Wednesday, August 8, 2007

Menyoal Partisipasi Politik dalam Pilkada

BAMBANG SETIAWAN

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah di wilayah-wilayah sekitar Jakarta bisa menjadi indikasi bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada DKI Jakarta juga rendah. Terlebih, beberapa survei sebelumnya juga menunjukkan adanya sejumlah kekeliruan yang bisa berpengaruh pada besarnya angka golput.

Beberapa kota satelit dari metropolitan Jakarta, seperti Depok, Banten, dan Bekasi, yang sudah terlebih dahulu melakukan pilkada, menunjukkan fenomena rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Di Depok, pilkada hanya diikuti oleh 58,01 persen pemilih, di Banten 60,83 persen, dan di Bekasi 53,76 persen. Apabila melihat kecenderungan tersebut, bisa diduga, partisipasi masyarakat dalam pilkada di Provinsi DKI Jakarta tidak akan berbeda jauh dengan daerah tetangganya, atau bahkan lebih rendah. Terlebih, ada indikasi cukup kuat bahwa proses pendaftaran pemilih di Jakarta sangat tidak akurat.

Audit daftar pemilih sementara (DPS) yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama National Democratic Institute (NDI) pada 13-17 Juni menunjukkan, 22,2 persen pemilih tidak terdaftar dan 20,8 persen pemilih yang terdaftar dalam DPS tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilih karena telah berpindah alamat, nama atau alamatnya tak dikenal, sudah meninggal, dan tak berhak memilih. Hasil audit data pemilih tetap (DPT) oleh Puskapol UI pada 5-8 Juli lalu juga menemukan sekitar 20,5 persen tidak terdaftar sebagai pemilih dan adanya potensi pemilih yang tidak jelas (ghost voters) sebanyak 23,9 persen.

Fenomena pilkada tidak hanya terjadi di Jawa, di beberapa daerah luar Jawa juga menunjukkan rendahnya partisipasi politik masyarakat. Di Kota Bukittinggi, pilkada hanya diikuti oleh 53,1 persen. Bahkan, di kota kosmopolitan seperti Batam, pilkada hanya mampu menarik perhatian 45,19 persen pemilih. Di Kota Surabaya tingkat partisipasinya juga hanya 49,64 persen.

Adanya perbedaan yang mencolok antara daerah yang satu dan daerah lain dalam hal partisipasi politik masyarakatnya tentu menimbulkan pertanyaan mengenai peran partai politik. Apakah gejala tinggi-rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada terkait dengan tingkat kepercayaan terhadap partai politik?

Tampaknya, memang ada keterkaitan antara kepercayaan kepada partai politik dan tingkat partisipasi. Hasil pilkada di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) turut memberi warna pada gambaran tingkat partisipasi. Daerah tempat calon independen menang ternyata merupakan wilayah yang memiliki tingkat partisipasi masyarakat paling tinggi. Rata-rata partisipasi politik masyarakat dalam pilkada yang dimenangi oleh calon-calon independen (di wilayah NAD) adalah 76,8 persen. Angka rata-rata ini lebih tinggi daripada daerah-daerah yang dimenangi oleh calon yang diusung oleh satu partai, koalisi dua partai, maupun koalisi multipartai di seluruh daerah pilkada.

Kecuali di sejumlah daerah yang sangat rendah tingkat partisipasinya, rata-rata partisipasi masyarakat dalam 240 pilkada (yang berhasil ditelusuri tingkat partisipasinya) selama tahun 2005-2006, yaitu 73,6 persen, sesungguhnya menunjukkan cukup antusiasnya masyarakat menyambut pilkada untuk memilih pejabat publik. Meski demikian, jika dilihat dari jenis pilkada, tampak ada perbedaan yang cukup signifikan antara partisipasi masyarakat dalam pilkada di wilayah perkotaan, provinsi, dan kabupaten. Pilkada di level kabupaten ternyata memiliki tingkat partisipasi masyarakat paling tinggi (75,6 persen) dibandingkan dengan dua level lainnya, yaitu perkotaan dan provinsi.

