena tanpa terasa hampir 10 tahun kita sudah melaksanakan reformasi. Sekarang ini kita merasa seperti kehilangan arah.

Itu tidak boleh terjadi. Kita harus sama-sama menyadari bahwa karena pilihan kita adalah melakukan reformasi, maka perubahan itu harus dilakukan secara bertahap, tetapi konsisten menuju perbaikan.

Sekarang ini perbaikan itulah yang belum kita rasakan. Setelah hampir 10 tahun berjalan kita bahkan seperti tidak beranjak ke mana-mana. Situasi serba krisis masih saja yang sama, padahal negara-negara lain, meski dihadapkan kepada persoalan, sudah krisis yang baru.

Kita semua merasakan ketertinggalan itu terutama dari negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan, secara perlahan, negara-negara yang dulu jauh tertinggal seperti Vietnam sudah mendekati, malah ada yang mengatakan sudah menyamai kita.

Berbagai perbandingan dengan negara-negara lain sengaja diangkat oleh media bukan untuk membuat kecil hati, tetapi sebaliknya untuk menggugah kesadaran kita bersama bahwa kita tidak bisa terus seperti ini. Sekadar ribut sendiri di dalam, tanpa berupaya untuk bertindak.

Terutama kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah utama yang harus segera bisa kita selesaikan. Tanpa itu, kondisi sosial bukan hanya menjadi rentan, tetapi terus-menerus membangkitkan rasa curiga dan saling menyalahkan di antara kita.

Kita tidak boleh berhenti untuk membangun harapan karena negeri ini tetap memiliki potensi yang besar untuk maju. Sumber daya manusia yang kita miliki tidak kalah dibandingkan dengan sumber daya manusia bangsa lain. Hanya saja, mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan terbaik yang mereka miliki. Kita sering tidak percaya dengan kemampuan anak-anak bangsa kita sendiri.

Hal lain yang menjadi kendala bagi kita untuk melangkah maju adalah orientasi yang terlalu berat ke politik. Bahkan, perpolitikannya berorientasi jangka pendek dan fokus hanya pada kekuasaannya. Bukan perpolitikan yang sehat untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas, serta membawa perbaikan bagi perikehidupan rakyat banyak.

Kita tidak menutup mata, karena pilihan kita membangun sistem demokrasi, pilarnya adalah partai politik. Lalu, yang membuat partai politik bisa memainkan perannya, hal itu tergantung kepada orangnya, kepada politisi yang ada di dalam parpol tersebut. Hanya saja akan sangat berbahaya apabila politik hanya sekadar untuk tujuan memperoleh kekuasaan dan bahkan kekuasaan itu hanya dinikmati hak istimewanya, privilesenya, bukan tanggung jawabnya untuk kemajuan bangsa.

Peringatan yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla ada benarnya. Terlalu banyaknya parpol dan pemahaman demokrasi sekadar kebebasan membuat kita tidak pernah memiliki pemerintahan yang efektif. Padahal, efektivitas pemerintah merupakan kunci kemajuan.

***

Politik Uang

Dua judul berita di dua surat kabar terbitan Jakarta pertengahan Juni lalu: "Politik Uang Membayangi Hingga Pencoblosan" dan "Belum Ada Politik Pangan Nasional". Berita politik uang tentang keprihatinan akan jual beli suara pada pemilihan kepala daerah DKI, sedangkan politik pangan mengenai kisruh dalam kebijakan pangan di Indonesia.

Baik dalam politik uang maupun dalam politik pangan, yang diterangkan (hukum DM) sama-sama politik. Namun, politik pada kedua istilah itu diartikan dan digunakan secara berbeda. Pada politik uang, yang diutamakan adalah uang untuk kepentingan politik; sedangkan pada politik pangan, yang dipentingkan adalah politik dalam arti ’cara mengatur’ atau ’kebijakan’, dan bukan pangan.

