Thursday, June 14, 2007

Gegabah

L Wilardjo

Gegabah ialah sok berani sekali, tidak menimbang dengan matang, kelewat nekat dan grusa-grusu alias terlalu terburu-buru. Dalam bersikap, mengambil keputusan, dan bertindak, gegabah (foolhardy) adalah sifat yang tidak baik.

Gegabah itulah vonis Mahadewa Zeus atas Prometheus. Titan pemberani ini nekat mencuri api dari kahyangan, lalu api itu diberikannya kepada manusia. Niat Prometheus mulia, yakni membantu manusia memperoleh kemajuan demi kesejahteraannya. Tetapi, api tidak hanya berguna. Api juga mengandung bahaya.

Prometheus salah, sebab menyerahkan hal yang berbahaya itu tanpa lebih dulu mengajari manusia bagaimana bertindak arif dalam hidup bermasyarakat. Maka, Zeus menghukum Prometheus. Ia dirantai di batu raksasa. Di siang hari, gagak-gagak mematukinya, mengodol-odol hatinya. Malam harinya, Prometheus sembuh. Ia pulih, tetapi hanya untuk kembali dikerubuti gagak yang menyayat-yayat hatinya.

Sementara itu, Zeus mengutus Hermes untuk mengajarkan civic wisdom—kearifan hidup bermasyarakat—kepada manusia. Dan, penderitaan Prometheus baru berakhir setelah ia ditolong Hercules.

Itulah mitos yang dikisahkan Dr Karlina Supelli, ahli filsafat berlatar astronomi dan dosen di STF Driyarkara. Ia bercerita di Kampoeng Percik, Salatiga, Jumat 25 Mei lalu. Ia membenarkan vonis Zeus.

Challenger

Karlina juga bercerita tentang kegegabahan yang lain. Yang ini bukan mitos atau legenda, tetapi kisah nyata. Syahdan, pada malam terakhir menjelang peluncuran pesawat ulang-alik Challenger di hari yang sangat dingin, 28 Januari 1986. Para insinyur yang merancang tangki bahan bakar roket penggalak (booster rocket) pesawat ulang-alik itu khawatir akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Suhu pada hari itu diramalkan akan lebih dari 20 derajat F di bawah suhu terdingin yang pernah dialami dalam peluncuran-peluncuran sebelumnya. Keberatan para insinyur itu, khususnya insinyur senior Roger Boisjoly dan penyelia teknis Arnold Thompson, dikomunikasikan ke NASA, dan para insinyur di NASA pun memahami sikap para perancang tersebut.

Tetapi, empat direktur "Thiokol" (perusahaan yang dikontrak membuat roket penggalak itu) punya kepentingan lain. Mereka ingin mendapatkan perpanjangan kontrak dari NASA. Dalam debat itu, Jerald Mason mendesak direktur teknis, Robert Lund, untuk "mencopot topi insinyur dan memakai topi manajemennya". Maka, sikap "Thiokol" dibalik, menjadi menyetujui peluncuran.

Malam tanggal 28 Januari 1986, Allan Mcdonald, manajer proyek Roket Penggalak Berbahan Bakar Padat (Solid-fuel Rocket Booster atau SRB) masih berusaha menunda peluncuran. Ia menghubungi manajer peluncuran NASA di Pusat Penerbangan Angkasa Luar Marshall, Stanley Reinartz dan Lawrence Mulloy. Sia-sia belaka! Seperti di "Thiokol", manajemen di NASA juga menyepelekan peringatan para insinyur. Mulloy bahkan berkata, "Masya Allah, "Thiokol", kapan menurut kalian peluncuran ini boleh saya lakukan—bulan April nanti?"

Maka, peluncuran itu pun terjadilah, disusul musibah besar. Challenger meledak dan hancur berkeping-keping. Di Challenger ada dua SRB, masing-masing terdiri atas empat bagian yang disambung. Celah sambungannya disumbat dengan "cincin O" yang terbuat dari bahan lenting. Karena suhu sangat dingin, "cincin O" itu menjadi getas dan rapuh. Gas menyusup keluar melalui celah sambungannya, lalu terbakar, memicu ledakan.

Duit dan politik

Itulah akibat kegegabahan manajer yang tidak menggubris peringatan para insinyur. Para direktur di "Thiokol" punya kepentingan UUD (ujung-ujungnya duit), ingin perpanjangan kontrak. Para manajer di NASA mendapat tekanan politik, sebab malam sesudah peluncuran itu rencananya Presiden Ronald Reagan akan memberikan amanat kepresidenan (State of the Union message), membanggakan sukses Challenger. Nuansa politiknya kental, seperti terlihat pada Christa MacAuliffe, ibu guru TK yang diikutsertakan dalam misi Challenger. Reagan ingin memperoleh dukungan kaum feminis.

Kisah kegegabahan tadi kontras dengan Jerman. Negara ini menyusul Swedia dan Austria, menyatakan sudah emoh PLTN. Pembangkit bertenaga nuklir yang sudah telanjur ada hanya akan dihabiskan masa pakainya.

Awal bulan Mei 2007 di Brussels, partai-partai hijau di Parlemen Eropa menekankan bahwa 21 tahun sesudah Chernobyl, situasi di bidang per-PLTN-an menakutkan. Setiap tahun terjadi 1.000-an musibah (insidents; zwischenfälle). Dalam 20 tahun sesudah Chernobyl, terjadi 16 kecelakaan besar (accidents; unfälle), dua di antaranya di Jerman. Wakil Ketua Partai Hijau di Parlemen Eropa, Rebecca Harm, mengatakan bahwa tenaga nuklir bukanlah sarana untuk mengatasi perubahan iklim. Wolfgang Kromp, pimpinan Lembaga Penelitian Risiko di Universitas Wina, menegaskan bahwa tenaga nuklir harus mundur teratur.

Gegabah atau arif?

Bagaimana kita sendiri di Indonesia? Apakah kita mau sok gagah, lalu bertindak gegabah? Atau bersikap arif dan mengedepankan kehati-hatian (prudence)? Apalah kita ini kalau dibandingkan dengan Swedia, Austria, dan Jerman dalam penguasaan teknologi tinggi dan dalam budaya berdisiplin ketat?

Prof Dr Franz Magnis-Suseno, ningrat Jerman yang leluhurnya asal Chech, pastor Jesuit, memberikan "cap" jelek kepada kita. Dikatakannya bahwa orang Indonesia jagoan korupsi, tidak berdisiplin, suka ugal-ugalan, dan tukang melanggar aturan. Mau nekat? Ora ngilo githoké (tidak bercermin tengkuknya), kata pepatah Jawa.

L Wilardjo Fisikawan dan Dosen Etika Program Pascasarjana UKSW

No comments:

A r s i p