Wednesday, August 8, 2007

Demokrasi Kita Belum "Jadi"?

Sulastomo

Demokrasi kita belum jadi. Sebabnya, demokrasi kita masih dalam masa transisi." Itulah kalimat Jakob Oetama saat memberi sambutan peluncuran buku Oom Pasikom, awal Juli lalu.

Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan, kapan "jadinya" demokrasi kita? Kapan kita bisa menyelesaikan masa transisi demokrasi sehingga memiliki sistem demokrasi yang mantap, sebagaimana negara demokrasi yang lain? Apa kriterianya?

Rujukan demokrasi kita adalah sila keempat Pancasila. Sila keempat Pancasila itu, dilihat dari konsep demokrasi, adalah konsep "demokrasi perwakilan" . Adapun mekanisme demokrasinya lebih mendahulukan "permusyawaratan" atau konsensus dalam pengambilan keputusan. Apakah konsep demokrasi seperti itu masih relevan? Apakah konsep demokrasi seperti itu sesuai prinsip demokrasi yang universal?

Demokrasi akan tegak jika dua syaratnya terpenuhi. Syarat itu adalah adanya "kesetaraan" dan "kebebasan" dalam memilih. Hanya demokrasi yang memenuhi dua persyaratan itu yang akan menghasilkan demokrasi yang sehat, yaitu penyelenggaraan "pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat".

Adanya "kesetaraan" ditandai dengan kemampuan rakyat untuk memilih, menilai wakil-wakilnya, sehingga akan terpilih wakil rakyat yang aspiratif dan terbaik. Bung Hatta pernah mengingatkan, demokrasi memerlukan tingkat pendidikan rakyat, agar mampu memiliki kesetaraan untuk memilih. Dapatkah disimpulkan, tanpa tingkat pendidikan rakyat seperti itu, demokrasi akan "cacat"? Misalnya, tidak menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif dan terbaik?

"Kebebasan" berarti jaminan untuk bisa memilih tanpa ada "paksaan", "tekanan", atau "ikatan" dalam bentuk apa pun, termasuk uang. Jika ada restriksi dalam bentuk apa pun, demokrasi akan "cacat". Untuk itu, harus dijamin kerahasiaan untuk memilih. Hal ini terlepas bahwa pilihan seseorang bisa ditebak dari keanggotaan dalam suatu partai politik atau kesamaan "ideologi" atau "cita-cita". Namun, "kebebasan" dan "kerahasiaan" memilih harus tetap terjamin.

Sudahkah demokrasi kita "demokrasi perwakilan", sebagaimana sila keempat Pancasila memenuhi persyaratan seperti itu?

Sistem pemilihan umum

Setiap proses demokrasi dimulai dengan pemilihan umum (pemilu). Setiap pemilu seharusnya menghasilkan wakil rakyat yang "aspiratif" dan "terbaik" menurut pandangan pemilih. Dan wakil rakyat yang terpilih harus memahami kedudukannya sebagai wakil yang memilih. Syaratnya, harus ada "kesetaraan" dan "kebebasan" dalam memilih. Jika tidak, akan terjadi kesenjangan antara rakyat dan wakil yang terpilih. Inilah yang mungkin terjadi selama ini, yaitu sering ditemui kesenjangan antara rakyat dan wakil-wakilnya.

Oleh karena itu, selayaknya kita bertanya, apa yang salah dengan sistem pemilu kita sehingga sering terjadi kesenjangan antara rakyat dan wakil-wakilnya?

Dilihat dari prinsip demokrasi, ada beberapa hal yang mungkin menimbulkan kesenjangan.

Pertama, dengan pemilu sistem proporsional, pemilihan anggota DPR yang diberlakukan sejak pemilu 1955, "kebebasan" memilih (sebenarnya) direduksi oleh peran partai yang telah menentukan pilihan lebih dulu, melalui nomor urut pencalonan.

Kedua, dilihat dari "kesetaraan", kemampuan memilih orang per orang sebenarnya belum terwujud karena tingkat pendidikan dan sosial kita masih amat lebar.

Kedua hal itulah yang membuka peluang demokrasi kita belum jadi. Ada kesenjangan antara rakyat dan wakilnya. Oleh karena itu, rakyat sering menyampaikan aspirasinya melalui jalannya sendiri, antara lain demonstrasi, Bahkan dalam pergantian pemerintahan pun—dari Bung Karno sampai Gus Dur—selalu dimulai dari gerakan ekstraparlementer, dari luar gedung wakil rakyat.

Oleh karena itu, kita perlu membangun sistem pemilu yang menjamin "kesetaraan dan kebebasan" memilih. Kendala yang mereduksi "kesetaraan dan kebebasan" selayaknya dihapus, setidaknya dieliminasi. Meski partai politik berperan besar, peran itu tidak boleh mereduksi "kesetaraan dan kebebasan" memilih rakyat, antara lain melalui kewenangan menetapkan urutan calon. Sistem distrik untuk memilih anggota DPR/MPR/DPD akan lebih mendekati "kesetaraan dan kebebasan" dibandingkan dengan sistem proporsional.

Mengenai pemilihan presiden/wakil presiden, dengan variasi dan spektrum tingkat pendidikan dan sosial yang lebar sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan langsung berdasar popular vote, juga bisa melahirkan kesenjangan antara rakyat dan presiden/wakil presiden terpilih.

UU pemilu

Guna mengakhiri "transisi demokrasi" kita harus memiliki UU pemilu yang harus menjamin "kesetaraan dan kebebasan". Untuk itu, pemilu bagi anggota DPR/MPR/DPD selayaknya berdasarkan sistem distrik. Bagaimana dengan pemilihan presiden/wakil presiden?

Mungkin perlu dilengkapi dengan semacam electoral vote, sebagaimana di AS, tidak hanya berdasarkan popular vote. Atau, kembali ke sistem lama, presiden/wakil presiden dipilih MPR. Sebab, dengan cara seperti itu "kesetaraan dan kebebasan" pemilih lebih terjamin.

Itulah (mungkin) esensi demokrasi perwakilan, yang dirumuskan para pendiri bangsa, yang notabene belum pernah kita laksanakan sepenuhnya. Perubahan ke arah sistem demokrasi langsung, seperti pernah dikemukakan Dr Soekiman Wiryosanjoyo dalam persiapan kemerdekaan, memang tidak tertutup. Namun, perubahan seperti itu memerlukan waktu, saat "kesetaraan" dan kebebasan "memilih" telah dimiliki rakyat, ketika variasi dan spektrum pendidikan/tingkat sosial rakyat tidak terlalu jauh berbeda.

Indonesia memang harus mengatasi ketertinggalannya dalam banyak bidang, baik politik, ekonomi, maupun iptek. Masa transisi (di segala bidang) harus segera diakhiri. Rujukannya adalah membangun sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya sesuai dengan konsensus nasional, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Sebuah tanggung jawab yang tidak ringan bagi presiden/wakil presiden dan para anggota DPR yang kini sedang membahas paket UU bidang politik

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

No comments:

A r s i p