Istilah politik uang muncul di harian Kompas tahun 1994 dalam tulisan "Uang dan Politik—Masalah Sumber Dana Parpol". Ketika itu istilah politik uang ditulis dengan menggunakan tanda hubung. Pada tulisan-tulisan berikutnya tanda baca itu tak lagi dipakai.

Perkembangan juga terjadi pada arti istilah tersebut. Di awal pemunculannya, ia berarti uang yang diberikan kepada partai pemegang kekuasaan untuk memperoleh sesuatu. Kini politik uang berarti uang untuk para pemilih dari calon kepala desa, bupati, anggota DPR, dan lain-lain, seperti dalam kalimat sebuah surat kabar: "Politik uang pun bisa menular kepada pemilih di tingkat bawah... Yang dibagikan bukan hanya uang, bisa juga kebutuhan pokok, bisa juga sajadah...".

Hampir pasti politik uang dianggap sepadan dengan money politics. Kompas pertama kali menggunakan ungkapan Inggris itu pada tahun 1997 dalam tulisan "Dana Kampanye Golkar—Di Antara Isu ’Money Politics’". Tulisan yang membahas penggalangan dana oleh suatu partai demi kegiatannya, termasuk sumbangan pengusaha besar, sama sekali tak mencantumkan politik uang. Pada akhir tulisan tertera "...yang terpenting bagaimana sumbangan para donatur alias para konglomerat itu tidak menjadi money politics."

Pencarian istilah money politics melalui internet tak membuahkan hasil yang memuaskan. Baik melalui news, dictionary, encyclopaedia, maupun web, tidak ditemukan istilah tersebut sebagai satu rangkaian kata, sebagai idiom. Yang paling banyak adalah money in politics atau money for politics dalam berita atau catatan tentang penggunaan uang dalam politik. Istilah itu muncul dalam sebuah judul buku: Money Politics in Japan. Mungkin diperlukan pencarian lebih dalam.

Tepatkah politik uang dan money politics sepadan? Jika penerjemahan kata majemuk dari Indonesia ke Inggris (dan sebaliknya) adalah urusan hukum DM dan MD, maka politik uang mestinya berarti ’cara mengatur uang’, seperti dalam politik pangan yang adalah ’cara mengatur pangan’. Namun, makna politik uang yang dipahami banyak orang di Indonesia bukan itu!

Akan masuk akal bila money politics diterjemahkan sebagai dana politik atau ongkos politik saja. Jadi, hukum MD dalam bahasa asalnya dipertahankan begitu saja dalam bahasa Indonesia? Jangan khawatir! Sudah banyak contoh untuk "penyelewengan" semacam itu. Bukankah vice president diterjemahkan menjadi wakil presiden dan bukan presiden wakil? Bukankah juga ada istilah perdana menteri dan bukan menteri pertama?

TD ASMADI Wartawan

Thursday, June 28, 2007

Politik Itu Tidak Pernah Independen

Makmur Keliat

Debat seputar calon independen versus partai politik muncul akhir-akhir ini. Beberapa artikel di Kompas, seperti artikel Ikrar Nusa Bhakti (20/6), kolom Budiarto Shambazy (9/6), dan Effendi Gazali (21/6), merefleksikan debat tersebut. Tulisan berikut pada intinya bermaksud untuk menyatakan bahwa debat calon independen versus partai politik dalam kompetisi politik demokratis, baik untuk legislatif maupun eksekutif, perlu ditanggapi dengan sangat hati-hati.

Terdapat enam pertimbangan mengapa sikap kehati-hatian ini perlu diambil. Pertama, pertimbangan filosofis. Demokrasi tidak berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah malaikat. Demokrasi sesungguhnya bertolak dari asumsi bahwa seluruh manusia memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, tidak ada jaminan bahwa calon independen akan membuat kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan akan berhenti di negeri ini. Yang harus dilakukan adalah bagaimana menciptakan mekanisme kelembagaan sehingga kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan itu dapat diminimalkan, misalnya dengan penguatan mekanisme checks and balances.

