Wednesday, August 8, 2007

Plus-Minus Calon Perseorangan

M Alfan Alfian

Setelah Mahkamah Konstitusi memberikan lampu hijau bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah, yang menjadi soal adalah bagaimana kelanjutannya.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berpendapat sama dalam merespons keputusan itu bahwa UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah harus direvisi. Sebelum ada revisi, tak ada calon perseorangan dalam pilkada (Kompas, 3/8).

Dari sudut waktu, terobosan MK memang dilematis. Tidak dikeluarkannya perpu oleh pemerintah menunjukkan kesan, keputusan MK tidak langsung direspons serta-merta. Prosesnya membutuhkan waktu. Padahal, sebagian kalangan masyarakat sudah tidak sabar lagi menanti aturan pelaksanaannya segera dibuat. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, misalnya, kalangan procalon perseorangan meminta pilkada ditunda.

Revolusi demokrasi elektoral

Terlepas dari respons dan dinamika politik itu, tampaknya keputusan MK merupakan awal dari sebuah "revolusi" demokrasi prosedural di Indonesia.

Keputusan MK itu, selain memberi kesempatan bagi tokoh potensial nonpartai politik untuk bisa tampil dalam pilkada, juga akan menjadi preseden alias efek bola salju bagi diperbolehkannya juga calon perseorangan presiden/wakil presiden.

Jika demikian, atas nama jaminan hak-hak politik dan kebebasan politik warga negara, kita masuk fase demokrasi liberal. Demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila akan menjadi kenangan saja.

Dari sisi masyarakat, hadirnya calon perseorangan semakin menambah alternatif. Proses kehadiran elite-elite pemimpin politik pun datang dari banyak pintu. Mungkinkah dengan dibukanya pintu perseorangan akan memunculkan para pemimpin bermutu? Bisa ya, bisa tidak. Calon-calon bermutu bisa saja terhambat oleh banyak kendala. Calon-calon tidak bermutu bisa saja mendominasi karena banyak "gizi" alias uang dan "popularitas".

Dalam kontes demokrasi langsung, "uang" memang amat menentukan, tetapi bukan segalanya. Publik bisa terkecoh oleh pencitraan. Pemimpin yang hadir sekadar berbasis citra sejatinya adalah keropos. Harapannya adalah semakin banyak pengalaman, keterkecohan publik tidak akan terulang lagi, kecuali apabila tipologi pemilih masokis mendominasi.

Seharusnya publik akan makin belajar dewasa memilih pemimpin. Karena itu, dalam perspektif ini, calon perseorangan bisa bermanfaat.

Hanya yang perlu hati-hati adalah potensi konflik. Semakin terbuka peluang pencalonan politik, makin terbuka pula potensi konflik berikut variasinya. Manajemen konflik calon perseorangan (ad hoc) mungkin lebih susah ketimbang manajemen konflik partai sebagai lembaga politik. Itulah salah satu kelebihan partai.

Namun, kelemahannya adalah jebakan birokrasi lembaga, yang kemudian diterobos calon perseorangan. Jadi, calon perseorangan hadir untuk mengimbangi berbagai kelemahan partai.

Nasib partai

Partai-partai politik pun tidak akan lagi menjadi kendaraan politik supereksklusif. Karena itu, konstelasi politik langsung berubah tajam mengingat partai bukan satu-satunya jalan ke kekuasaan. Deekslusifikasi partai berkonsekuensi pada harus makin lincahnya ia mengeksiskan diri.

Jangka panjang calon perseorangan cenderung mendorong penyedikitan jumlah partai. Hanya yang kelembagaannya kuatlah yang bertahan. Partai akan amat "kerepotan", tetapi kehadiran calon perseorangan justru mengondisikan penguatan kelembagaan.

Partai akan terpicu ekstra keras. Jika mesin partai jalan dan partai mampu mengoptimalisasikan fungsi-fungsinya, tentu ia makin pandai menyeleksi kader-kadernya yang terbaik. Bisa jadi, publik akan lebih percaya kepada para calon partai ketimbang independen.

Pengalaman Amerika Serikat adalah contoh yang baik. Kuatnya kelembagaan Partai Republik dan Partai Demokrat nyaris tak memberi peluang kemenangan bagi para calon perseorangan.

Jalur pemasok utama kader dan sirkulasi elite politik akan melibatkan partai karena memang ia didesain untuk itu. Partai menciptakan sistem dan tradisi perkaderan politik semapan mungkin.

"Sejelek-jelek" partai ia adalah lembaga politik yang sengaja diniatkan untuk berbagai kepentingan kekuasaan. Jika lembaga partai kuat, seharusnya kehadiran calon perseorangan adalah anomali atau keanehan. Jika partai benar-benar mampu "mengurus diri" sehingga kuat kelembagaannya dan mendominasi mind set masyarakat, tidak ada alasan untuk sinis oleh kehadiran calon nonpartai. Partai-partai seperti itu tentu akan mudah "menggilas" calon-calon perseorangan. Karena itu, proses politik pun tetap bertumpu pada partai-partai, calon perseorangan hanya interupsi.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional; Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute, Jakarta

No comments:

A r s i p