Jawa terendah

Sementara kalau dilihat dalam perbandingan horizontal, tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada paling rendah justru di wilayah pulau Jawa (68,09 persen) yang paling banyak penduduknya. Sebaliknya, di wilayah-wilayah di luar Jawa, partisipasi masyarakat justru rata-rata lebih tinggi. Paling tinggi adalah di Maluku dan Sulawesi. Padahal, di kedua wilayah ini potensi konflik horizontal selama ini paling tinggi. Terutama Palu dan Ambon, selama ini menjadi daerah yang paling rawan konflik.

Menurut Robert Putnam (1993), salah satu hal yang berpengaruh terhadap rendahnya tingkat partisipasi adalah timbulnya wilayah-wilayah suburban atau kota-kota satelit. Wilayah-wilayah yang karena proses urbanisasi yang cepat kemudian menjadi kota yang didukung oleh kota-kota satelit, cenderung tingkat partisipasinya makin rendah. Daerah-daerah di Jawa, mengacu pada hasil analisis Aris Ananta dan kawan-kawan, merupakan wilayah yang paling tinggi tingkat urbanisasinya (Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin dan Leo Suryadinata, Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective, 2004), sehingga wajar jika dalam pilkada yang berlangsung tahun 2005 dan 2006 terlihat dengan jelas tingkat partisipasi masyarakatnya paling rendah.

Koalisi dan partisipasi

Hasil analisis menunjukkan adanya keterkaitan antara pola koalisi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada. Kemenangan calon yang dihasilkan dari koalisi yang melibatkan Golkar dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ternyata mengundang rata-rata partisipasi masyarakat paling tinggi (79,29 persen) dibandingkan dengan koalisi Golkar dengan partai-partai lainnya. Peringkat kedua adalah koalisi antara Golkar dan PAN. Sementara koalisi antara Golkar dan Demokrat atau PKS cenderung mengundang tingkat partisipasi politik yang rendah (67,77 dan 67,28 persen).

Seperti halnya Golkar, bagi PDI-P, kemenangan calon yang dihasilkan oleh koalisi yang melibatkan PKB juga mampu mengundang partisipasi politik masyarakat yang lebih tinggi (76,79 persen) dibandingkan dengan jika PDI-P tanpa melibatkan PKB. Sebaliknya, bagi PDI-P, koalisinya dengan Golkar yang sama-sama partai nasionalis justru paling rendah mengundang partisipasi masyarakat (69,80 persen).

Dilihat dari sudut pandang PKB, selain dengan Golkar, koalisinya dengan Partai Demokrat adalah yang paling banyak mengundang partisipasi masyarakat (79,01 persen). Sebaliknya, partai berbasis massa NU ini tidak terlalu efektif mengundang partisipasi masyarakat jika melakukan koalisi dengan PPP atau PKS.

Meskipun bagi PKB, koalisinya dengan PPP hanya akan menghasilkan tingkat partisipasi yang rendah dari masyarakat, namun bagi PPP justru sebaliknya. Koalisinya dengan PKB adalah yang paling banyak mengundang partisipasi masyarakat (73,74 persen). Koalisi PPP dengan partai-partai lainnya malahan tidak begitu mengangkat partisipasi masyarakat untuk memilih dalam pilkada.

Bagi PKS, koalisi dengan Golkar dan PPP hanya akan menghasilkan kemenangan calon dengan tingkat partisipasi yang rendah ketimbang koalisi yang dijalin dengan partai-partai besar lainnya. Paling efektif mengundang partisipasi pemilih, justru ketika calon dari PKS memenangi pilkada sebagai hasil koalisi dengan PKB (74 persen), walaupun bagi PKB justru sebaliknya. Bagi PKB, koalisinya dengan PKS cenderung menghasilkan kemenangan dengan tingkat partisipasi yang rendah.

Bagi PAN, PKB adalah mitra koalisi yang mampu menghasilkan kemenangan dengan tingkat partisipasi pemilih yang paling banyak (74,26 persen) dibandingkan dengan mitra koalisi lainnya. Sebaliknya, koalisi PAN dengan PPP atau PKS cenderung menghasilkan kemenangan dengan tingkat partisipasi yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika bermitra dengan partai-partai besar lainnya, baik yang berhaluan nasionalis maupun Islam. (Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p