Kedua, pertimbangan isu amoralitas dalam politik. Adagium bahwa politics is immoral sebaiknya tidak dimaksudkan bahwa individu yang berkecimpung dalam politik tidak bermoral (amoral). Adagium itu lebih dimaksudkan untuk menyatakan bahwa politik tidak bersangkut paut dengan moral (politics has nothing to do with moral). Pengelolaan kekuasaan, apakah yang bekerja dalam kerangka demokratis maupun otoritarian, memiliki karakteristiknya sendiri sehingga tidak bisa diukur dengan standar moral yang berasal dalam kegiatan nonpolitik.

Tidak ada jaminan, misalnya, bahwa individu-individu yang selalu meneriakkan moral, bahkan yang berasal dari lingkungan keagamaan sekalipun, akan membuat kehidupan politik menjadi lebih baik seandainya mereka berkecimpung dalam proses politik. Karena itu, merupakan suatu tindakan spekulatif yang sangat berbahaya jika diasumsikan bahwa calon independen akan memiliki "moral" yang lebih baik daripada calon yang berasal dari partai politik.

Kedaulatan rakyat

Ketiga, pertimbangan demokrasi perwakilan. Adalah benar bahwa pelaksanaan demokrasi dilahirkan melalui faham kedaulatan rakyat (people sovereignity). Juga sukar dibantah bahwa demokrasi perwakilan yang dilaksanakan melalui partai politik telah mereduksi makna kedaulatan rakyat. Demokrasi tidak langsung telah menciptakan situasi di mana rakyat tetap berdaulat tetapi tidak dapat melaksanakan kedaulatannya (the people is the sovereign that cannot exercise its sovereignty). Namun, jumlah penduduk yang bertambah dan wilayah negara yang luas hampir tidak mungkin lagi dari segi biaya dan efisiensi untuk melaksanakan model demokrasi langsung negara kota. Karena itu, mengutip pendapat Bernard Yack (2003), partai politik dan demokrasi perwakilan merupakan suatu temuan besar umat manusia untuk melestarikan faham kedaulatan rakyat.

Keempat, pertimbangan pelembagaan politik. Demokrasi dalam pelaksanaannya membutuhkan suatu keajekan (regularity). Manusia datang dan pergi, tetapi institusi idealnya diharapkan terus berlangsung. Peran partai politik untuk melakukan proses institusionalisasi itu tidak dapat diabaikan. Pada sisi lain, gagasan calon independen menyampaikan pesan adanya ketidakpercayaan besar terhadap institusi. Persoalan besar yang kita hadapi saat ini adalah adanya kecenderungan lembaga mewakili individu dan bukan sebaliknya. Defisit ketidakpercayaan (trust deficit) terhadap lembaga seperti ini akan dapat semakin menguat jika kita mendukung gagasan calon independen.

Persoalan ini juga tidak akan dapat diatasi semata-mata dengan menyatakan go to hell with political parties. Apa yang perlu dilakukan kemudian dalam kehidupan bernegara saat ini bukanlah bagaimana menciptakan mekanisme agar individu dapat menundukkan lembaga, tetapi bagaimana membuat agar seluruh warga tunduk pada mekanisme kelembagaan.

Kelima, pertimbangan pembedaan. Secara teoretis, kehidupan politik demokratis selalu membuat pembedaan antara partai politik dan kelompok kepentingan. Di mana pun partai politik selalu berorientasi untuk memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok kepentingan, seperti kelompok petani, buruh, usahawan, dan industri berorientasi untuk memengaruhi kekuasaan. Pembedaan antara orientasi pemilikan dan pemengaruh ini penting untuk memahami gagasan tentang calon independen dalam perspektif yang lebih tepat.

Adanya kelompok yang menyuarakan perlunya calon independen adalah sesuatu yang wajar. Suara itu dapat disebut sebagai suara kelompok kepentingan. Namun, akan menjadi gagasan yang menggelikan (ridiculous) jika kelompok yang menyuarakan itu juga mencalonkan anggotanya sebagai calon yang disebut independen. Sebaiknya, demi kehidupan transisi demokrasi yang baik, kelompok itu sebaiknya mengubah dirinya menjadi partai politik.

