Wednesday, August 8, 2007

ANALISIS POLITIK

Radius 100 Meter

SUKARDI RINAKIT

Saya bergetar membaca kritik Daoed Joesoef kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika mengetahui bahwa Presiden tidak berkenan menerima para guru yang demonstrasi beberapa waktu lalu, ibarat laut yang tak pernah takluk, Daoed Joesoef menulis, "... Dia bisa saja berdalih ada kesibukan lain, tetapi ini adalah sikap resmi Presiden yang untuk kesekian kalinya menunjukkan bahwa dia ’terpanggil’ untuk memimpin, tetapi bila saatnya tiba, ’gentar memimpin’" (Kompas, 25/7).

Sebagai anak muda yang pernah dengan sabar dituntun Daoed Joesoef untuk memasuki ranah berpikir alternatif, bebas, dan multidisipliner, penulis meyakini bahwa sikap itu merefleksikan keprihatinannya yang mendalam bukan saja kepada nasib guru, para pemanggul masa depan bangsa, tetapi juga kepada pemerintah yang tak mempunyai visi dalam membangun peradaban kontemporer.

Padahal, tanpa peradaban, sebuah bangsa dipastikan lumpuh, mata melotot, tetapi tanpa makna. Tak ubahnya buta.

Sepi pamrih

Harus jujur diakui bahwa sejauh ini, sebenarnya belum jelas benar apa visi pemerintah terhadap masa depan rakyat—apalagi terhadap peradaban bangsa.

Akibatnya, pemerintah gagal membangkitkan optimisme publik. Kebanggaan sebagai bangsa tetap rendah, angka kemiskinan dan pengangguran tinggi, dan pangan—meskipun dinyatakan stok aman—tetap meragukan banyak pihak karena peluang terjadinya keresahan sosial tetap terbuka lebar.

Sementara itu, para elite sampai hari ini masih banyak yang terjebak pada urusan sempit dan berputar-putar di lingkaran imajiner yang dibuatnya sendiri. Kehormatan pribadi, keluarga, citra diri yang semu dan penampilan fisik dianggap lebih penting daripada bekerja untuk rakyat.

Padahal, harapan rakyat itu sebenarnya sederhana. Mereka hanya ingin bisa tersenyum (hidup sedikit lebih baik) dan tidak menuntut untuk bisa tertawa (hidup makmur).

Fakta itu memberi pelajaran penting secara kultural bahwa dalam memilih pemimpin pada masa depan lebih baik dicari figur yang sudah "duduk" (resolved). Kalau tidak, dicari antitesanya, yaitu sosok muda. Pendeknya, jangan mempersiapkan "pengantin" yang tanggung.

Kredonya, tantangan spesifik membutuhkan karakter dan kepiawaian pemimpin yang spesifik pula.

Pada dekade sekarang, karakter pemimpin yang kita butuhkan adalah yang berani mengambil keputusan secara cepat dan tegar seperti batu karang. Hal ini disebabkan kondisi rakyat masih limbung sejak dada mereka dihantam krisis ekonomi satu dasawarsa lalu.

Jika pemimpin terlalu hati-hati karena kalkulasi citra pribadi yang berlebihan, rakyat menjadi kehilangan pegangan seperti sekarang ini. Mereka akhirnya lelah karena tidak ada tempat untuk bersandar sejenak sambil menarik napas perlahan.

Figur yang sudah resolved ataupun sosok muda tersebut asumsinya mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak macam-macam dan berani menghadapi siapa pun, termasuk tekanan asing. Demi harga diri bangsa dan kesejahteraan rakyat, mereka akan melangkah tanpa beban dan berani menyerempet-nyerempet bahaya (vivere pericoloso). Mereka juga dengan ringan akan memilih jalan kebajikan: bekerja tanpa didominasi pamrih pribadi (sepi ing pamrih rame ing gawe).

Radius 100 meter

Adalah tugas kita bersama, terutama partai politik, untuk menemukan figur itu dan menjadikannya pemimpin nasional yang berani, berkarakter, dan cermat perhitungan. Sebab kalau ia tidak disangga oleh partai, sehebat apa pun ketokohan, kepiawaian, dan kebaikan hati figur itu jika tanpa kekuasaan politik, mengutip bos saya Soegeng Sarjadi, radius jangkauan kebijakannya hanya 100 meter.

Di luar radius itu adalah hamparan kemiskinan dan pengangguran yang tidak mampu disentuhnya karena keterbatasan sumber daya politik yang dimiliki.

Oleh sebab itu, penelusuran tokoh-tokoh potensial yang bisa merestorasi Indonesia, baik itu tokoh partai politik maupun bukan, perlu segera dilakukan. Tiap partai harus segera melakukan langkah itu jika ingin memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa. Kelompok masyarakat madani, melalui jejaringnya, bisa melakukan survei independen secara berseri guna menjaring figur tokoh yang mumpuni tersebut.

Dalam konteks ini, saya ingin menyampaikan kepada Daoed Joesoef dan para guru saya yang lain seperti Rahman Tolleng agar tak terlalu khawatir dengan masa depan bangsa karena masih ada kami generasi muda, dan Tuhan yang tidak tidur (Gusti ora sare).

No comments:

A r s i p