Keenam, pertimbangan bukti empiris. Tidak ada bukti yang sangat memuaskan untuk menyatakan bahwa calon independen tidak memiliki hubungan dengan partai politik. Ketidakhadiran partai politik dalam suatu proses kompetisi politik demokratis tidak lalu berarti bahwa para calon bebas dari pengaruh partai politik. Pengalaman Dewan Perwakilan Daerah (DPD) barangkali menyampaikan pelajaran yang baik. Tidak semua anggota DPD dapat dikatakan bebas sepenuhnya dari afiliasi partai politik.

Calon interdependen

Atas dasar enam pertimbangan ini, gagasan yang harus kita munculkan bukanlah calon independen. Politik itu tidak pernah independen! Apalagi dalam demokrasi. Yang kita gagas sebaiknya calon yang interdependen. Maksudnya, calon itu harus dapat menyatakan secara terang benderang bahwa ia memiliki baku-kait yang kuat baik dengan partai politik, dengan konstiuensi, dengan kelompok kepentingan, dengan bangsanya, dan tentu saja dengan negaranya.

Bagaimana calon seperti itu dapat diperoleh? Salah satu caranya tentu saja adalah dengan tetap menghormati prinsip pers yang bebas dan melembagakan kehidupan partai politik.

MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia

Golkar dan PDI-P
Memaknai Silaturahmi Dua Partai di Medan

Mohammad Bakir


Dalam politik dikenal adagium, tidak ada musuh permanen, yang ada hanyalah kepentingan permanen. Itulah yang langsung merebak ketika dua partai besar, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P, bertemu di Medan, 20 Juni 2007.

Suasana massa kedua partai yang belum cair, terkotak-kotak, dan masing-masing sibuk sendiri, tidak sekadar menunjukkan bagaimana di tingkat bawah, pendukung kedua partai pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 itu sulit bersatu. Tetapi, di sisi lain, hal itu menguatkan dugaan, kalaupun di puncak mereka bersatu, persatuan itu pun tidak lebih dari kesamaan kepentingan.

Kesamaan kepentingan itu paling tidak terungkap dari pidato Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh dan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufik Kiemas. Surya menyatakan, dalam kehidupan politik Indonesia terjadi pergeseran terhadap komitmen kebangsaan. Hal itu ditandai oleh mengendornya komitmen terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Dengan bahasa berbeda, Taufik Kiemas mengatakan, PDI-P yang selama ini menjunjung tinggi pluralisme sangat berkepentingan bagi tetap tegaknya Pancasila. "Perjuangan menegakkan pluralisme dan Pancasila ini akan lebih ringan jika dijinjing berdua," ujarnya.

Pernyataan yang bernada kebangsaan ini belum mencerminkan seluruh agenda dan keinginan yang bakal diraih dari pertemuan politik di Medan, Sumatera Utara, yang dikemas dalam acara silaturahmi kader itu. Bungkus kebangsaan hanya merupakan salah satu dari banyak faktor yang mempertemukan kembali kedua partai, setelah pernah menyatu beberapa tahun lalu ketika menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid.

Koalisi menentukan

Agenda lain sempat diungkapkan Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung. Dalam kehidupan politik yang multipartai ini, diakui, koalisi kedua partai sangatlah menentukan. Pramono mencontohkan, calon yang diusung koalisi kedua partai itu memenangi sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada) di Tanah Air.

"Kalau tidak salah, sekitar 86 persen, koalisi ini memenangkan pilkada. Kalau kita tidak berkoalisi, partai lain yang memanfaatkan," ujarnya.

Surya pun tidak menutup-nutupi bahwa koalisi keduanya akan sangat menentukan bagi kadernya untuk dapat menduduki posisi strategis di lembaga politik. "Bagi kami, Partai Golkar dan PDI-P telah ada kesepakatan untuk saling asah, asuh, dan asih," katanya lagi.

Persoalannya, seperti diungkapkan kader Golkar, Yuddy Chrisnandi, keberadaan Surya Paloh di Medan itu tidak mewakili kepentingan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Koalisi dan semacamnya bukanlah domain Dewan Pertimbangan Pusat, tetapi DPP Partai Golkar. Artinya, jika koalisi itu benar, Ketua Umum Golkar M Jusuf Kalla-lah yang menghadirinya.

Pertanyaan lanjutan yang muncul melihat pernyataan Yuddy, bagaimana mungkin Golkar yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif akan berkoalisi dengan PDI-P yang memosisikan diri sebagai oposisi utama di parlemen. Apakah pertemuan ini mendapat restu Jusuf Kalla, yang merupakan bagian langsung dari kekuasaan? Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu sebelum melihat kepentingan koalisi lebih jauh.

Masih banyak pertanyaan muncul terkait pertemuan Medan. Di tingkat DPP Partai Golkar, pertemuan Medan bukan saja tidak pernah dibahas, tetapi juga dinilai membingungkan massa di tingkat bawah. Sebaliknya, massa PDI-P juga mempertanyakan rencana koalisi itu karena secara tidak langsung akan menggerogoti simpatisan partai di tingkat pedesaan.

"Saya tidak tahu mengapa harus koalisi dengan Golkar. PDI-P kan katanya oposisi terhadap pemerintah. Saya khawatir sikap seperti ini dapat memengaruhi massa kami di tingkat bawah," ujar Pangaribuan, warga PDI-P asal Toba Samosir, Sumut.

Sederhanakan masalah

Betul, koalisi PDI-P dan Golkar memenangi pilkada di banyak daerah. Tetapi, yang harus diingat, situasi dan kondisi politik di setiap daerah pasti berbeda sehingga penyeragaman dalam upaya memenangi pilkada dapat diartikan sekadar menyederhanakan masalah.

Ketika koalisi Partai Golkar dan PDI-P di Provinsi Banten, melalui pemunculan Atut Chosyiah, memenangi pilkada, bukan berarti koalisi kedua partai itu di DKI Jakarta yang mengusung Fauzi Bowo akan mudah meraih suara mayoritas warga. Konstelasi politik DKI Jakarta yang didominasi kaum berpendidikan seharusnya menjadi pertimbangan tersendiri. Jadi, upaya mendekati pemilih tidak boleh hanya mengandalkan mesin politik partai.

Sampai hari ini, baik Golkar maupun PDI-P belum melakukan sesuatu yang dapat menyentuh kaum berpendidikan di DKI Jakarta, yang sebagian menjadi pemilih fanatik Partai Keadilan Sejahtera. Terlepas dari figur yang dicalonkan, Golkar dan PDI-P dapat dikatakan agak terlambat mengantisipasi keengganan kaum terpelajar DKI untuk memilih calon dari partai politik, seperti ditunjukkan dalam beberapa hasil jajak pendapat selama ini.

Di Sumut, yang keragaman warganya mirip DKI Jakarta, rasanya agak sulit bagi Partai Golkar dan PDI-P untuk dapat berkoalisi dalam pemilihan gubernur tahun 2008. Jauh-jauh hari sebelum pencanangan koalisi, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumut Ali Umri sudah mencanangkan pencalonan dirinya. Ini berbeda dengan PDI-P yang sampai sekarang masih belum menyebut bakal calonnya, meski pelaksanaan pilkada akan digelar April 2008.

Apalagi, Ketua DPD PDI-P Sumut, yang juga Gubernur Sumut, Rudolf Pardede selama ini dihadapkan pada persoalan keabsahan ijazahnya. Sejumlah kalangan masih mempersoalkan "tanda tamat belajar" mantan Wakil Gubernur Sumut itu.

Kalau kedua partai ini harus berkoalisi dalam pilkada nanti, inisiatif itu harus datang dari atas. Pertanyaannya, siapa yang akan diajukan dan apakah figur itu dapat diterima di tingkat bawah? Konstelasi politik lokal inilah yang, meminjam istilah Surya Paloh, koalisi ingin mengisi jabatan politik strategis menjadi tujuan utama, harus diperhitungkan. Jika bukan itu, lalu siapa yang disasar lewat pertemuan Medan tersebut?

Jawabannya, tidak lain tidak bukan, adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan pertemuan Medan, paling tidak sebagian fungsionaris Partai Golkar berusaha menaikkan posisi tawar mereka di mata Presiden. Jika pada pertemuan Medan banyak fungsionaris Partai Golkar hadir, bisa jadi mereka belum punya akses yang cukup pada kekuasaan eksekutif. Sebut saja Sekjen Partai Golkar Sumarsono, Ketua DPP Bidang Organisasi Karya Kekaryaan Syamsul Muarif, Ketua Koordinator Wilayah Sumatera Utara Burhanudin Napitupulu, dan Ketua DPP Golkar Priyo Budi Santoso.

Buat PDI-P, koalisi ini penting untuk menunjukkan, tidak ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya, dan kedua partai setiap saat dapat berkolaborasi untuk suatu tujuan seperti ditunjukkan ketika melengserkan Abdurrahman Wahid. Sinyal ini penting bagi PDI-P, yang selama ini sering kali berjalan sendirian di parlemen, tanpa dukungan dari partai lain.

Dengan perkataan lain, PDI-P ingin menunjukkan, jika selama ini kekuatan oposisi yang dibangun dianggap belum memadai, terutama dengan bantuan dari sebagian pengurus Partai Golkar yang belum punya akses pada eksekutif, oposisi itu paling tidak akan sedikit menguat. Tambahan kekuatan baru itu paling tidak akan membuat partai lain yang selama ini ragu dengan sikap oposisi PDI-P akan meliriknya. Apalagi, setelah perombakan kabinet pada awal Juni lalu, menyisakan perasaan kurang nyaman pada banyak partai, tidak terkecuali partai yang selama ini mendukung kepemimpinan Presiden Yudhoyono.

Apa pun, koalisi ini sudah dicanangkan dan akan segera diikuti dengan pencanangan berikutnya di daerah lain, meskipun beragam pertanyaan tetap harus dijawab oleh pimpinan kedua partai. Langkah strategis seperti ini tidak harus diterjemahkan atau disederhanakan untuk mencalonkan kader PDI-P dan Golkar pada pemilihan presiden 2009. Untuk menuju ke sana, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan kedua partai. Apalagi secara gradual, massa keduanya masih sering terlibat konflik.

Kalaupun ada harapan dari pertemuan Medan, itu tidak lebih dari tekanan kepada Presiden Yudhoyono untuk lebih berhati-hati melangkah dan membuat kebijakan, atau bisa lebih jauh memperbaiki kinerjanya. Tetapi, apakah ini efektif? Ya, masih harus kita lihat lagi....

Rakyat Semakin Bingung

Bagi PDI-P, Koalisi dengan Golkar Itu Banyak Ruginya


Jakarta, Kompas - Gerakan koalisi yang digulirkan sejumlah partai politik hanya semakin membingungkan rakyat. Apalagi beragam koalisi yang digagas sejumlah fungsionaris partai itu hingga sekarang juga belum jelas arahnya.

Penilaian itu disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Hermawi Taslim, Rabu (27/6) di Jakarta. Karena itu, PKB belum membuat keputusan apa pun terkait koalisi dengan partai lain.

"Koalisi yang digulirkan tokoh partai itu hanya semakin membingungkan rakyat," katanya. PKB menanti saja perkembangan koalisi antarparpol yang diklaim sudah terbentuk. Bagi PKB, tidak mudah memutuskan berkoalisi sebelum ada kesepakatan tentang tujuan dan target koalisi.

Tentang kehadiran kader PKB pada pertemuan partai yang ingin membangun koalisi, papar Hermawi, itu merupakan salah satu bentuk komunikasi politik yang wajar. "Itu silaturahmi biasa saja. PKB tidak ingin membuat rakyat semakin bingung," ujarnya.

Banyak ruginya

Sementara Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Soetardjo Soerjogoeritno mengkritisi penjajakan koalisi antara PDI-P dan Partai Golkar yang dicanangkan di Medan, Sumatera Utara, pekan lalu. Untuk PDI-P, justru lebih banyak ruginya jika berkoalisi dengan partai besar.

"Penilaian saya, kok lebih banyak ruginya, ya," ucap Soetardjo, Rabu. Ia berpandangan, PDI-P lebih baik berkoalisi dengan partai lain, bukan Golkar. Apalagi kader PDI-P di bawah masih belum dapat menerima Golkar karena pernah "menderita" pada masa Orde Baru.

Menurut dia, PDI-P lebih baik berkoalisi dengan PKB, Partai Persatuan Pembangunan, atau jika mungkin dengan Partai Keadilan Sejahtera. Tetapi, perlu atau tidak koalisi itu harus terlebih dulu dibicarakan dalam musyawarah nasional partai dan dikalkulasikan untung-ruginya.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono sebelumnya juga mempersoalkan penjajakan koalisi Golkar dan PDI-P yang digagas Ketua Dewan Penasihat Golkar Surya Paloh dan Taufik Kiemas (Ketua Dewan Pertimbangan PDI-P). Apalagi banyak partai lain yang menjunjung tinggi semangat kebangsaan dan pluralisme, bukan hanya PDI-P.

Secara terpisah di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu, Surya Paloh menandaskan, pertemuan kader Golkar dan PDI-P di Medan baru silaturahmi. Kalaupun ada koalisi, baru bisa disebut koalisi batin.

"Kalaupun berkoalisi, itu tidak salah. Tetapi, ini belum menjadi koalisi," katanya.

Surya juga tak memasalahkan jika silaturahmi kader Golkar dan PDI-P itu ditanggapi partai lain, misalnya dengan menggagas koalisi karena hak tiap-tiap partai untuk berkumpul, bersilaturahmi, dan berkoalisi. "Mau delapan (partai) atau 88, saya menghargai dan menghormatinya," ujarnya.

Ia juga belum menentukan langkah berikutnya, menindaklanjuti silaturahmi di Medan. (mam/sut/wer)

Terorisme, Demokrasi, dan Kosmopolitanisme

Eko Wijayanto


Hari-hari ini kita diramaikan berita tertangkapnya teroris Abu Dujana. Yang mengejutkan, Abu Dujana diduga telah melakukan kaderisasi di Banyumas (Kompas, 13/6).

Banyak hal dilakukan untuk menangani terorisme. Untuk jangka pendek, dilakukan penangkapan dan memutus mata rantai kaderisasi. Untuk jangka panjang, menurut filsuf Richard Rorty, memperkuat demokrasi. Menurut Rorty, yang meninggal 8 Juni 2007, macetnya dan lemahnya demokrasi di negara-negara dunia ketiga bisa menjadi lahan subur tumbuhnya terorisme.

Satu abad terakhir ini, sistem politik kosmopolitan mengalami krisis kepercayaan, saat sejarah manusia dipenuhi trauma-trauma terorisme (misalnya, 11 September di WTC dan Bom Bali). Negara-negara yang tidak demokratis justru melindungi teroris dengan dalih memiliki kedaulatan sendiri yang absolut.

Peter Singer dalam buku One World: The Ethics of Globalization (2002) menyatakan, adalah naif jika tindakan seseorang di suatu negara dianggap tak berdampak pada orang lain di negara yang secara teritorial terpisah. Cara pikir seperti ini berakibat fatal, kesadaran manusia akan tanggung jawab global terabaikan.

Karena itu, gagasan politik kosmopolitan pun tak terelakkan. Para filsuf kontemporer—seperti Richard Rorty, Jacques Derrida, dan Jurgen Habermas—berpendapat, sistem politik yang menstrukturasi hukum internasional dan lembaga-lembaga multilateral harus ditinjau ulang agar tiap negara bertanggung jawab untuk menangani masalah terorisme, bukan hanya demi kepentingan negara sendiri, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat dunia.

Status yang sama

Immanuel Kant (abad ke-18) telah menggagas aneka kemungkinan transformasi hukum internasional klasik menjadi tata baru kosmopolitan. Ia menyebutkan, hanya negara-negara konstitusional republikan yang dapat masuk tata baru kosmopolitan. Karena hanya negara seperti itu yang memiliki kekuatan untuk meminta negara lain masuk dalam konstitusi bersama yang di dalamnya menjamin hak-hak individu. Sehingga tiap individu yang hidup di atas bumi memiliki status sama, sebagai "warga dunia" (kosmopolitan). Hingga kini kecenderungan masyarakat dunia mengarah ke kosmopolitan tak dapat dimungkiri, salah satu contohnya adalah adanya peradilan bagi penjahat perang dan penanganan terorisme.

Seiring perjalanan waktu, ancaman terorisme global telah meningkatkan (sekaligus mengingatkan) kebutuhan merevisi konvensi hukum internasional klasik pada tata baru kosmopolitan. Diperlukan konsepsi moral dalam tata baru kosmopolitan. Sebagai warga dunia, kita wajib dan bertanggung jawab, meski di sisi lain kita juga punya loyalitas pada negara.

Meskipun demikian, moralitas tidak berhenti di sini. Kecintaan kita pada keluarga tidak menghalangi tanggung jawab pada apa yang terjadi pada orang lain dalam masyarakat kita, demikian juga patriotisme tidak bisa menyediakan pengecualian untuk mengabaikan dunia. Hak asasi manusia, contohnya adalah sesuatu yang universal.

Hukum eksternal

Menarik menyimak pendapat John Rawls yang meyakini, negara-negara bisa diibaratkan seperti "manusia individual". Dalam bukunya, The Law of Peoples (1999), Rawls menulis, negara-negara bisa saling bertikai saat tak dikendalikan hukum eksternal dan karena itu harus masuk dalam suatu perjanjian umat manusia (covenant of peoples).

Rawls yang mengikuti pendapat Kant menyatakan, pelanggaran hak atas tiap individu di satu tempat di belahan bumi juga dirasakan di semua tempat. Tindakan melakukan terorisme di suatu negara juga merupakan kejahatan terhadap masyarakat dunia. Dalam tulisannya yang sudah menjadi klasik, Toward Eternal Law, Kant menganjurkan suatu "hukum kosmopolitan" (a cosmopolitan law). Dikatakan, hukum kosmopolitan melengkapi hukum negara. Ia mengaitkan gagasan yang mencakup hukum publik dengan harapan "perdamaian abadi" (eternal peace).

Ada pertalian argumen di antara yang memandang moralitas sebagai universal dan yang menganggap moralitas terkait tradisi dan lokalitas. Menurut Kant, hukum kosmopolitan diharapkan mampu melihat arena internasional sehingga ada standar moral yang bisa mengatur perilaku negara-negara.

Siapa pun yang ingin menegakkan kepentingan suatu negara akan melihat—analog dengan individu—adalah tidak elegan mengutamakan "kepentingan diri". Sebuah negara akan menjadi egoistis pada level internasional.

Apakah sebuah pemerintahan tidak perlu mempunyai tanggung jawab kepada orang-orang di luar yuridiksinya? Sejumlah isu besar ini harus ditangani, menurut Rorty, dimulai dengan keberanian individu dan pemerintahan untuk mengambil tanggung jawab kosmopolitan. Mengambil tanggung jawab berarti berani menghadapi kompleksitas yang membentuk masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta menciptakan demokrasi yang lebih baik, bersih dari kepentingan komunal dan sektarian.

EKO WIJAYANTO Dosen Filsafat FIB-UI

A r s i p